Tuesday, January 31, 2012

[Kado My Secret Santa] Resensi Novel Young Adult - Where She Went by Gayle Forman


Serasa menonton ulang film Before Sunrise..., tapi lebih datar
Reading from 13 - 15 January, 2012
Rating: 2,5 out of 5 star


Judul: Where She went (If I Stay #2)
Penulis: Gayle Forman
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Editor: Dini Pandia
Pewajah Sampul: Marcel A.W.
Tebal: 240 hlm
Rilis: Oktober 2011
ISBN: 978-979-22-7650-3

Summary:
Adam Wilde, seorang rockstar yang sedang naik daun, didera kegelisahan yang semakin hari semakin membuatnya tertekan. Ditambah lagi sikap anggota band yang lain yang selalu melihatnya sebagai masalah dan ancaman bagi grup yang album musik rilis terakhir mereka baru saja diganjar double platinum. Lalu, entah kebetulan entah takdir, Adam bertemu lagi dengan Mia Hall, mantan kekasih yang pergi meninggalkannya setelah ia pulih dari koma akibat kecelakaan yang juga merenggut seluruh anggota keluarga gadis itu, kurang lebih 3 tahun silam.

Atas nama nostalgia dan inisiatif Mia, keduanya menyibak sudut-sudut rahasia kota New York yang menjadi tempat favorit Mia. Dari perjalanan semalam itulah mengalir kisah demi kisah dalam rajutan kenangan masing-masing selama mereka berpisah. Apa yang menyebabkan Mia pergi meninggalkan Adam? Mengapa Adam seolah tak pernah mencari Mia jika ia benar-benar mencintainya? Apakah kejujuran dalam satu malam itu bisa merekatkan kembali segala sesuatunya yang sudah merenggang? Dan, jangan lupakan bahwa keduanya terburu jadwal terbang masing-masing, Adam ke London dan Mia ke Tokyo, apakah dengan waktu yang singkat itu semuanya akan terurai dengan benar? Simak saja bagaimana Adam dan Mia berdamai dengan masa lalu mereka dalam novel Where She Went karya Gayle Forman yang merupakan sekuel dari If I Stay ini.


Saya tentu saja sudah berniat membeli novel ini ketika teman-teman pembaca yang lain pada heboh memperbincangkannya. Apalagi sampulnya yang OK’s bangetsss itu… Simply beautiful! Tak tanggung-tanggung bahkan beberapa dari teman pembaca perempuan memasukkan Adam Wilde ke dalam daftar top boyfriend mereka. Ditambah lagi, novel ini dipilih oleh goodreaders di seluruh dunia sebagai novel Young Adult terfavorit tahun 2011. Tak ayal, saya semakin penasaran untuk membacanya.

Niatan awal, saya ingin membaca runut dari If I Stay dulu tapi dikarenakan kebaikan hati My Secret Santa, saya terlebih dahulu mendapatkan copy novel ini. Heh? My Secret Santa? Maksudnya? Hmm, baiklah saya akan bercerita sedikit tentang ini. Secara kebetulan saya baru bergabung di salah satu group pembaca di facebook yaitu komunitas Blogger Buku Indonesia (BBI) pada Desember 2011. Merujuk pada namanya, komunitas ini adalah tempat bergabungnya para blogger yang content blognya mostly tentang buku, tidak diperkenankan isinya bercampur dengan tulisan lain di luar buku. Awesome! Info selengkapnya tentang komunitas ini silakan intip di blogbukuindonesia dan fanpage BBI di facebook.

Saat itu sedang ada proyek Secret Santa yang diselenggarakan oleh anggota BBI (atau kami menyebutnya BBIers). Rule-nya simple: setiap orang yang mendaftar akan menjadi Santa yang akan mengabulkan wishlist dari seorang member yang terpilih menjadi penerima kado dari Santa. Dikarenakan proyeknya bertajuk Secret, maka baik si Santa dan sang penerima kado tidak saling mengetahui. Di situlah letak serunya proyek ini. Maka, setelah berdebar-debar selama masa penantian, datanglah paket misterius dari Santa saya yang baik. Taraaaaa... paketnya adalah novel Where She Went ini. Senangnya. Lalu, siapakah My Secret Santa?



Siapa dia? Saya berharap semoga My Lovely Secret Santa berkenan memperkenalkan diri kepada saya, di sini, hehehe....thank you very much, Santa. I am really happy that you send me this book. Awesome!

Oke, balik ke novel ini lagi. Sejujurnya, saya juga berusaha ikut merasai perjalanan kontemplasi yang dilakukan Adam Wilde bersama dengan Mia Hall. Saya ingin menemukan sensasi sebagaimana yang ditemukan oleh teman-teman pembaca saya yang lain (mostly, girls), but, unfortunately, I couldn’t find it. Dunno why. Begitu cerita memasuki tahapan penelusuran sudut-sudut kota New York, otak saya justru memutarkan kenangan film Before Sunrise-nya Ethan Hawke dan Julie Delpy yang sangat indah itu. Meskipun berbeda setting, karakter, bahkan ide cerita, namun Before Sunrise sungguh membuat emosi saya datar-datar saja ketika membaca novel ini.

Lalu, pada suatu titik, saya sampai mendengus sebal. Oh, apakah para gadis itu jatuh hati pada bintang rock cengeng pengidap depresi semacam Adam ini? Beuuh, sinis bener, kayaknya saya, ya? Entahlah, saya tak bisa terkoneksi dengan sempurna pada tokoh-tokoh rekaan Gayle Forman di sini. Seorang teman menduga mungkin dikarenakan saya yang belum membaca buku pertamanya. Ehmm, bisa jadi. Namun, selepas saya menyelesaikan If I Stay, saya tetap tak bisa jatuh hati pada kisah ini.

