Sunday, July 20, 2014

Go Subscribe to EPIC READS Youtube's Channel


Yaampun. Sekali ngeklik langsung nggak bisa nggak nontonin semua video di channel-nya Epic Reads di Youtube, deh. Gue banget. Saya yakin banyak temen-temen BBI dan temen-temen pembaca yang lain pasti ngerasa apa yang mereka tampilkan di video-video kocak yang mereka bikin. Haishhh....ayo subscribe, hehehe....

1. Karakter favorit di-MATI-in, OH NOOOOOOOOOOOOOOO....HOHMYGOD!



2. Curi-curi baca buku di Kantor.....bahkan ke toilet pun. GUE ini GUE BANGET!



3. Book Hangover.........*speechless*



4. 7 quotes romantis yang bikin klepek-klepek.....ahhhh....



Semoga para punggawa Epic Reads selalu diberikan kesehatan dan rezeki biar bisa bikin video kocak setiap saat, hehehe....

#Books4Palestine: Membantu Saudara di Palestina Melalui Donasi Buku


Pada saat kita (bangsa Indonesia) sedang merayakan (dengan penuh kesukacitaan dan ketegangan) penyelenggaraan pesta demokrasi, Pemilihan Umum - Pemilihan Presiden 2014-2019, agak jauh di sana, tersiar kabar saudara-saudara kita di Jalur Gaza (Palestina) kembali menjadi korban kekejian tentara Israel yang membombardir wilayah Palestina secara membabi buta. Terkait konfliknya sendiri, silakan Anda cari referensi masing-masing. Tapi, soal kemanusiaan, tentu kita--yang masih punya hati untuk merasa--tak akan sanggup menahan getir yang begitu mengoyak.

Jika Anda pengguna media sosial, jenis apa pun, saya yakin Anda sudah pernah melihat foto atau video bagaimana masyarakat sipil di kedua belah pihak --terutama Palestina-- yang menjadi korban. Saya tak akan menyertakannya di sini. Saya termasuk orang yang tidak tega menyebar-nyebarkan foto-video korban bencana. Saya cukup tahu saja dari sumber yang saya cari sendiri. Jika Anda belum pernah melihat foto-video tersebut dan sangsi atas segala pemberitaan terkait konflik berdarah antara Palestina-Israel ini, silakan Anda googling dulu, ya.


Dilandasi rasa kemanusiaan (ingin membantu sesama), saya diajak Mbak Uci untuk menggagas satu ide mengumpulkan donasi untuk membantu saudara-saudara kita di Palestina. Tentu, kalau sumbangan berbentuk uang saja banyak lembaga yang sudah siap menampungnya. Tapi, idenya sendiri didasari pada hobi dan kecintaan kami yaitu BUKU. Well, bukan dengan menyumbang tumpukan buku-buku yang kami miliki ke Palestina, tapi tetap berupa dana hasil dari kami melepaskan koleksi bacaan kami. Lalu, pertanyaan selanjutnya, caranya bagaimana? Terlintas dalam benak kami untuk menyelenggarakan lelang, tapi kemudian kami sendiri tak yakin karena dengan cara lelang kami mesti memantau dari waktu ke waktu, sedangkan kami berharap sesegera mungkin kegiatan terlaksana. Maka, dipilihlah kegiatan berjualan langsung ke teman-teman pembaca melalui media sosial facebook.



Alhamdulillah, Tim #Books4Palestine menjadi semakin banyak. Ada Kak Roos, Harun, Echa, Ayu, dan Kakmiaa serta Mas Eko-nya Mbak Uci. Kami pun bersepakat ini gerakan sosial dari Goodreads Indonesia. Bertujuh (Mas Eko dihitung satu paket sama Mbak Uci #dikeplak) kami mengumpulkan koleksi masing-masing dan siap untuk dilepas. Untuk mempromokan event ini, kami woro-woro terlebih dahulu di berbagai media sosial kami masing-masing sesaat sebelum foto-foto buku yang bisa dibeli diunggah lewat akun facebook Mbak Uci. Tak dinyana, ternyata respons dari teman-teman sungguh luar biasa. Tak hanya yang ingin membeli bukunya (sekaligus berdonasi) tapi yang ikutan menyumbang buku untuk dijual juga banyak. Subhanalloh. Alhamdulillah. Puji Tuhan.

Dan, ketika event sudah dilaksanakan, kembali kami memanjatkan puji syukur, buku-bukunya hampir seluruhnya terjual. Pun yang membeli, menambahkan dari harga yang seharusnya mereka transfer untuk didonasikan. Kami--kita--lantas tak henti-hentinya mengucap syukur. Kami yakin perbuatan baik, sekecil apa pun, pasti akan mendapatkan rida-Nya (melalui dukungan dari banyak pihak).


Namun demikian, sebagai yang pertama kali kami lakukan, tentu masih ada kekurangan di sana-sini terkait penyelenggaraan event ini. Dari lubuk hati kami yang terdalam, kami meminta maaf. Apabila ada kesempatan lainnya, kami akan melakukannya dengan lebih baik lagi.

Sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih, terima kasih, dan terima kasih kepada seluruh pihak yang sudah ikut serta dalam event ini. Dari saya terkhusus kepada Nana, Mbak Maria, Rhein Fathia, dan Fauziyah Arimy, yang sudah mendonasikan koleksi buku-bukunya. Untuk hasil donasinya sendiri telah kami salurkan melalui lembaga yang menurut kami cukup kredibel dengan penanganan bantuan-bantuan kemanusiaan di Palestina yaitu ACT for Humanity. Semoga apa yang kita usahakan dapat bermanfaat bagi saudara-saudara kita di Palestina dan bagi kita semua mendapatkan catatan kebaikan dari-Nya. Aamiin.


#Books4Palestine

Monday, July 14, 2014

[Buku diFILMkan] Review - Delirium TV Series (Pilot)


Terus terang, saya belum membaca bukunya. Delirium by Lauren Oliver. Namun, saya selalu bersemangat jika mendengar kabar ada buku yang diadaptasi ke media lain. Termasuk Delirium ini. Meskipun, kemudian saya agak bertanya-tanya, mengapa hanya diangkat ke layar kaca bukannya ke layar lebar? Well, tak perlu ambil pusing. Pengarang dan kreatornya pasti punya alasan khusus kenapa Delirium lebih cocok divisualisasikan ke media serial televisi.
Ninety-five days, and then I'll be safe. I wonder whether the procedure will hurt. I want to get it over with. It's hard to be patient. It's hard not to be afraid while I'm still uncured, though so far the deliria hasn't touched me yet. Still, I worry. They say that in the old days, love drove people to madness. The deadliest of all deadly things: It kills you both when you have it and when you don't.






Setahu saya, episode pertama (pilot) dari rencana produksi serial TV Delirium ini sudah kelar syuting tahun 2013 kemarin dan hak siarnya dibeli oleh FOX. Tapi, belakangan diketahui bahwa FOX menolak menayangkan serial ini sehingga nasib produksi utuh dari serial ini menjadi tak jelas. Sebagaimana dilansir oleh EW.com, inilah alasan mengapa FOX menolak menayangkan serial ini:
Deemed “too young” for Fox’s audience. I know — Fox could have concluded that from reading the book and saved everybody the trouble. But there’s a difference between being youthful on paper and the resulting pilot feeling too young.

Syukurlah, agar episode pertama yang sudah dibuat tidak mubazir, dan fans Delirium juga dapat menikmati visualisasi novel ini, Hulu menayangkan pilot episode itu.

  
Dan, saya pun sudah menontonnya.

Saat pertama kali berniat menontonnya saya tak berekspektasi apa-apa. Sekadar menonton saja. Saya sadar, ekspektasi yang terlalu berlebihan bisa membuat kecewa, kan? Maka, standar penilaian saya setting seminimal mungkin ketika video player laptop memutar Delirium.

Seperti halnya pilot dari banyak serial televisi, episode pertama ini dialokasikan untuk memperkenalkan para tokoh dan setting waktu serta tempatnya. Lena Haloway (Emma Roberts) sekaligus berperan sebagai narator yang menjelaskan beberapa hal sepanjang film. Layaknya kisah ber-setting dystopia, para tokoh di Delirium tinggal di suatu tempat yang di-manage oleh pemerintahan yang bersifat mengekang (diktator).


Cinta dianggap penyakit berbahaya, "the deliria", dan mesti dicarikan obat penangkalnya serta mesti hidup di kota yang dilindungi pagar pembtas dengan dunia luar yang dianggap berpenyakit. Setiap anak yang lahir di kota itu yang sudah mencapai usia tertentu (18 tahun) harus menjalani prosedur vaksinasi untuk mencegah terkena penyakit cinta. Pada saat itulah Lena yang bersiap menjalani prosedurnya bertemu dengan Alex Sheathes (Daren Kagasoff), seorang petugas polisi (?) yang ternyata sebenarnya dia adalah warga dunia luar yang sengaja menyusup dan tinggal di kota tersebut (berpura-pura telah disembuhkan dari penyakit cinta) untuk sebuah misi.

Pada episode ini juga ditampilkan gambaran kehidupan keseharian Lena yang dirawat oleh kakaknya yang sudah menikah dan hubungan pertemanannya dengan Hana Tate (Jeanine Mason). Di sisi lain, juga ditampakkan kehidupan Julian Fineman (Gregg Sulkin), anak seorang pejabat kota yang mulai merasa ada yang janggal pada dirinya. Saya tak tahu pasti apa, mungkin dia pun akan menjalani prosedur yang sama dengan yang dijalani oleh Lena?


Konflik lebih banyak mengikuti pencarian jati diri Lena sampai dengan ia semakin dekat dengan Alex dan mengetahui bahwa ada dunia lain selain kota mereka. Bahwa cinta sebenarnya bukanlah penyakit berbahaya sebagaimana dianggap oleh pemerintah. Alex mencoba memengaruhi Lena untuk memercayainya dan mengajaknya keluar untuk membuktikannya. Episode ini diakhiri dengan adegan Lena dan Alex yang berlari menuju pagar pembatas untuk menyeberang, dengan Alex yang gagal mencapai pagar (dan ditembak) sedangkan Lena sukses memanjat pagar dan sampai di luar.


Karena saya belum paham esensi dari Delirium ini, maka saya memang agak bingung dan hanya menikmati sesi introduksi segala atribut dan penokohan Delirium. Secara keseluruhan, sebagai sebuah serial televisi sih lumayan, so so begitu. Not bad tapi juga Not: WOW. Dari segi pengambilan gambar, standar serial TV Amerika-lah. Sedangkan, dari aktingnya juga lumayan. Emma Roberts sepertinya cukup berhasil menjelma sebagai Lena. Namun, sebagai pilot memang saya tidak benar-benar dibuat penasaran dengan episode ini (dan keseluruhan ceritanya). Saya hanya manggut-manggut, "Ya, ya, ya" waktu menontonnnya.


