Monday, October 13, 2014

[Resensi Novel Romance] Finally You by Dian Mariani


Guest Post: Resensi ditulis oleh Agustin Sudjono, salah satu penikmat novel romance yang tergabung dalam group "Metropop Bangets"
 
Menemukan yang Tertepat
Luisa dan Raka, dipersatukan oleh luka.
Luisa yang patah hati setelah ditinggal Hans, memilih menghabiskan waktunya di kantor sampai malam. Bekerja tak kenal lelah. Siapa sangka, ternyata bos di kantornya juga baru putus cinta. Mereka sama-sama mencari pelarian. Mengisi waktu-waktu lengang selepas jam lembur dengan menyusuri jalan-jalan padat ibu kota. Berdua. Membagi luka dan kecewa.

Antara bertahan pada kenangan, atau membiarkan waktu yang menyembuhkan. Baik Luisa ataupun Raka membiarkan hubungan mereka berjalan apa adanya. Hubungan yang dewasa tanpa ungkapan cinta. Mungkin rasa aman dan nyaman bersama kenangan, membuat Luisa dan Raka malas menyesap rasa baru dalam hubungan mereka.

Namun, bagaimana jika seiring berjalannya waktu, Raka mulai benar-benar jatuh cinta ketika Luisa justru sedang berpikir untuk kembali kepada Hans? Ternyata bukan tentang waktu. Bukan juga tentang masa lalu. Ini tentang menemukan orang yang paling tepat untuk hidupmu.

Judul: Finally You
Pengarang: Dian Mariani
Penerbit: Stiletto Book
Tebal: 277 hlm
Rilis: Juni 2014 (cetakan ke-1)
Harga: Rp49.000 (buku persembahan Penerbit, tidak memengaruhi resensi)
ISBN:  9786027572287



Sederhana dan apa adanya.
Yup, dua hal itu yang paling tepat mewakili Finally You.
Sederhana dari segi cerita. Hampir tidak ada yang membuat takjub. Klise. Pertama, novel ini mempertemukan orang yang memiliki luka tentang masa lalu (perihal asmara) kemudian saling menyembuhkan. Lantas, dibumbui sedikit dramatisasi kehadiran orang-orang dari masa lalu masing-masing, yang justru masih menggelayuti keduanya. Sempat kesal saat bagian awal sampai pertengahan, Raka dan Luisa (tokoh utama di novel ini) mau ngapain sih, kalian? Mau maju tapi kalian justru stuck di satu titik. Kedua, novel ini mengisahkan asmara antara bos (Raka) dan bawahan (Luisa). Seperti dunia hanya itu-itu saja. Di FTV banyak banget yang beginian.


Sederhana lainnya adalah hampir di setiap adegan dari novel ini, yang melibatkan Raka dan Luisa, seolah lumrah dialami orang pada umumnya. Saya memang belum membaca ratusan bahkan ribuan buku, akan tetapi setiap saya hendak membaca buku, sebetulnya pengin ada sesuatu yang bikin membatin, “Oh, ada ya yang kayak gini (atau gitu)?”. Sementara di novel ini, tidak ada ‘kejutan’ yang bisa membuat saya begitu. Eh, tapi ada sih, yang membuat tercengang. Ini contohnya:

“Aku hanya....” Raka mengecup lesung pipi Luisa. “... mengambil ini, karena mengotori lesung pipi kesayanganku,” katanya, dengan sebatang tauge di mulutnya. (hal. 268)

Astaga-naga! *memekik* Raka yang flat, formal, bad in words, ternyata suka nyosor, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Tapi jujur, saya dibikin jatuh cinta sama Raka di sini. Dia lelaki in action. Tanpa banyak ba-bi-bu dan be, apalagi bo. Hanya saja... dia juga membuat saya pengin mencakar wajahnya ketika dia bertekuk lutut pada mantannya, Saskia. Padahal, hati kecilnya sudah merasa begitu nyaman dengan Luisa.


Namun yang lebih ingin saya cekek adalah Hans, mantan Luisa yang memutuskan Luisa melalui email! Hellooooo... kurang ajar! Nggak tahu sopan santun. Lalu, minta balikan karena merasa pacarnya barunya, Gina, tidak seperti Luisa. Ya, iyalah, satu orang dengan yang lain TIDAK AKAN PERNAH SAMA. Hans di sini bikin emosi jiwa, serius!