Alur yang ditaburi adegan flash back tidak membantu saya membangun citra diri Adam-Mia. Entah, karena saya yang tidak terhanyut itu, saya merasa permasalahan mereka ini “sepele-banget” dan dibikin ribet sama penulisnya. Konflik pun tak dipertajam. Keberuntungan demi keberuntungan seolah selalu memayungi tiap langkah kedua tokoh utama. Dan, semua menjadi demikian mudah. Lah, kenapa dibikin ribet sampai tangis-tangisan segala? Entahlah.

Saya pun sempat menyalahkan pilihan waktu membaca saya yang terus tancap gas hingga lewat tengah malam, ketika kantuk tak lagi dapat ditahan, saya tetap memaksa merampungkan baca. Tetapi, saya pun melakukannya ketika membaca If I Stay, dan hasilnya beda. Jadi, itu jelas bukan permasalahannya. Saya menyerah untuk mencari alasan. Memang saya-nya yang tak terhanyut kisah ini. Namun demikian, saya tetap menyukai novel ini. sekiranya nanti masih ada lanjutan dari seri ini, saya masih berkeinginan untuk membacanya. Bahkan, saya memang sedang mencari buku lain karya Gayle Forman untuk dibaca.

Secara teknis cetakan, Where She Went mengalami penurunan kualitas. Ada beberapa typo yang masih terselip termasuk inkonsistensi penggunaan beberapa kata (beda halaman, beda penulisan). Yang paling mengganggu bagi saya adalah pemenggalan suku kata yang tidak pada tempatnya. Bahkan, kata yang berada di tengah-tengah halaman pun mendapat pemenggalan suku kata. Saya menduga ini karena penggunaan software konversi kata yang tidak cermat dalam hal setting-nya. CMIIW.

Bagian favorit saya di novel ini:

...dan mereka akan segera lupa bahwa aku hanya manusia fana: daging dan tulang, bisa memar dan terluka (hlm. 129) ---Adam yang mengeluhkan ulah para fans yang merubunginya. 
...tidak ada tempat yang lebih mematikan gairah daripada rumah sakit. Baunya saja sudah bikin hilang selera –sungguh kebalikan dari meningkatkan hasrat (hlm. 136)
Ah, sudahlah, intinya saya suka novel ini, meskipun juga merasa biasa saja ketika selesai merampungkannya. Tak ada kesan yang berbekas di hati saya. 2,5 bintang saja untuk kebosanan saya menghadapi Adam yang penggamang.



Oke, selamat membaca, kawan! Dan, berkali-kali kembali saya sampaikan terima kasih kepada My Secret Santa! God bless you!

Monday, January 30, 2012

[Resensi Novel Dewasa] Unforgettable by Winna Efendi


Apalah arti sebuah nama...
Read from January 29 to 29, 2012
Rating: 4 out of 5 star


Judul: Unforgettable
Penulis: Winna Efendi
Editor: Rayina
Proofreader: Gita Romadhona
Penata letak: Wahyu Suwarni
Pewajah Sampul: Dwi Anissa Anindhika
Penerbit: Gagas Media
Tebal: viii + 172 hlm
Harga: Rp48.000
Rilis: Januari 2012 (cet. Ke-1)
ISBN: 978-979-780-541-8

Summary
Dua orang tak tersebutkan namanya dipertemukan oleh satu pandangan pertama yang disertai sebuah senyuman singkat, di dalam kedai wine. Si perempuan adalah seorang penulis yang melanjutkan mimpi menerbitkan buku dari cinta masa kecilnya, yang selalu terkenang sang Ayah, tinggal berdua saja dengan kakak lelakinya dan membuka kedai wine Muse, serta selalu bersembunyi dari hiruk pikuk dunia glamor perbukuan. Sekali pun buku-bukunya laris di pasaran, perempuan itu menikmati menjadi tak kasatmata bagi siapa pun. Kecuali pada lelaki itu, ia ingin dilihat oleh laki-laki itu.

Dan lelaki itu memang melihatnya. Seorang eksekutif muda yang pada suatu kesempatan memutuskan mampir ke kedai wine Muse dan menjadi pengunjung tetap. Lelaki itu adalah lelaki yang harus melupakan cita-cita masa kecilnya demi menjadi seorang laki-laki dewasa yang bertanggung jawab. Maka, ia menjadi pria yang tak pernah berbagi rahasia perasaannya. Lelaki yang harus menuruti orangtuanya untuk menjalin hubungan dengan gadis yang dijodohkan padanya. Sampai ia bertemu dengan perempuan itu. Perempuan yang berbeda dari perempuan kebanyakan. Perempuan tempatnya bercerita tentang segala rahasianya.

Maka dua orang yang memulai segalanya tanpa perlu mempertanyakan nama masing-masing ini akhirnya saling berbagi rahasia diseling segelas wine tiap malamnya hingga si lelaki beranjak dari kedai wine. Simaklah bagaimana curahan hati dua orang itu dalam novel terbaru karya Winna Efendi bertajuk Unforgettable ini.

Saya mendapatkan novel ini dalam paket partisipasi pada acara Unforgettable Moment: Meet and Greet with Winna Efendi, yang diselenggarakan pada hari Sabtu, 28 Januari 2012, pkl. 13.00 s.d. 14.30 WIB, di The U Cafe. Ini menjadi pengalaman pertama saya berjumpa dengan Winna Efendi yang beberapa karyanya saya gemari. Favorit saya adalah Unbeliveable (salah satu dari seri Glam Girls – Gagas Media)


Dan, Unforgettable demikian berbeda dengan beberapa karya Winna sebelumnya yang sudah saya baca. Oh, dari teknik penulisan sih tidak jauh berbeda. Tetap dengan kehadiran begitu banyak quotes keren dan diksi yang mengagumkan. Unforgettable dibungkus dengan balutan kisah sederhana yang tidak mudah untuk dilupakan. So unforgettable! Yang membedakannya dengan novel Winna yang lain adalah eksplorasi yang begitu dalam akan perasaan seseorang. Banyak sekali pertanyaan, gagasan, ide, kekhawatiran, ketakutan, yang dapat dijadikan sebagai bahan untuk berkontemplasi.

