Monday, December 19, 2011

[New Release] Novel Metropop: Circle of Love by Monica Petra


Wahhh, yang ini malah lupa diposting. Yang ini juga masih anget dari 'pabrik'nya Gramedia. Selamat membeli dan membacanya.


Harga : Rp. 40.000,-

Sinopsis:
Patricia Sarah mahasiswi semester akhir yang tengah sibuk menyusun skripsi. Sebagai novelis muda berbakat, karier dan kesibukan membuatnya belum memiliki pacar.

Rupanya perjalanan cintanya tak semulus perjalanan karier dan studinya. Beberapa pemuda membuat Patricia tertarik, di antaranya Clyde—pemuda warga negara Thailand yang ia temui di Bali, Andhika—aktor terkenal, dan Bryan—teman di dunia maya. Belum lagi ada Adrian dan Felix yang juga memberi warna dalam hidup Patricia.

Tetapi, siapakah yang benar-benar mampu memenangkan hati seorang Patricia Sarah?

Novel ini wajib dibaca oleh semua wanita single yang masih menunggu cinta sejatinya. Pahit manis cinta akan selalu ada, tetapi kehidupan tidak akan pernah berhenti berjalan.


“Patty berusaha terlalu keras mencari pasangan hidupnya. Padahal, dia hanya perlu membuka mata hatinya, dan pasangan hidup yang didambakan ternyata berada di dekatnya. Gaya penulisan Monica yang detail membuat Circle of Love teramu dengan manis.”
Irena Tjiunata – penulis

“Cerita yang menyentuh dan romantis. Monica Petra tidak cuma piawai mengarang novel teenlit, tapi juga metropop.”
Glenn Alexei – penulis

“Mencari cinta sejati selalu menghadirkan kisah menarik, dan Monica Petra berhasil menuliskannya dengan apik.”
Daniel Jefferson Siahaan – Produser Dreamlight World Media

[New Release] Novel Metropop: I Hate Rich Men by Virginia Novita


Hmm, ada lagi nih novel metropop terbaru yang dirilis oleh Gramedia. Selamat membeli dan membacanya.


Harga : Rp. 45.000,-
Ukuran : 13.5 x 20 cm
Tebal : 228 halaman
Terbit : Desember 2011
Cover : Softcover
ISBN : 978-979-22-7845-3

Sinopsis:Adrian Aditomo benar-benar tipikal pria kaya yang dibenci Miranda, tidak peduli betapa tampan dan seksinya pria itu. Sifatnya angkuh dan begitu superior.

Ada lagi, pria itu sinting! Adrian berani menculik Miranda hanya untuk mengatakan kalimat yang tidak masuk akal—“Adik Anda merebut tunangan saya,” kata pria itu dingin.

“Hah?” Hanya itu yang bisa dikatakan Miranda. Apakah orang yang dimaksud pria itu adalah Nino? Nino-nya yang masih berumur tujuh belas tahun dan masih polos? Tidak mungkin Nino-nya yang masih remaja itu menyukai wanita yang lebih tua, apalagi milik orang lain!

Demi untuk membersihkan nama baik Nino, Miranda terpaksa bekerja sama dengan Adrian. Hal yang sangat sulit dilakukan karena mereka berdua tidak pernah sependapat dan selalu bertengkar.

Seharusnya sejak awal Miranda menolak berurusan dengan Adrian. Ia benar-benar mengabaikan firasatnya. Firasat yang mengatakan Adrian mampu menjungkir-balikkan hidupnya dan terutama... hatinya.

Thursday, December 15, 2011

Resensi Novel Chicklit: Orange by Windry Ramadhina


Perjuangkan cinta yang kaupercayai
Read from December 12 to 14, 2011, read count: 1
---3,5 star...


Judul: Orange
Penulis: Windry Ramadhina
Editor: Christian Simamora
Proofreader: Annisa Kurnia, Resita
Penata Letak: Wahyu Suwari
Designer Sampul: Dwi Anisa Anindhika
Penerbit: Gagas Media
Tebal: vi + 290 hlm
Harga: Rp35.000
Rilis: Cetakan pertama, 2008
ISBN: 978-979-780-249-3

Bagian tersulit saat mencintaimu adalah melihatmu mencintai orang lain...

Tepat sekali. Sebagaimana yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam novel bernuansa jeruk karya Windry Ramadhina ini. Adalah seorang gadis mungil enerjik, Fayrani Muid, putri konglomerat yang justru memilih fotografi sebagai jalan hidupnya, dipertemukan dengan putra sulung konglomerat lainnya, Diyan Adnan, seorang eksekutif muda workaholic dalam sebuah jalinan perjodohan oleh keluarganya. Dua insan yang tak pernah bersua, apalagi mengenal satu sama lainnya ini pun mencoba membangun sebuah jalinan tanpa landasan cinta demi membahagiakan orangtua mereka.Namun, pada akhirnya segala yang pura-pura tak akan bertahan lama. Ikatan resmi pertunangan Faye-Diyan terguncang dengan kehadiran Zaki dan Rera yang mencoba memasuki bilik hati masing-masing. Lalu, bagaimanakah akhir dari kisah ini, apakah Faye akan tetap bertekad menjadi istri Diyan meskipun disasadarinya bahwa laki-laki itu masih menyimpan rasa pada Rera ataukah ia lebih memilih berhubungan dengan Zaki yang tak lain tak bukan adalah adik kandung Diyan? Temukan jawaban atas jalinan cinta yang saling bertautan ini dalam novel debutan Windry Ramadhina.