Lalu, bagaimana nasib hubungan Raka dan Luisa yang sebenarnya sudah bisa saling menyembuhkan, membuat nyaman, membutuhkan, mana kala masa lalu mereka masih datang menghantui? Mari baca kelengkapan ceritanya sendiri, yah. (^.^)

Sejujurnya, novel romance seperti ini sudah bisa ditebak ending-nya. Saya pun sudah menduga begitu. Namun, saya tetap membaca karena pengin tahu dinamika tokoh-tokohnya. Well, walau memang tidak ada yang mengejutkan –kecuali bagian tauge itu– saya masih bisa menikmati setiap cerita antara Raka dan Luisa. Dari yang adem ayem, lucu-lucuan bareng, menegangkan, mengoyak hati sampai kembali adem. Terlebih bagian Raka dan Luisa yang dibuat seolah tidak bisa lepas dari soal makanan. Masa pedekate makan bareng, hari berikut makan bareng, dan seterusnya berlanjut mengobrol sampai menemukan kenyamanan satu sama lain. 


Selanjutnya, novel ini apa adanya. Sebab dari sekian novel yang sering berkutat dengan panjangnya narasi bahkan berbelit, Finally You menawarkan cara penuturan cerita yang to the point. Bahkan per bab-nya terasa singkat-singkat saja. Setiap ada konflik yang memicu kesalahpahaman dan butuh pembuktian, penulis langsung membuktikannya tanpa perlu banyak ocehan. Namun demikian, hal tersebut tidak mengurangi esensi ceritanya sendiri.

Akan tetapi di sisi lain, saya juga merasa penulis kurang mengeksplorasi karakter beberapa tokoh, terutama segi fisik. Jujur, dari sekian tokoh di dalam novel ini, yang paling bisa saya bayangkan secara riil hanya Luisa dan Raka. Tapi, saya hanya mampu membayangkan Raka seperti kebanyakan lelaki tampan metropolis yang punya reputasi bagus, masuk jajaran level manager perusahaan besar, pintar dan lulusan luar negeri, plus karakternya yang to the point. Saya tidak terlalu bisa membayangkan seganteng apa Raka Leonard itu, kecuali mata kelam namun tegasnya (ini menurut Luisa). Apalagi Hans, saya hanya bisa membayangkan dia ganteng, tapi tidak tahu seotentik apa kerupawanannya. 

Dan yang sedikit membuat heran adalah penulis tidak menjelaskan ciri fisik atau deskripsi karakter lainnya untuk teman kantor Luisa (semoga saya tidak melewatkan satu pun kata atau kalimat), yaitu Monica (di kantor baru) dan Naning (kantor lama). Memang, pembaca akan menangkap –secara otomatis– keduanya teman sekantor Luisa dan hanya sekali dua kali ‘muncul’. Atau memang kalau tokoh ‘sampingan’ minim sekali deskripsinya? Tapi sori, lagi-lagi saya jadi menganggap mereka hanya ‘sketsa’ yang ikut berdialog dengan Luisa. Soalnya, bagi saya, kita bisa melesak secara total ke dalam cerita kalau bisa membayangkan tokoh-tokohnya, di samping setting-nya. Tapi di novel ini, karakter tokoh disajikan ‘apa adanya’. Walau memang tetap bisa membangun cerita, tapi rasanya kurang gereget.

Hal lain yang membuat saya kurang sreg, Raka dibuat seakan sebagai malaikat yang diutus Tuhan ke bumi untuk melindungi Luisa. Ya ampun, beruntung banget sih, si Luisa. Saya envy! *eh, ini urusan personal, ya! hehehe* Rasanya kurang struggle saja seorang tokoh kalau sudah di-set ada malaikat penolong begitu

Di sisi lain, novel ini minim kekurangan dalam hal teknis. Hanya beberapa seperti:
1.    Raka mengangkat bahunya. “Small obsevation.” (hal. 16) à seharusnya: observation
2.  “... DIa kembali teringat kejadian tadi sore di Over Easy... (halaman 133) à seharusnya: Dia kembali teringat kejadian tadi sore di Over Easy
3.      Kesalahan membedakan font narasi dan dialog (dalam bentuk/ format SMS) (hal. 191)

Setengah jam kemudian, pesannya baru dibalas.
Take care
Luisa langsung membalas lagi.
Gimana keadaan kamu, udah baikan?

Seharusnya:

Setengah jam kemudian, pesannya baru dibalas.
Take care
Luisa langsung membalas lagi
Gimana keadaan kamu, udah baikan?