Awalnya saya mengernyit. Haduhh, this book is not my type, seriously. Saya adalah seorang pembaca tradisional yang memuja comfort zone dan kelaziman, jadi ketika dialog dan narasi hanya dibedakan dari huruf miring/tidak miring, saya langsung memasang kuda-kuda untuk membaca lebih saksama. Dan, memang benar, saya harus membaca lebih teliti. Itu bagus sih, karena dengan demikian saya membaca lebih lambat sehingga dapat meresapi setiap kata-dan-kalimatnya. Yang bisa saya bilang, tiap kalimatnya sayang untuk dilewatkan karena saya khawatir akan terpeleset membaca keseluruhan pesan novel ini. Dan, gagal mencapai tujuan akhir yang seharusnya.

Sedikit mengulik behind the scene pembuatan novel ini, sebagaimana dituturkan oleh Winna, bahwa novel ini awalnya adalah sebuah novelette yang merupakan bagian dari karya bersama dua orang teman lainnya di komunitas kemudian.com. Naskah mulai ditulis Winna tahun 2007 hingga 2008 dan [mungkin] dikembangkan lagi sebelum naik cetak karena novel ini pun update dengan kondisi kekinian. Sejak dulu, Winna berkeinginan untuk menulis novel tentang wine, dan ia pun telah melakukan banyak riset dengan membaca buku-buku tentang wine, namun Winna tetap merasa bahwa yang dituangkannya di novel ini belum optimal. Ditambah lagi, ia yang tak terlalu bisa meminum alkohol menjadikan Winna tak mencicip langsung wine yang dibahasnya di novel ini.

And, you know what? Bagi saya yang tak paham soal per-wine-an, I don’t see that. Saya merasa cukup dengan penjelasan Winna. Tiap chapter berjudul salah satu jenis wine serta dilengkapi kutipan yang di dalamnya ada kata wine atau kata lain yang terkait dengan wine, untuk kemudian diberikan sedikit gambaran tentang wine itu dalam narasi dan percakapan dua tokoh rekaan Winna dalam masing-masing bab. Bagi saya, takarannya itu pas, tak kurang-tak lebih.

Kembali ke cerita. Novel ini memberikan inspirasi bagi saya yang selalu sulit mencari bahan perbincangan. Ahh, jadi seandainya saya berjumpa kawan baru, saya bisa menyontek beberapa topik bahasan di novel ini sebagai peletup impresi awal pertemuan. Saya terhanyut oleh pembicaraan yang dilakukan si perempuan dan si lelaki tak bernama. Keduanya bagai menemukan kepingan puzzle untuk melengkapi misteri masing-masing. Serupa menemukan teman diskusi untuk membicarakan apa saja. Tanpa batas. Tanpa keraguan. Tanpa takut akan ditertawakan atau terhinakan. Mereka menyatu dalam keterasingan. Mereka berteman karena menemukan kenyamanan.
Seandainya saja kita sudah saling mengenal sebelumnya, mungkin ada batasan-batasan yang membuat topik menjadi tabu untuk dibahas. (hlm. 119-120)
Tetap saja, mereka ini lelaki dan perempuan. Dan, ketika kenyamanan telah mendamaikan hati masing-masing maka seperti kata Harry pada Sally dalam film When Harry Met Sally, perempuan dan laki-laki tak akan pernah bisa berteman tanpa tendensi untuk saling meletupkan api asmara. Pada akhirnya, mereka mengakuinya. Meski tak terucap jelas, hanya terselip dalam bisikan samar, kata “cinta” itu pun tersampaikan pada masing-masing.

Novel ini tipis sekali, dipotong beberapa lembar kosong pembatas antar chapter, menjadikan novel ini bisa dilahap dalam sekali duduk saja. Dan, dikarenakan banyak sekali quotes di novel ini, saya sampai kesulitan memilih bagian mana yang paling saya suka. Semuanya bagus. Semuanya membawa makna yang demikian dalam bagi saya. Apalagi kata di pengujung novel ini:
Dan mereka hanyalah dua orang yang tak saling mengenal.
Kebetulan bertemu di suatu tempat, pada suatu titik waktu;
masing-masing menggenggam ujung seutas benang merah.
Mungkin yang ingin saya pertanyakan hanya adegan di halaman 105, “...mengenai kasus yang tak kunjung selesai di kantor, keluhan yang berada di ujung lidah, dan Zinfandel yang entah mengapa terasa terlalu pahit,...” di sini, saya merasa ini bagian dari pemikiran/situasi si lelaki. Nah, seharusnya wine yang diminum si lelaki itu jenis Cabernet, sedangkan Zinfandel adalah minuman si perempuan. Apa lagi, tak ada keterangan bahwa si lelaki meminta mencicip Zinfandel atau mengganti minumannya karena di bagian selanjutnya si lelaki tetap menyesap gelas wine jenis Cabernet. Hanya minor dan sekadar penasaran saja sih. Dan kata “teracuhkan” di halaman 145 mungkin seharusnya “tak teracuhkan” yang berarti “terabaikan,” jika dikaitkan dengan konteks kalimatnya.

Overall, saya suka novel ini. Berharap sih novelnya lebih tebal sehingga cerita memiliki plot yang lebih kaya. Oh, jangan khawatir, di pengujung cerita, akhirnya akan diungkap siapa nama kedua tokoh kita yang tercinta ini. Jadi, bacalah hingga akhir.

4 bintang untuk kenikmatan yang saya rasakan ketika menelusuri kata demi kata dalam novel ini. I love your words, Winna!


Selamat membaca, kawan!