Pada akhirnya, sepertinya saya memang mesti membaca bukunya juga untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang Delirium. Dari episode pertama sih hampir mirip dengan Hunger Games dan Divergent, ya? Ada unsur "seleksi" pada setiap tokohnya. Di Delirium saya menganggap prosedur analisis tentang virus cinta pda diri Lena sebagai fase seleksi.

Untuk yang sudah membaca buku ini, menjadi fans buku ini, dan sudah menantikan buku ini difilmkan, silakan tonton pilot dari serial televisi Delirium ini. Entahlah, apakah ke depannya masih akan ada rumah produksi yang melanjutkan pembuatannya. Kita tunggu saja.

Ulasan pilot ini juga ada di deliriumnet.com

Friday, July 11, 2014

[Resensi Novel Romance] Mencarimu by Retni SB



Kamu boleh mengubah haluan jika di depanmu ada jurang terjal…
Matahari, berusaha setengah mati mencari Irsal, bapak biologisnya. Dia bekerja di "Jelajah", majalah traveling milik bapaknya, dengan harapan bisa “menangkap” si raja media ini. Kedudukannya yang sangat tinggi dalam perusahaan membuatnya sangat sulit terjangkau. Tetapi ada satu teman kerjanya yang terlihat bisa dekat dan sepertinya punya akses lebih mudah untuk bisa mendekati bapaknya. Orang itu adalah Rakho, fotografer Jelajah. 

Dia berpikir dengan mendekati Rakho, maka dia juga bisa mendekati bapaknya. Saat penugasan reportase ke luar kota bersamanya, intensitas kedekatan mereka membuat mereka berdua justru saling jatuh cinta kemudian berpacaran. Tapi cinta itu umurnya pendek, di Batam, mereka bertemu dengan Irsal. Dan ternyata, Rakho jugalah anak Irsal. Kenyataan ini sungguh membuat mereka terkaget. Suka atau tidak suka, cinta mereka harus dihentikan.

Judul: Mencarimu
Pengarang: Retni SB
Penyunting: Nunung Wiyati
Perancang sampul: Joko Supomo
Pemeriksa aksara: Intari Dyah P. & Intan
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: vi + 298 hlm
Rilis: Mei 2014
Harga: Rp49.000
ISBN: 9786022910244

Akhirnya… akhirnya… ya Alloh, salah satu pengarang favorit menerbitkan satu lagi karyanya. Yayyyyy….*jingkrak-jingkrak* Eh, bentar, kok, penerbitnya beda? Nggak novel metropop lagi? Jadi…

Nggak masalah, sih, buat saya. Toh, itu sepenuhnya hak prerogatif pengarang, ya, mau hanya menerbitkan di satu tempat atau di banyak tempat. Yang penting, pengarang favorit tetap menerbitkan karya-karyanya secara kontinyu. Aamiin.

Mencarimumengambil latar jurnalisme bidang travelingdi mana dua dari tiga tokoh utamanya adalah jurnalis majalah ‘Jelajah’, sedang satu tokoh lainnya seorang backpackeryang dalam penggalan kisah dalam novel ini sedang diburu profilnya oleh kedua tokoh lainnya untuk dimuat di majalah tersebut. Di antara ketiganya terjalin persahabatan karena kesamaan hobi jalan-jalan ini hingga tanpa dapat dihindari percikan api asmara menyala di tengah-tengah mereka.
Sebagaimana disebutkan secara gamblang pada sinopsis novel ini, Matahari (tokoh utama perempuan) sengaja pindah ke Jakarta, melamar menjadi wartawan di Jelajah untuk satu tujuan: “mencari” bapaknya. Dari tujuan inilah, beragam konflik batin dialami Matahari yang mau tak mau melibatkan Rakho dan Owan (dua tokoh utama laki-laki). Dari simpul tali persahabatan lalu berubah menjadi ikatan yang lebih dalam, yang memasukkan rasa lain, yaitu cinta.

Saya selalu suka gaya menulis Retni SB. Santun, namun lincah. Diksinya sederhana, namun tak jarang mengena di hati dan sangat quotable. Rangkaian konfliknya tidak begitu njelimet, tapi terkesan dalam dan kompleks. Semuanya dirangkum menjadi satu sajian karya tulis yang enak dinikmati hingga lembar halaman terakhirnya. Mencarimu pun tampil begitu. Luwes dan menghanyutkan. Membuat pembaca, setidaknya saya, dengan mudah tersedot dalam plot cerita hingga tak sadar sudah sampai di ujung kisahnya.

Acungan jempol juga patut diberikan untuk tim editing dan proofreading novel ini. Tak banyak ‘cacat’ teknis yang saya temukan. Masih ada sih satu atau dua kalimat tak efektif, tapi tak begitu mengganggu. Tidak signifikan.

Sayangnya, saya terganjal déjà vu. Jujur, saya sudah berusaha keras mengenyahkan ingatan (padahal sedikit saja) tentang latar belakang karakter Matahari-Rakho yang mengingatkan saya pada karakter Tara Dupont-Tatsuya Fujisawa (Autumn in Paris – Ilana Tan). Well, dari segi cerita sih, berbeda banget ujung kedua novel ini. Tapi, tetap saja, saya telanjur menyimpulkan: kisah cinta semacam ini pasti akan berakhir dengan simpulan yang sama. Kecuali pengarangnya mau ekstrem dan melawan persepsi keumuman, saya sudah bisa menebak ujung kisah keduanya pasti akan begini.