4.       Kata ‘mengiyakan’ (hal.186, 233) à seharusnya mengiakan
5.    Ada narasi atau narasi bercampur dialog, yang menggambarkan dua tokoh, berada dalam satu paragraf. Hal ini justru membuat bingung pembaca. Misalnya:

Luisa memandang sosok di depannya. Dia suka mata Raka. Menurutnya, mata kelam itu memancarkan ketegasan. Dia suka bagaimana Raka mengaturnya, tapi juga mau menuruti sarannya. “Dulu saya pengin jadi pilot,” kata Raka, sambil mengambil tusuk satenya yang pertama. Luisa tersadar dari lamunannya. (hal. 84)

Bukankan lebih nyaman bila dibuat paragraf baru seperti ini:

Luisa memandang sosok di depannya. Dia suka mata Raka. Menurutnya, mata kelam itu memancarkan ketegasan. Dia suka bagaimana Raka mengaturnya, tapi juga mau menuruti sarannya.
“Dulu saya pengin jadi pilot,” kata Raka, sambil mengambil tusuk satenya yang pertama.
Luisa tersadar dari lamunannya.

Dan ini berulang di halaman 106, paragraf 6, dalam adegan antara Luisa dan Saskia.

6.   Ada paragraf yang ‘nyeleneh’. Maksudnya, awal paragraf tersebut tidak sama menjoroknya dengan awal paragraf sebelum dan sesudahnya, namun tidak banyak. Hanya beberapa pada halaman 82 (paragraf 3 dan 4), 115 (paragaraf 12), dan 119 (paragraf 15)

Terlepas dari kekurangan di atas, saya bisa mengambil tiga hal dari novel ini.
Pertama, analogi sedotan yang dicetuskan Raka. Diceritakan dalam novel ini, Luisa cukup terkejut ketika mendapati Raka tidak risih satu sedotan minuman dengan Luisa, sedangkan Hans paling tidak suka seperti itu. Raka menyatakan bahwa jika seseorang tidak ingin satu sedotan dengan orang lain (terutama pacarnya), berarti orang tersebut tidak nyaman dengan pemilik sedotan itu. Sumpah, ini analogi yang jleb banget. Sesederhana itu tapi makna filosofisnya (setdahhh... bilang filosofis segala daku! hehehe) dalem banget. Setuju sama Raka!

Kedua, isi tweet @luisa_andrea: Kamu... Ternyata jauh lebih penting dari masa lalumu (hal. 256). Sebetulnya ini pernyataan Raka pada Luisa. Yah, masa lalu memang sepaket dengan seseorang. Tapi, masa lalu memang sudah berlalu. Kita tidak hidup untuknya, melainkan masa depan. Lagi-lagi, saya pro Raka di sini. Uyeah!

Ketiga, tentang perkataan mama Luisa (hal. 236), “Jangan menikah karena harus. Menikahlah karena ingin. Ingin dan yakin.” Ugh, asli bikin pelajaran. Kalau kita tidak sreg sama pasangan kita, lebih baik dipikirkan kembali. Belum lagi kalau sudah pernah disakiti seperti Luisa dan tidak lagi merasakan gelenyar perasaan apa pun pada lelaki yang mengajak menikah. 

Oke, novel ini cocok untuk kalian yang sedang dilema menentukan siapa yang cocok mendampingi, menemani, membuat nyaman, dan menggandeng secara pas di sela-sela jemari kita. Sangat ringan dibaca dengan bahasa yang sederhana (tidak sok puitis yang malah bikin pusing) dan alur yang mengalir sehingga bisa dibaca dalam beberapa jam saja. Siapa tahu setelah baca novel ini jadi tercerahkan bakal menentukan memilih Si A atau Si B, hehehe.

Kalau boleh menganalogikan dengan makanan (mulai ikut-ikutan Raka dan Luisa yang suka makan), novel ini laksana kue putu yang hangat dan manis. Walau sesekali sedikit ‘menyakiti’ mulut kita kalau dimakan saat masih terlalu panas. Kerenyahan kelapanya seperti canda-tawa antara Raka dan Luisa. Sementara kelembutan ketika memakannya mewakili kisah Raka dan Luisa yang saling mengasihi satu sama lain seiring berjalannya waktu. Sweet! Saya beri 3,5 dari 5 bintang yang saya punya.*

*oleh: Agustin Sudjono

Selamat membaca, tweemans.

0 comments:

Post a Comment