Sunday, January 22, 2012

[Resensi Novel Young Adult] If I Stay by Gayle Forman


Mbrebes mili...
Read from January 18 to 21, 2012
Rating: 5 out of 5 star


Judul: If I Stay (Jika Aku Tetap Di Sini)
Penulis: Gayle Forman
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Editor: Dini Pandia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 200 hlm
Rilis: Oktober 2011 (cet. ke-3)
Harga: Rp35.000
ISBN: 978-979-22-6660-3

Summary
Mia Hall adalah seorang gadis yang beruntung. Dia punya Mum, Dad, dan si kecil Teddy yang menggemaskan. Tak hanya itu, Mia juga punya Adam Wilde, seorang rockstar yang sedang menanjak popularitasnya bareng band Shooting Star, yang sudah resmi menjadi pacarnya. Namun, sebuah kecelakaan tragis di suatu pagi yang dingin-musim-salju, merenggut kebahagiaannya. Dalam sekejap dia kehilangan Mum, Dad, dan Teddy. Bahkan, nyawanya pun dekat sekali jurang kematian.

Ketika raganya masih diusahakan untuk sembuh dari segala kerusakan yang ada, jiwa Mia berkelana. Dalam hitungan jam, Mia yang tak kasatmata menyusuri tiap sudut rumah sakit, menyaksikan orang-orang yang disayanginya menjadi panik, sedih, pasrah, dan tak percaya atas apa yang terjadi. Bahkan, hatinya pun seakan teriris sembilu ketika menyaksikan Adam berjuang untuk bisa masuk ke ruang perawatannya dan membuat janji yang akan mengubah segalanya.

Rasakan puncak kepiluan dari dua hati yang dipersatukan dengan dukungan sebuah keluarga yang harmonis namun dalam waktu singkat harus menghadapi cobaan hidup mahadahsyat dalam novel karya Gayle Forman berjudul If I Stay ini.

WOOOWWW! Kapan saya terakhir kali tiba-tiba menangis tanpa bisa saya cegah hanya dari membaca novel? Hmmm....sudah lama sekali rasanya. Dan, saya mengalaminya lagi ketika membaca novel ini. Serius! Padahal dalam dunia nyata saya sulit sekali untuk merasa sedih, lho. Aneh, memang. Mungkin, otak saya salah program. Dunno. Tapi, syukurlah, novel ini memang diciptakan dalam topografi berbukit-bukit. Jadi, ketika telah dihadirkan satu adegan yang begitu mnegharukan, dengan konsep flashback, penulis membawa pembaca ke masa lalu Mia yang menyenangkan. Sehingga ketika tak sengaja air mata mengalir, detik berikutnya rasa sedih tersapu kedamaian melihat masa lalu yang indah, dan air mata berhenti dengan segera.

Bagian inilah yang membuat bendungan mata saya tak mampu menahan luapan air mata yang tumpah:
Gramps.... dan berbisik.
“Tidak apa-apa,” katanya. “Kalau kau mau pergi. Semua orang ingin kau tinggal. Aku ingin kau tinggal lebih daripada apa pun yang kuinginkan di dunia ini.” Suaranya tersekat emosi. Dia berhenti, berdeham, menarik napas, dan melanjutkan. “Tapi itu kemauanku dan aku bisa mengerti mungkin itu bukan kemauanmu. Maka aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku mengerti jika kau pergi. Tidak apa-apa kalau kau harus meninggalkan kami. Tidak apa-apa jika kau ingin berhenti berjuang.”
Pada saat itu, saya teringat Bapak. Pada saat itu, saya teringat Ibu. Saya ingat betapa Bapak dengan pelan membisik kepada saya yang sedang tersedu malam sebelum Ibu saya dipanggil kembali padaNya, “Le, ndang lungguh sanding Makmu, wacakne dungo ben ora loro (Nak, sana duduk dekat Ibu, bacakan doa biar nggak sakit).” Itulah salah satu momen saya menumpahkan seluruh air mata. Saya sudah mencoba meminta padaNya untuk menyembuhkan Ibu, namun malam itu Bapak membuatku mengikhlaskan jikalau sekiranya Alloh hendak memanggil kembali Ibuku. Dan, Alloh memang memanggil Ibu saya, keesokan harinya.

Sosok Gramps, yang digambarkan oleh Gayle sebagai sosok pendiam dan pekerja keras ini, langsung membuat saya jatuh simpati pada beliau. Sudahlah, yang jelas, saya sesak napas ketika sampai di bagian ini (hlm. 152)

Saya membaca novel ini justru setelah membaca sekuelnya, karena buku keduanya saya dihadiahi oleh sahabat baru saya di group Blogger Buku Indonesia dalam proyek My Secret Santa (review buku kedua disepakati akan diposting secara bersamaan dengan semua member yang ikut serta program tersebut di akhir bulan Januari ini). Kalau tidak salah, saya pernah men-tweet soal saya yang tidak terhanyut ketika membaca Where She Went dan tak sampai merasakan kedalaman hati seorang Adam Wilde, dan Mery Riyansah menyarankan kepada saya untuk membaca buku pertamanya yang memang sudah saya niatkan. Dan, tak salah, saya memang terhanyut, bahkan tenggelam, dalam kisah mengharukan Mia Hall. Sebuah pengalaman yang sangat berkesan bagi saya.

Namun demikian, satu yang terlintas dalam benak saya. Ahhh.... film Ghost banget ini ceritanya, atau film Just Like Heaven banget, atau novel Memory and Destiny banget nih novelnya... tentang sosok-setengah-hantu-dengan-tubuh-terbaring-koma dan judgement saya memang tidak meleset jauh. Ini memang kisah seperti itu. Tapi, apa yang membuatnya istimewa? Tentu saja, kepiawaian penulisnya yang berhasil menyeret saya ke muara kesedihan yang begitu dalam namun tidak sampai menye-menye kayak sinetron.