Untungnya, Retni SB menyiapkan ending yang reasonable, agar semua orang berbahagia di belakangnya. Logika-logika yang ada dibuat sedemikian rupa untuk mendukung ‘keputusan’ pengarang membuat ketiganya berbahagia. Tidak instan, tapi juga agak kurang kuat menurut saya. Mungkin, saya tidak puas bahwa gejolak rasa dan emosi jiwa hanya diterabas dengan melipat gulungan waktu: “setahun kemudian”.

Seperti biasa, departemen karakter menjadi salah satu kekuatan gaya menulis Retni. Pengarang berhasil menghidupkan tokoh-tokohnya dengan sangat kuat. Favorit saya, Owan, tampil sebagai sosok traveler yang nyentrik luar biasa. Saya selalu tersenyum dan merasa bahagia setiap ada bagian Owan-nya. Sementara itu, chemistry Matahari-Rakho masih kurang buat saya. Entahlah, apakah karena dari awal saya sudah terganggu dengan plotnya, tapi… ini benar-benar melibatkan perasaan saya secara emosional, sih.

pic: exploreanambas.blogspot.com
Dan, nilai tambah lain dari novel ini adalah kisah traveling dari para tokohnya. Keindahan kepulauan Anambas diilustrasikan cukup mengesankan. Well written. Jadi, kepingin banget bisa ke sana, meskipun kayaknya bakal perjuangan banget, ya. Entah ini perasaan saya saja atau bagaimana, Bentang Pustaka (Mizan group) sepertinya menggalakkan buku-buku tentang perjalanan, ya? Baik itu fiksi maupun nonfiksi. Oh, ini hanya tebakan asal saya saja, sih. J

Pada akhirnya, jika kamu sudah menjadikan Retni SB sebagai salah satu pengarang favoritmu, maka Mencarimu wajib kamu beli dan baca. Nah, buat kamu yang sedang mencari novel romance dengan tambahan pesona keindahan Indonesia, kamu juga bisa mencicipi novel ini.

Selamat membaca, kawan.

My rating: 3 out of 5 star.

Wednesday, July 9, 2014

[Resensi Novel Romance] Destiny by Leonita Julian


Nasib yang terlalu acak demi sebuah "Destiny"
“Ingat-ingat saja tuduhan yang kalian katakan malam ini,
mungkin berguna nantinya kalau kalian sudah mengalaminya!”

Bibirku terkatup erat. Jantungku berdegup kencang. Otakku membeku seketika. Beberapa detik, kami dibuat tercengang oleh ucapannya. Entah apa yang ada di pikiran perempuan tak dikenal itu hingga tiba-tiba melontarkan kata-kata yang membuyarkan obrolan kami.

Ah, sudahlah! Aku tak akan menggubrisnya. Farewell party ini jauh lebih penting ketimbang memikirkan siapa dia dan apa maksudnya. Bernyanyi saja sepuas hati, menikmati makanan sekenyang perut, dan flirting dengan laki-laki manis di dekat panggung.

Sampai tak ada satupun yang menyangka, bahwa peristiwa magis malam itu meninggalkan jejak mendalam bagi kehidupan kami selanjutnya.

Judul: Destiny
Pengarang: Leonita Julian
Penyunting: Pratiwi Utami
Perancang sampul: Wirastuti
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: 220 hlm
Rilis: 2014
Harga:
ISBN: 978-602-291-028-2

Destiny berkisah tentang 6 teman yang secara tak sengaja mendapat semacam 'kutukan' ketika sedang bersantai merayakan farewell party untuk melepas salah satu dari mereka yang akan meneruskan kuliah di Amerika. Kejadian aneh di Seminyak, Bali, itu lantas menjadi benang merah perjalanan keenamnya. Kejadian demi kejadian seolah terjadi seperti perwujudan dari kutukan yang secara tak terduga ditujukan kepada mereka.

Sejak halaman pertama, saya sudah terpukau dengan kalimat-kalimat indah nan inspiratif yang dirangkai oleh Leonita. Tak dimungkiri, sebagai penyuka-diksi-garis-keras saya banyak menandai kalimat yang quotable. Dan, baru saya tahu kalau sebenarnya novel ini berangkat dari tulisan di blog-nya Leonita, www.leonisecret.com (dituliskan di halaman akhir), yang memang inspiratif. Cukup banyak topik yang dianalisis dengan bagus oleh Leonita di blog-nya tersebut.

Namun demikian, ternyata saya kurang bisa terlarut dalam cerita yang dibangun novel ini. Lagi-lagi mungkin karena aslinya ini adalah pemikiran nonfiksi dari Leonita yang kemudian dibelokkan menjadi fiksi sehingga saya berasa beberapa bagiannya terkesan random banget alias acak dan cenderung membuat plotnya bias. Dan, sangat terlihat, sepertinya semua hal ingin dibahas di sini. Contohnya soal sixth sense (indra keenam) yang dibahas di awal-awal novel, tapi kok makin ke belakang saya nggak merasai pentingnya kemampuan indra keenam itu untuk si tokohnya, ya? Atau ada bagian yang saya lewatkan?