Sejak mulai membacanya dari halaman pertama, saya tidak bisa berhenti. Oke, tentu saya harus berhenti untuk urusan ibadah, urusan perut, urusan kasur, dan urusan kantor, namun pada dasarnya, membaca novel ini bikin nagih. Paling tidak, saya membaca novel ini tanpa tersela keinginan untuk melirik buku lain (yang biasanya sering saya lakukan). Good for me!

Faye, Diyan, Zaki, dan Rera, adalah tokoh-tokoh yang likeable. Mudah bagi saya menyukai kesemua karakternya, yang digambarkan dengan sangat baik. Tentu saja, sikap labil Diyan dan Rera yang sering on-off itu terkadang bikin gemas juga, namun selebihnya kesemuanya berakting dengan cukup memikat. Great job, Windry. Sedangkan untuk tokoh sampingan, masih ada beberapa yang kurang kuat, termasuk tokoh orangtua Faye-Diyan. Tapi, tak apalah, kalau terlalu kuat nanti justru menenggelamkan tokoh utamanya.

Soal ceritanya sih, kisah cinta biasa. Romansa yang hampir sama dengan Antologi Rasa-nya Ika Natassa. Cinta bersegi empat. Faye dan Diyan dijodohkan, Zaki mendadak jatuh cinta pada Faye, dan Diyan masih tak mampu melupakan Rera. Maka, lingkaran keempatnya adalah konflik utama dari keseluruhan rangkaian kisah cinta di novel ini. Tapi, tenang saja, bumbu penyedap konfliknya cukup menggoda, kok. Cukup untuk membuat novel ini renyah ketika dinikmati. Dan, terima kasih, karena Windry pun tak menyia-nyiakan background masing-masing tokoh sehingga saya merasa dekat dengan mereka, karena mereka memang nyata. Mereka bekerja, berkeluarga, dan bersosialisasi. Background mereka melekat pada karakternya, tidak sekadar tempelan belaka. Tagline novel ini yang saya tulis di muka menjadi deskripsi paling jelas dari keseluruhan ceritanya. Meski hanya sekilas, saya pun ikut trenyuh ketika beberapa tokoh rekaan Windry harus menyaksikan orang yang mereka cintai ternyata malah menjatuhkan pilihan pada orang lain. #berkaca.kaca.

Oiya, kenapa novel ini mengambil judul “Orange” alias “Jeruk”? Saya tak tahu, hehehe. Tapi, kalau menurut saya sih, jeruk adalah highlight dari tokoh Faye yang memang menyukai buah jeruk dan menganggap bahwa hidup ini serupa jeruk yang rasanya asam-manis, “bittersweet”, dan apabila ditarik ulur benang-merah kisah dalam novel ini meman mencoba menggambarkan rasa dari hidup para tokohnya.

Saya juga suka dengan gaya menulis Windry yang membuat tiap adegan mengalir hampir secara kronologis, dari waktu ke waktu, berganti dari satu tokoh ke tokoh lain yang terlibat dalam adegan tersebut. Meskipun demikian, saya agak terganggu dengan penempatan kata ganti orang ketiga dalam kalimat-kalimat yang disusun oleh Windry. Misalnya saja, contoh berikut (hlm. 183-184):
      Zaki membuka kunci pintu depan, lalu ia mempersilakan Faye masuk..dst..... Laptop miliknya masih menyala dan asbak penuh puntung rokok di sebelah laptop itu belum ia bersihkan.
    “Maaf, Faye. Berantakan.”
    Faye tertawa kecil. “Kurasa kau perlu mempertimbangkan...dst...,” kata Faye penuh canda. Dengan nyaman gadis itu mengambil posisi duduk di atas tikar, lalu Faye mulai melihat-lihat kumpulan kertas berisi sketsa miliknya yang berantakan.
Coba perhatikan kata “miliknya” di akhir paragraf. Dalam posisi membaca cepat, mungkin mekanisme otomatis otak saya akan mencerna bahwa kata ganti “-nya” yang disematkan pada kata "milik" itu adalah merujuk pada Faye, padahal sebenarnya itu merujuk pada Zaki yang memang gemar membuat sketsa. Sayangnya, cukup banyak gaya penulisan semacam itu dalam novel ini. Bagi saya pribadi, gaya penulisan tersebut cukup mengganggu. Typo pun masih bertebaran di sana-sini. Beberapa yang cukup mudah ditemukan adalah di bab-bab akhir menjelang ending, padahal di awal typo-nya tidak banyak.

Terkait dengan penamaan tokoh-tokohnya, Windry terkesan menyukai nama modern yang dibuat berornamen. Alih-alih menulis Dian, Windry lebih suka tokohnya disebut Diyan. Demikian pula dengan Niela dan Meilianie. Sudah menjadi penyakit dari jaman dulu kala, penulisan nama yang seperti itu memiliki peluang yang cukup besar untuk terpeleset (salah ketik). Dan, terjadi juga di novel ini, meskipun hanya sekali-dua kali kalau tidak salah. But, overall, saya suka novel ini.

Selamat membaca, kawan!