Saya suka semua karakternya. Khususnya Teddy. Lagi-lagi saya sudah lama sekali tidak mendapati tokoh bocah cilik yang memang masih bocah di novel-novel yang saya baca. Ada sih sosok anak-anak namun kebanyakan sudah dicekokin sama kedewasaan karena keegoisan atau ketidaksanggupan penulisnya untuk menghadirkan tokoh anak kecil yang berjiwa anak-anak. Selebihnya, karakter tokoh-tokohnya di sini sangat kuat. Mia sang pecinta musik klasik dengan cello-nya, Adam sang rockstar, Dad yang mantan anggota group band punk, Henry dan Willow sebagai pasangan pencinta punk dan perawat. Saya bahkan tak mengenali Mia di sini seperti halnya Mia di Where She Went, dan saya suka Mia yang ada di sini. Di If I Stay dia terlihat tegar dan rapuh pada saat yang bersamaan (dan tepat) sementara di buku keduanya justru menjadi sosok peragu. Tapi, entahlah, memang kedua buku ini berbeda sudut pandang dan berbeda situasi sih ya.

Soal cover, saya lebih suka yang Where She Went. Meskipun keduanya sangat merepresentasikan pokok cerita, tetapi sampul Where She Went saya rasa lebih kuat untuk menggambarkan keseluruhan cerita ketimbang yang If I Stay. Lah, kenapa saya jadi membandingkan dua buku ini, ya? Hahaha, semprul! Yang jelas, saya rada kurang suka sama sampul yang If I Stay ini.




Soal typo, yeayyy... novel ini hampir bersih dari salah ketik/cetak. Awalnya saya pikir ameba (dari kata amoeba) dan pikap (sebutan untuk pick-up) itu salah ketik, ternyata di KBBI memang begitu cara penulisannya. Yang typo hanya di hlm. 130 (menembuat = membuat) dan hlm. 148 (Grams = harusnya Gramps).

Overall, sulit bagi saya untuk tidak menyukai novel ini. Salam buat Teddy dan Gramps. 5 bintang untuk If I Stay.

Selamat membaca, kawan!

[Resensi Novel Teenlit] Things I Know About Love by Kate Le Vann


Jadi, apa yang kutahu tentang cinta?
Read on January 22, 2012
Rating: 3 out of 5 star


Judul: Things I Know About Love (Yang Kutahu Tentang Cinta)
Penulis: Kate Le Vann
Penerjemah: Ade Reena
Pewajah Sampul: Bena NDR
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 176 hlm
Rilis: Oktober 2010 (edisi asli – 2006)
ISBN: 978-979-22-6283-4

Summary
Livia Stowe, seorang gadis London yang sebentar lagi lulus dari high school, dan pada musim liburan kali ini ia memutuskan terbang ke Princeton, Amerika Serikat untuk mengunjungi kakak lelakinya, Jeff, yang kuliah di sana. Oleh sebab leukimia yang dideritanya, Mum dan Jeff khawatir atas perjalanan itu. Namun, Livia tetap berangkat. Selain untuk berlibur, dia juga ingin merenungkan tentang cinta. Kebetulan dia memang baru putus dari Luke.

Dan, di Amerika Livia justru bertemu dengan cowok-cowok Inggris juga, padahal dia sudah berjanji untuk bermain cinta dengan stranger. Lalu, masuklah Adam ke kehidupan Livia. Tapi, apakah Livia akan menyambut uluran cinta dari Adam? Bagaimana jika Adam juga menjauh setelah tahu bahwa ia menderita kanker? Temukan petualangan Livia mencari makna cinta hingga ke New York dalam novel karya Kate Le Vann bertajuk Things I Know About Love ini.
Menderita suatu penyakit parah adalah pukulan telak bagi siapa pun. Jika kemudian seseorang mampu bangkit dan bersabar atasnya, maka masa depan dapat dikendalikannya. Sebaliknya, jika seseorang sudah luruh dan tak bersemangat, maka masa depan suram akan membayangi setiap jejak langkahnya. Dan, Livia, meskipun awalnya kurang semangat, kemudian demi keluarganya ia berjuang untuk sehat. Apalagi ia juga punya teman-teman yang mendukungnya.

Kisah ini sebenarnya sangat dramatis, namun entah mengapa setitik air mata pun tak jatuh dari kelopak mata saya. Sekilas saya sempat tersentuh, namun tak lama menjadi biasa saja. Namun demikian, saya suka dengan karakter Livia dan Adam. Sejoli yang sama-sama menyimpan rasa, tapi sulit mengungkapkannya. Livia, sebagai seorang perempuan dan beban penyakitnya, enggan memulai. Sedangkan, Adam adalah teman Jeff yang merasa canggung harus mendekati adik sahabatnya, meski hatinya sudah terpaut pada Livia. Bagi saya, tarik ulur ini begitu manis, karena kecanggungan di antara keduanya merupakan refleksi keseharian.


Inti novel ini begitu sederhana, bahkan konfliknya pun, meski terkadang mencolok, kurang kuat untuk membangun suatu dunia dramatis bagi hubungan Livia-Adam. Yang jelas, ceritanya mengalir lancar, walaupun saya merasa pada beberapa bagian terjemahannya agak kaku dan kurang nikmat dibaca. Tapi, overall saya suka. 3 bintang untuk kisah Livia-Adam ini.

Jadi, apa yang diketahui Livia tentang cinta? Berikut adalah catatan yang dipublikasikannya di blog pribadinya:

Yang kutahu tentang cinta
1. Jatuh
2. Cinta
3. Adalah
4. Suatu
5. Hal
6. Yang
7. Paling
8. Indah
9. Di
10. Dunia

Selamat membaca, kawan!

Saturday, January 14, 2012

[Book News] Cuplikan Novel Metropop Ilana Tan - Sunshine Becomes You


Takjub. Dan, patut diacungi jempol. Calon novel karya Ilana Tan ini benar-benar dimanjakan dengan promosi yang getol sekali, bahkan sejak Desember 2011 silam. Hebatnya lagi, fans yang tak sabar menantikan kehadiran karya terbaru penulis novel metropop berseri laris berlatar musim (season) ini, cukup banyak, terlihat dari antusiasme mereka setiap kali ada kabar baru tentang novel ini. Baiklah, berikut ada secuplik isi dari novel yang diperkirakan akan dirilis awal Februari 2012 nanti.