Lalu, berturut-turut juga diselipkan bahasan tentang weton, AIDS, LGBT, Twitter, fenomena twitwar, dan beberapa lagi yang lain. Memang, keseluruhannya sudah diupayakan untuk nge-blend dengan plotnya, tapi buat saya masih terkesan acak dan kurang menyatu dengan sempurna. Bahkan, beberapa topik tersebut terkesan hanya selewat dibahas. Mungkin, saya perlu membaca ulang novel ini di kemudian hari, siapa tahu bisa mengubah penilaian saya pada novel ini.


Dari karakter-karakter yang dihadirkan pun, maaf, saya kurang bisa relate dan menyukai satu pun. Semua serbagenerik di kesan saya. Tak ada yang benar-benar meninggalkan pesona yang sanggup membuat saya mengagumi si tokoh. Dan, entah karena premisnya memang diarahkan untuk menuju pada "destiny" yang sudah disiapkan, cukup banyak bagian yang sangat predictable. Jadi, dari awal saya tak mempersiapkan diri untuk mendapat kejutan-kejutan.

Pada akhirnya, saya menyukai buku ini karena diksinya yang menawan. Kalimat inspiratifnya membuat saya manggut-manggut dan berusaha mengambil hikmah atas semua yang terjadi.
"Mungkin kita cenderung menerima mereka yang dianggap sepadan, tanpa menyadari pantas mendapat ynag lebih baik. Kita cenderung mengecilkan diri sendiri, hingga tak menyadari sedang diinjak, atau menginjak." (hlm. 111)

Jika kamu sedang mencari bacaan yang bercerita tentang persahabatan dan liku-liku pencarian tujuan akhir yang membahagiakan, Destiny cocok untuk menemani waktu luangmu.


Selamat membaca, kawan.

My rating: 2,5 out of 5 star.

[Kabar Buku] Peluncuran Buku Tomodachi, Novel Terbaru Winna Efendi


Terhitung sudah dua kali saya mengikuti event peluncuran novel terbaru karya Winna Efendi. Sebelumnya saya ikut serta dalam peluncuran perdana novelnya yang berjudul Unforgettable. Sayangnya, saya malah forget tanggal persisnya acara itu kapan. Hihihi, mohon maklum, faktor U sepertinya. Hufft.

Ketika mendapat informasi pertama kali tentang rencana penyelenggaraan peluncuran Tomodachi, saya meragu. Betapa tidak, acara diselenggarakan tanggal 5 Juli 2014 yang bertepatan dengan bulan puasa (acara dikemas dalam acara buka puasa bersama) dan berlokasi di sebuah restoran Jepang di kawasan Jalan Sabang. Matik! Saya kan nggak suka sushi-sushi-an begitu. Tapi, toh akhirnya saya tetap mendaftar dan berangkat juga. Magnet seorang Winna Efendi masih begitu kuat memikat saya.


Tak perlu disebutkan, saya datang terlambat! Hih! Padahal saya sudah bersiap-siap sejak pukul 2 siang, tapi baru mandi pukul 4 sore, dan cuss pakai taksi dari flyover Karet pukul 5 kurang sepuluh menit. Fiuh, sudah pasti terlambatlah itu. Maka, saya pasrah saja. Kalaupun tak bisa full mengikuti kegiatannya, yang penting saya bisa berhadir dan berbincang singkat dengan Winna. Thank God, ternyata saya nggak terlambat-terlambat amat, sepertinya. Masih ada yang lebih terlambat daripada saya, kok. :)


Ketika saya sampai, acara sudah dimulai dan Winna sedang duduk di depan dan diwawancarai Mita M. Supardi a.k.a. Michan, editor GagasMedia yang menjadi MC petang itu. Karena sebagian kursi yang tersedia sudah penuh, saya memilih duduk agak di belakang sehingga kurang bisa menyimak dengan jelas materi perbincangan Winna dan Michan. Lalu, Michan memberi kesempatan kepada pengunjung untuk bertanya. Beberapa tampak antusias mengacungkan jari, termasuk saya.


Saya bertanya soal kemungkinan Winna menulis novel bertema hubungan yang lebih seius, dalam bingkai pernikahan misalnya (dijawab: mungkin saja, toh Winna pun sudah merasai kehidupan pernikahan) dan soal apakah Winna tertarik menulis novel berseri (kalau tidak salah, Winna bilang belum kepikiran, dan ketika Michan memancing pengunjung dengan bertanya apakah mau Winna menulis novel berseri, sebagian besar dari mereka menjawab 'mau', termasuk saya).

Setelah sesi tanya jawab dan seremoni perilisan Tomodachi, dilanjutkan jeda istirahat seraya menunggu waktu berbuka puasa (azan magrib) tiba. Dan, ketika akhirnya sayup-sayup suara azan bergema dari televisi restoran, kami segera menyantap hidangan berbuka puasa yang telah disajikan. Alhamdulillah... bukan sushi.