”Oh, celaka!” Mia terkesiap kaget ketika mengeluarkan ponsel dari tasnya. Alex Hirano sudah mencoba menghubunginya berkali-kali, tetapi Mia tidak menyadarinya karena ponselnya berada di dalam tasnya yang ditinggalkan di kursi penonton. Ia bergegas mengenakan celana jins dan sepatu, lalu berpamitan kepada guru tarinya.

Laki-laki itu pasti marah besar, pikir Mia cemas dan cepat-cepat menelepon Alex Hirano. Mia berlari-lari kecil menyusuri koridor di antara deretan kursi penonton ke arah pintu keluar.

Pada deringan kedua, suara Alex Hirano pun terdengar di ujung sana. ”Clark? Kenapa kau tidak menjawab teleponku?”

Mia mengernyit. ”Maaf,” katanya cepat. ”Aku tidak mendengar bunyi telepon.”

”Apakah kau tahu sudah berapa lama aku menunggu?”

”Maaf,” ulang Mia. ”Kau ada di mana sekarang? Aku akan segera ke sana.”

”Berhenti,” kata Alex Hirano tiba-tiba.

Mia otomatis berhenti melangkah walaupun ia tidak mengerti apa yang dimaksud laki-laki itu. ”Apa?”

”Ya, berhenti seperti itu,” kata Alex. ”Sekarang berputar ke kiri.”

Mia menuruti kata-kata Alex Hirano.

Dan mata Mia melebar kaget ketika melihat Alex Hirano duduk beberapa kursi jauhnya dari tempatnya berdiri. Laki-laki itu tersenyum kecil kepadanya sambil menurunkan ponsel dari telinga.

Mia mengerjap heran. Pertama, karena Alex Hirano tersenyum. Laki-laki itu belum pernah tersenyum kepadanya selama Mia mengenalnya. Alex memang sering tersenyum hambar dan sinis, tetapi itu tidak bisa dihitung sebagai ”senyuman”, bukan? Kedua, karena Alex Hirano ada di sana. Mia tidak tahu mana yang lebih mengherankan baginya.

”Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Mia sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, seolah-olah mencari seseorang yang bisa menjelaskan kenapa Alex Hirano ada di sana, lalu kembali menatap laki-laki itu. ”Sudah berapa lama kau di sini?”

Alex Hirano memasukkan ponselnya ke saku celana dan berkata ringan, ”Omong-omong, kau sudah boleh menurunkan ponselmu.”

Mia tersentak dan menyadari ponselnya masih ditempelkan ke telinga. Ia buru-buru memasukkannya kembali ke dalam tas. Ia baru ingin mengulangi pertanyaannya ketika Alex menyelanya.

”Jadi itu yang dinamakan tari kontemporer,” gumam Alex sambil memandang ke arah panggung, tempat para penari sibuk berlatih.

Mia tidak tahu apakah Alex Hirano sedang membicarakannya atau para penari di panggung itu. Apakah laki-laki itu melihatnya menari tadi?

”Aku tidak menyangka kau mendengarkan lagu-lagu Italia,” lanjut Alex sambil kembali menoleh ke arah Mia.

Oh ya, laki-laki itu sudah ada di sini ketika Mia menari tadi.

Mia mengangkat bahu dan membalas, ”Aku bahkan tidak menyangka kau tahu lagu itu lagu Italia.”

Alex Hirano menatap Mia dengan mata disipitkan, tetapi kali ini Mia tidak merasa ingin mundur teratur. Tatapan Alex kali ini bukan tatapan dingin dan bermusuhan. Dan omong omong, Alex juga tidak marah-marah karena tidak bisa menghubungi Mia dan terpaksa harus menunggu. Mengherankan sekali.

”Aku ini musisi,” sahut Alex dengan sebersit nada angkuh dalam suaranya. ”Tentu saja aku tahu semua jenis lagu dan musik.”

Mia ingin membalas bahwa bukan musisi saja yang perlu tahu tentang musik. Penari juga perlu. Tetapi saat itu Alex berdiri dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari deretan kursi penonton, jadi Mia mengurungkan niatnya dan menyingkir sedikit untuk memberi jalan.

Alex keluar dari teater dan Mia mengikutinya dari belakang. ”Jadi kau sudah bertemu dengan gurumu?” tanya Mia berbasa-basi sambil mengenakan jaket luarnya.

Alex mengangguk. ”Sudah.”

”Gurumu masih ingat padamu?”

”Tentu saja,” sahut Alex dengan nada tersinggung, seolah-olah semua orang di Juilliard pasti tahu siapa dirinya.

Mia tidak berkomentar.

Alex ragu sejenak, lalu akhirnya bertanya, ”Yang tadi itu guru tarimu?”

Mia melirik Alex. Sungguh, laki-laki itu agak berbeda hari ini. Ia mengajaknya mengobrol, padahal biasanya ia hanya akan bicara dengan kalimat pendek dan seperlunya. Sepertinya suasana hati Alex Hirano sedang baik hari ini.

”Ya,” sahut Mia singkat. ”Salah satunya.”

”Dia sangat memujimu tadi.”

”Benarkah?” gumam Mia sambil lalu.

Alex menoleh menatapnya. ”Katanya kau salah satu penari terbaiknya.”

”Oh ya?” Mia mengangkat bahu. ”Banyak penari lain yang lebih baik dariku. Omong-omong, kau mau pergi ke mana sekarang? Pulang? Bagaimana kalau kau tunggu di pintu depan dan aku akan pergi mengambil mobil…”

Alex menggeleng dan menyela, ”Aku belum ingin pulang.”

”Oh? Lalu kau mau pergi ke mana?”

Alex berpikir sejenak. Lalu sekali lagi seulas senyum samar tersungging di bibirnya dan ia berkata, ”Toko musik.”

source: facebook Gramedia

Wednesday, January 11, 2012

[Book Event] Ketemu Winna Efendi


Meet and Greet with Winna Efendi
28 Januari 2012

Thanks to @delisa92 yang sudah nge-RT acara keren ini. Fiuuuh, jadi nggak sabar pengen ikutan. Eh, musti registrasi dulu dink. Jangan sampai saking udah lonjak-lonjak, eh, lupa registrasi jadinya malah ga bisa ketemu ama Winna Efendi, salah satu penulis yang piawai mengolah diksi ini. Saya ingin memintakan tanda-tangan buat buku-buku karyanya yang sudah saya koleksi donk. Saya tak akan mengulangi kesalahan ketika datang ke acara aliaZalea kemarin yang saya nggak bawa bukunya....;(

Oke untuk lebih jelasnya, bagi kamu yang ingin ikutan acaranya, simak pengumumannya di gambar di bawah ini:

Saturday, January 7, 2012

[Book Event] Sale Historical Romance di Gramedia Matraman


Coba-coba ahhh, siapa tahu saya juga punya ketertarikan sama historical romance atau paranormal romance yang belakangan ini ramai dibicarakan di Indonesia. Sebenarnya saya sudah kepengen mencoba untuk membaca, namun tetap belum sempat membaca satu pun. Nah, hari ini, sebelum mengikuti acara meet and greet aliaZalea di Gramedia Matraman, saya menyempatkan mampir ke bagian diskonan yang diberi nama "Bursa Buku Murah" yang ada di lantai 1.


Dan, surprise ketika ada tambahan space untuk buku-buku historical romance dan paranormal romance yang di-sale seharga Rp15.000 per-buahnya di sana. Ini beberapa buku yang saya comot:

Mungkin bagi Anda yang sudah menyukai novel genre ini dari sejak awal, buku-buku yang di-sale ini sudah Anda miliki semuanya yaa.... Tapi bagi yang baru mau mencoba, seperti saya, atau yang memang belum punya, acara sale ini tentu saja harus dikunjungi. Lumayan lho...soale setahu saya, novel ini harga aslinya Rp55.000 per buahnya.

[Book Event] Ketemu aliaZalea...


Meet & Greet with aliaZalea
Gramedia Matraman, 7 Januari 2012, pkl. 14.00 - 16.00


Menyimak timeline @Gramedia beberapa waktu lalu yang mengabarkan soal acara temu penulis aliaZalea, saya begitu tak sabar menunggu hari Sabtu, 7 Januari 2012, untuk secara live melihat salah satu novelis metropop yang karya-karyanya sedang digemari ini. Maka, ketika urusan dengan beberapa kawan dari Goodreads Indonesia hari ini selesai, saya langsung meluncur ke Gramedia Matraman untuk mengikuti acara yang digelar di lantai 1 toko buku tersebut.


Setelah ngider sebentar dan mencomot beberapa buku HR yang sedang sale, saya segera menuju tempat acara yang telah disiapkan oleh panitia, ternyata masih banyak kursi yang kosong, dan uhuyy...ternyata saya menjadi one and only guy over there, kayaknya. Namun, menjelang jam penyelenggaraan yaitu pukul 14.00, beberapa cowok ikut nimbrung di situ dan pengunjung juga sudah mulai memenuhi kursi yang ada, meskipun juga tidak full terisi. Sayang sekali, mengingat aliaZalea tidak tinggal di Indonesia, sehingga kesempatan ini termasuk kesempatan langka dan sayang jika dilewatkan.

Tepat pukul 14.00, Boim Lebon selaku moderator membuka acara dan mulai memperkenalkan aliaZalea serta rincian acara kepada pengunjung seraya berinteraksi dengan beberapa pengunjung yang terlihat membawa koleksi novel-novel Alia yang sudah dimiliki oleh mereka. Moderator kocak ini juga sempat membacakan profil singkat aliaZalea, meskipun tidak begitu istimewa mengingat yang dibacanya hanyalah sepotong profil Alia yang ada di backcover novelnya. Padahal, saya sudah menyiapkan catatan untuk menulis detail profil penulis Celebrity Wedding ini. #disappointed.

Dalam acara ini, aliaZalea menceritakan (sedikit) informasi tentang keseharian, passion, pekerjaan, tempat tinggal, hingga inspirasinya dalam mendapatkan ide-ide menulisnya. Sayang sekali, informasi yang dibeberkan kurang banyak dan moderator juga tidak memancing Alia untuk bercerita tentang kehidupan pribadinya lebih banyak lagi. Bagi saya, sisi pribadi penulis adalah sesuatu yang menarik untuk lebih menghayati karya-karya tulisnya, sehingga saya akan memiliki pondasi tambahan ketika menjatuhkan penilaian/judgement pada karya-karya mereka.

aliaZalea lahir di Jakarta, berbintang Taurus, dan seorang yang memercayai fengshui, itulah yang menyebabkan ia memilih nama aliaZalea sebagai nama pena-nya. Oiya, aliaZalea itu nama aslinya lho. Yah, kalau dalam penulisan biasa akan ditulis Alia Zalea, dan dengan beberapa pertimbangan ia menyetujui nama aliaZalea sebagai nama pena-nya dengan menekankan bahwa namanya itu harus ditulis dengan huruf “Z” besar di tengah-tengahnya. Saat ini tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia. Berprofesi sebagai dosen mata kuliah psikologi di Sunway University. Mengapa Malaysia? Alia menyebutkan bahwa ia meng-apply untuk mengajar ke Singapura, Malaysia, Indonesia, dan yang paling cepat memberikan tanggapan adalah Sunway University Malaysia sehingga ia memantapkan diri untuk mengajar (sebagai dosen) di Malaysia. Sayang sekali, saya terlupa menanyakan perihal keluarga dan apakah Alia berpindah kewarganegaraan. Mungkin nanti bisa kita poke di facebook-nya yaaa....:)

Penulis yang mengidolakan sang ayah sebagai role model dalam dunia kepenulisan ini juga menyebutkan bahwa ia mendapatkan ide untuk tulisannya bisa dari mana saja. Berinteraksi dengan orang di sekitarnya, menonton film/serial televisi, mendengarkan musik, dan lain sebagainya. Alia menargetkan untuk setidaknya menerbitkan satu buah novel setiap tahunnya. Penyuka serial Vampire Diaries ini tersenyum kecil dan menyatakan masih agak kurang sreg untuk menulis novel dengan tokoh seorang dosen (sebagaimana kehidupan pribadinya) ketika moderator menanyakan hal tersebut padanya. Ia menyebutkan itu nantinya akan telalu apa adanya.