Selepas menyantap hidangan buka puasa, acara dilanjutkan dengan pembacaan calon novel Winna berikutnya. Dan, ya ampun, Tomodachi saja baru akan beredar, Winna sudah punya calon novel baru lagi? Wow...dan, pemirsah, nggak hanya satu tapi duaaaaaaa (lantunkan ala iklan Sarimi isi dua)...calon novelnya, lho. Namun, pada kesempatan kali ini, Winna membacakan sepenggal bagian dari salah satunya. Saya sempat merekam (video) ketika Winna membacakannya, namun tidak full sampai Winna selesai membaca, maaf. Silakan disimak di sini:



Di pengujung acara, dilakukan foto bersama dan mengantre untuk tanda tangan novel Tomodachi. Well, itu mungkin yang bisa saya tulis soal keseluruhan acara pre-launch novel Tomodachi by Winna Efendi kemarin. Tentu saja, karena efek terlambat maka beberapa detail di awal acara tidak bisa saya ulas di sini. Semoga nanti ada dari Winna, Gagas, atau teman pengunjung yang lain bisa menceritakannya.

Sekali lagi selamat untuk Winna Efendi atas kelahiran 'baby' imutnya yang baru, Tomodachi. Semoga bisa menginspirasi, disukai pembaca Indonesia, dan laris manis. Ditunggu karya-karya berikutnya yaaa....


 


Selintas soal Tomodachi (sinopsis dari goodreads.com).
Tomodachi merupakan novel rilisan kedua setelah Chemistry by al Dhimas di proyek terbaru GagasMedia: S.C.H.O.O.L. = Seven Complicated Hours of Our Life.

Pernahkah kau bertemu seorang perempuan yang tak pernah lelah menyalakan harap di hatinya? Dalam Tomodachi, kau akan bertemu perempuan itu. Perempuan biasa, tetapi punya harap luar biasa. Baginya, berlari dan menemukan garis akhir adalah sebuah keharusan. Tidak akan ada kata menyerah.

Pernahkah kau memiliki seseorang yang selalu bisa menghapus cerita sedihmu? Dalam Tomodachi, kau akan menemukan tangan-tangan yang terikat pada satu kata: sahabat. Mereka yang keberadaannya membuat kau tak lagi merisaukan hari esok yang mungkin masih gelap.

Juga dalam Tomodachi, kau akan bertemu seorang laki-laki yang berlari dengan sepasang sayap. Yang selalu mengejar garis akhir, tetapi tak pernah ragu untuk diam sejenak menunggu.

Tomodachi dipersembahkan untukmu yang sedang melewati masa-masa pahit-manis dalam cinta dan persahabatan. Juga untuk setiap orang yang pernah melewati dan merindukannya.

Selamat menyusuri kisahnya.

—Editor S.C.H.O.O.L

Intip first chapter dari novel ini di blog resmi Winna di sini: http://winna-efendi.blogspot.com

Monday, July 7, 2014

[Resensi Novel Teenlit] Jurnal Jo 3: Episode Cinta by Ken Terate


LAWAN Bullying!!!

Sinopsis:
Wah, ada cowok baru di kelas Jo Wilisgiri: Izzy. Izzy bukan sekadar cowok, tapi selebriti! Cakep, terkenal, lucu, perfect! Semua cewek dibuat “demam” olehnya, termasuk Jo. Tapi masalahnya Jo nggak boleh “demam” gara-gara cowok lain karena dia sudah punya Rajiv yang ganteng dan baik hati.

Seiring waktu Jo sadar si cowok selebriti itu ternyata jail luar biasa. Sebut saja: menciptakan berbagai olok-olok ajaib sampai mengerek baju renang di tiang bendera. Hm, awalnya lucu sih, tapi lama-lama kok norak ya. Apalagi kalau kamu yang dikerjain. Please deh, lucunya di mana sih?

Parahnya, Sally—sahabat sejati Jo yang sangat memuja Izzy—justru dikerjai oleh Izzy sampai masa depannya terancam suram. Jo pengin menyelamatkannya, tapi Sally justru marah dan memusuhinya. Nabila, sahabat Jo yang lain, juga dikerjai tapi mati-matian melarang Jo buat mengadu.

Aduh, masalah seolah tak ada habisnya. Hubungan Jo dengan Rajiv gonjang-ganjing karena Mama melarang Jo pacaran. Selain itu ada proyek besar semester ini: bikin laporan soal kelestarian sungai. Gawat! Dalam proyek ini Jo sekelompok dengan Izzy dan Sally. Bisa-bisa Jo bakal nggak dapat nilai.

Puncaknya: Rajiv, satu-satunya sahabat waras Jo, harus kuliah di Amerika.

Wow! Benar-benar semester yang gila untuk Jo. Berantakan, galau, kacau-balau, tapi tetap seru, lucu, dan penuh cinta!

Judul: Jurnal Jo 3 - Episode Cinta
Pengarang: Ken Terate
Ilustrator kover: Erick E. Pramono
Penerbit: Gramedia
Tebal: 240 hlm
Rilis: Juni 2014
Harga: Rp50.000
ISBN: 978-602-03-0569-1

Asli, membaca karya-karya Ken Terate selalu mengaduk-aduk perasaan. Kesal, haru, bahagia, sedih, geregetan, semua jadi satu. Di satu bagian saya bisa cekikikan nggak keruan, di bagian lain saya akan mengelus dada sangking ikut terlarut dalam kisahnya.Singkat kata, Ken berhasil mempermainkan emosi saya selama proses pembacaan buku-bukunya. Tak terkecuali novel teenlit terbarunya yang merupakan buku ketiga dari serial Jurnal Jo yang ditulisnya, Jurnal Jo 3: Episode Cinta.

Masih tentang kehidupan Jo di masa pendidikan SMP-nya. Tahun ini ia sudah menjadi siswa kelas delapan dengan segala pernik kehidupan khas ABG tanggung. Jika di buku sebelumnya kehidupan Jo berwarna karena hadirnya gadget dan kehebohan seputar dunia maya, di buku ketiga ini Jo mulai disibukkan dengan urusan hati. Cinta monyet mulai menjangkiti jiwa remajanya. Cinta yang ternyata membuatnya demam dan salah tingkah.


Bagi saya, selain gaya menulisnya yang asyik dan bikin nagih, Ken Terate selalu tampil beda dari segi cerita. Iya, sih, tema anti-bullying memang bukan lagi tema baru. Beberapa novel lokal sudah mengangkat isu ini, tapi tetap saja, ini menjadi satu hal menarik yang dibahas sebagai konflik utama dalam novel ini, di luar konflik tentang cinta monyet ala remaja SMP.

Karakterisasi yang kuat membuat saya mudah terhanyut dalam plot yang disusun Ken. Sebagai tokoh utama, sejak awal tentu saja hati saya sudah condong untuk menyukai Jo, tapi dengan keterampilan yang begitu apik, Ken menghidupkan Jo ini dengan segala kelebihan dan kekurangan yang sangat manusiawi, yang terus-menerus membuat saya gemas. Ada kalanya saya sampai mengumpat pelan, memaki Jo "bego" ketika Jo berbuat ini dan itu yang tak sesuai dengan pendapat saya. Misalnya, Jo yang tak melawan langsung ketika ia diganggu Izzy. Atau, ketika Jo masih tetap melunak meskipun Sally atau Nadine mengolok-oloknya. Tapi, lalu saya bertanya pada diri sendiri, "Memangnya, waktu aku SMP aku berani ngelawan balik pas di-bully?" dan saya mengernyitkan dahi sebelum menggeleng kecil. Iya, sepertinya saya pun bersikap seperti Jo. Sebagai korban bullying saya cenderung "keep calm and be a champion". Maksudnya, peduli setan saya diganggu, yang penting saya tetap juara kelas di bidang akademik.

Secara singkat, buku ketiga dari serial Jo ini dibuka dengan konflik soal urusan desiran hatinya pada Rajiv, tetangganya yang kini sudah masuk SMA. Kalau hanya cinta monyet biasa mungkin masalah tak akan jadi rumit, namun cinta pertama Jo ini bukan cinta biasa. Pikiran Jo sudah mesti ruwet karena Rajiv yang berbeda dengan dirinya, beda suku-beda agama. Agak aneh memang, anak SMP sudah berpikir sampai sejauh itu, tapi bisa jadi di zaman seperti ini, kan? Kedewasaan sudah mulai menelusup tiga atau empat tahun lebih cepat dibanding masa remaja saya dulu, sepertinya.

Konflik seputar bullying muncul bersama dengan hadirnya tokoh baru, Izzy--cowok cakep pindahan dari Jakarta yang langsung ngetop tapi hobi bikin onar. Masuknya Izzy ke SMP-nya Jo ini membawa banyak masalah baru, baik di sekolah maupun yang berkaitan dengan hubungan Jo dan teman-teman dekat Jo selama ini. Semua itu dikemas dengan mulus oleh Ken menjadi drama-remaja-SMP yang tak membosankan. Well, pernik-perniknya sih biasa: tugas kelompok yang berantakan, teman yang akhirnya musuhan, campur tangan orang tua, tapi kesemuanya dibuat sedemikian wajar, sehingga enak dibaca.

Dan, saya menyukai pengemasan/layout novel ini. Terdapat subjudul di tiap chapter-nya yang juga membuatnya berbeda dari novel kebanyakan. Feel membaca saya menjadi lebih hidup. Begini contohnya:


Unsur kenikmatan novel ini memang sebagian besar terletak pada gaya menulis Ken yang mengesankan. Diksi oke, hiperbola tak lebai, sindiran yang tepat sasaran, hingga kalimat-kalimat #jleb yang serba ceplas-ceplos. Meskipun demikian, tak jarang saya menyuarakan ketidaksetujuan kepada Ken menggunakan beberapa frasa yang menurut saya terlalu kasar, misalnya ketika Jo menyebut ibunya sendiri "dodol" dan ayahnya "dudul" (hlm 120). Saya sadar ini bukan buku budi pekerti, dan saya pun sadar yang seperti itu bisa saja benar-benar terjadi, tapi menurut pendapat saya yang berpedoman bahwa buku bisa menjadi guru yang mengajarkan hal-hal baik, seyogianya kata-kata menjurus kasar itu diganti dengan yang lebih halus/elegan.

Beberapa typo masih ditemukan, sebagian cukup mengganggu misalnya:
(hlm 174) Kok aku bila lambat banget sih? = bila itu semestinya "bisa".
(hlm 232) peritistiwa = peristiwa

Sebagian besar, saya suka semua kalimat-kalimat buatan Ken Terate. Sungguh mencerahkan untuk yang membaca dan makin #jleb lagi karena ini tokohnya SMP hingga menyentil ego saya, "Ini anak SMP lho, masak kamu kalah sama anak SMP, sih."

Ketika Jo mulai gelisah karena perbedaan suku dan agamanya dengan Rajiv, cowok itu menasihatinya soal betapa membosankannya dunia jika semua hal sama (hlm 84):
Coba ya bayangkan kalau semua orang di dunia ini sama. Sama hobinya, sama makanannya, sama rumahnya. Eh, kamu ke Padang makan gudeg, ke China makan gudeg, ke Amerika gudeg lagi. Nggak seru!

Kalimat ini bikin nyesss (hlm 160)
"Karena bila hubungan ini membuatmu sedih, itu bukan cinta," kata Rajiv.

Yang ini juga, di adegan ketika Jo memberikan syal musim dingin untuk Rajiv dan cowok itu begitu bahagia menerimanya (hlm 229)
Betapa memberi ternyata bisa menyenangkan, bahkan bagi yang memberi.

Yang ini bikin saya keki. Kapan saya punya istri yang bisa saya taburi kalimat seromantis ini. Hikz. (hlm 230)
Jo: Dan salju, Raj. Kamu akan melihat salju. Aku hanya bisa melihat salju di freezer.
Rajiv: Aku lebih suka melihat salju di freezer, asal bersamamu.

Di bagian lain, Ken juga menyelipkan kalimat-kalimat bernada optimis yang menurut saya sangat bagus untuk memotivasi semua pembaca, tak hanya para remaja yang menjadi target pembaca novel ini. Misalnya tentang memilih tema untuk tugas sekolah yang paling dekat dengan kehidupan sendiri sehingga lebih bisa diresapi (hlm 168) atau soal menjadi pendengar yang baik bagi sahabat (hlm 201) atau kenyataan bahwa setiap manusia memiliki kelebihan-kekurangan dan jalan hidup masing-masing (hlm 215).

Saya selalu mengasosiasikan Jo sebagai seorang pembelajar yang masih banyak 'belum-tahu'nya, bahkan untuk beberapa istilah umum. Sangat manusiawi, menurut saya, toh ia masih SMP, kan? Namun menjadi agak sedikit tak masuk akal ketika ia justru tahu tentang Glee, serial televisi remaja laris Amerika, mengingat Glee sendiri tidak tayang di stasiun televisi Indonesia dan Jo digambarkan memiliki keterbatasan soal akses internet maupun televisi berbayar, jadi saya merasa agak miss di bagian ini (hlm 66).

Pada akhirnya, saya tetap merasa puas banget membaca novel teenlit terbaru Ken ini. Saya yang sudah ngefans gaya menulis Ken sejak novel debutnya tak pernah merasa rugi meluangkan waktu untuk merunut kata demi kata yang dirangkainya. Untuk itu saya sangat merekomendasikan buat para pembaca setia novel teenlit atau yang masih ragu tapi ingin mencoba-baca novel bergenre teenlit untuk mencicipi racikan Ken Terate ini.

Selamat membaca, kawan!

My rating: 4,5 out of 5 star.

Sunday, July 6, 2014

[Fun Games] #IAmEditor - Ngedit Sesuka Kamu


Puji Tuhan, saya sudah dibukakan pintu yang cukup untuk bisa mencicipi berkiprah di industri perbukuan Indonesia. Meskipun belum bisa memenuhi mimpi dengan menerbitkan buku tulisan sendiri, saya sangat bersyukur bahwa saya berkesempatan ikut membantu penerbitan beberapa buku, walaupun mungkin bantuan itu hanya sedikit. Mengedit dan memeriksa aksaranya saja.

Namun, bagi saya itu sudah besar sekali. Makin mendekatkan saya pada mimpi yang ingin saya wujudkan, menulis dan menerbitkan buku. Mengedit dan memeriksa aksara (proofread) adalah dua hal yang sangat menyenangkan. Luapan rasa ketika memperoleh kepercayaan untuk melakukan keduanya sungguh tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Apalagi, dalam kasus saya, saya tak perlu mengajukan lamaran khusus untuk bisa terlibat. Terima kasih untuk orang-orang hebat yang sudah memberikan kepercayaan begitu besar pada saya.



Memang, belum banyak hasil edit atau proofread yang saya tangani, tapi yang belum banyak itu pun sudah sangat-sangat-sangat saya syukuri. Saya menyadari banyak di luar sana orang yang ingin mendapatkan kesempatan seperti yang saya dapatkan. Oleh karenanya, saya selalu mensyukuri apa pun kenikmatan yang saya peroleh. Terima kasih, Tuhan.

Nah, sebagai bagian dari ungkapan syukur atas nikmat yang saya dapatkan, saya ingin berbagi bersama teman-teman pembaca. Kali ini saya ingin mengadakan giveaway dengan tema "#IAmEditor - Ngedit Sesuka Kamu" yang sekalian berbagi keseruan tentang kegiatan editing dan proofreading. Bagaimana cara ikutnya?

Cara ikutan giveaway-nya gampang, kok.
1. Silakan edit dan sekaligus proofread naskah pendek yang bisa diunduh dari sini:
Eliza - (silakan diedit)

2. Kirimkan hasil edit dan proofread sebagai attachment (lampiran) kamu ke metropop.lover@gmail.com dengan subjek "Eliza - nama_kamu" sampai dengan tanggal 17 Juli 2014 pukul 23.59 WIB.

3. Tiga orang pemenang akan mendapatkan masing-masing satu paket berisi buku-buku yang pernah saya edit-proofread seperti yang termasuk dalam gambar di atas. Isi paketnya adalah kejutan.

4. Satu orang hanya boleh mengirimkan satu kali.

Silakan, buat yang ingin ikutan. Saya tunggu, ya. Yang belum jelas, silakan tinggalkan komentar di bawah.
Salam #EmpatJuli