Jika Anda lebih jeli menelisik, hampir seluruh novelnya happy ending, lho? Dan, ternyata memang Alia lebih menyukai mengakhiri kisah yang ditulisnya dengan kebahagiaan karena ia juga tidak menyukai akhir yang menyedihkan. Alia tidak mau membuat pembaca bukunya ikut depresi jika bukunya berakhir dengan kesedihan.

Dan, berikut adalah beberapa pertanyaan dan jawaban dari sesi interaksi dengan pengunjung:

#1. Sinta (Bekasi): Apakah semua novel yang ditulis berhubungan? Alia: yup, hampir seluruh novel yang telah ditulisnya berhubungan, terutama tokoh perempuannya. Termasuk buku kelima yang sedang dikerjakan saat ini.

#2. Sela (Bekasi): Apakah aliaZalea juga sebenarnya menyukai New Kids on The Block (NKOTB) ataukah itu hanya untuk keperluan penguatan karakter di novel? Alia: awalnya tidak begitu notice dengan band itu, namun beberapa tahun lalu Alia mendengarkan lagu-lagu comeback NKOTB dan berikutnya ia ketagihan untuk mendengarkan lagu-lagu mereka yang lain (yang lebih dulu dirilis).

#3. Aman Setiadi: Siapakah tokoh idola dalam dunia kepenulisan? Alia: Bapaknya sendiri adalah role model dalam dunia kepenulisan aliaZalea. Bapaknya adalah seorang penulis tentang akuntansi yang sangat produktif. Alia selalu amazed melihat bagaimana si Bapak begitu bersemangat dalam menulis.

#4. Agnes: Bagaimana cara membagi waktu antara bekerja dan menulis? Alia: untuk saat ini, Alia selalu menyempatkan diri untuk menulis paling tidak 3 jam sehari, tentu saja sepulang dari tugas mengajar. Jika beruntung (dalam keadaan baik) Alia menyebut bahwa dia bisa menulis sebanyak 5 halaman, namun jika tidak beruntung (dalam keadaan kurang baik) maka tak ada yang sanggup ditulisnya.

#5. Ijul: Setelah membaca MissPesimiss saya menyimpulkan Anda suka membuat adegan-adegan yang agak menjurus vulgar, apakah itu ada kaitannya dengan pengalaman Alia tinggal di luar negeri? Alia: tidak juga. Alia menyebut bahwa dewasa ini, hal-hal sebagaimana yang ia gambarkan di novel-novelnya sudah lazim terjadi. Baginya itu bukan vulgar, ia lebih suka menyebutnya seksi. Dan, Alia, selain romantis, adalah penyuka hal-hal yang seksi.

Begitulah beberapa interaksi antara aliaZalea dan pengunjung yang datang ke acara. Sebelum akhir acara, diumumkan beberapa pemenang dari dua kuis yang digelar di facebook dan twitter. Berikut adalah daftar pemenang (sesuai dengan yang disebut). Maaf jika salah menulis.
Pemenang kuis facebook (hadiah paket buku Gramedia @Rp300.000):
1. Sela Ferisa (Jakarta)
2. Achi Asrianti (Bogor)
3. Surya Retnaningrum (Lampung)
Pemenang kuis twitter (hadiah dinner bareng aliaZalea malam ini, 7 Januari 2012)
1. Rosalia Oktariani
2. Saidah Arifah
3. Primasari
Selamat kepada seluruh pemenang.

Bocoran buku kelima:
Karakter yang akan menjadi tokoh utama adalah Dara dan Johan. Nah, berhubung saya baru baca dua novel awal Alia, saya belum ngeh nih sama Dara dan Johan, hehehe. Dijelaskan sih, Johan ini adalah sang drummer di grup musik yang ada di Celebrity Wedding. Garis besarnya: Johan punya seorang adik, berumur 15 tahun, artis, manja, yang sedang memerlukan seorang asisten artis dan Dara-lah yang akhirnya dipilih menjadi sang asisten. Setting: Jakarta. Hmm, kalau boleh nebak kayaknya cerita akan berputar soal cinta Dara-Johan. Is it true? Tunggu saja bukunya terbit yaa...maybe tahun 2012 ini.

Oiya, Alia juga bilang, saat ini novel Crash into You sedang ditawarkan ke salah satu production house untuk bisa difilmkan, namun belum ada konfirmasi sampai saat ini. Semoga secepatnya dapat konfirmasinya. Amiin!

Di pengujung acara, Alia berpesan kepada siapa pun untuk jangan pernah berhenti membaca buku (SETUJU donk!!!) dan usahakan untuk tidak hanya membaca dari satu genre saja agar dapat memperkaya diri dan bagi yang berkeinginan menjadi penulis jangan ragu untuk mengirimkan naskah ke penerbit. Modal nekat saja dulu.

Okayyy...itu dia laporan pandangan mata dari acara meet and greet aliaZalea, penulis yang telah menerbitkan beberapa novel metropop, antara lain: Miss Pesimiss, Blind Date, Crash into You, dan Celebrity Wedding. Tetap produktif menulis, sista!

Dan, sampai ketemu di acara temu penulis yang lain, kawan! Selamat membaca!






Dikarenakan koneksi internet yang sedang melambat, beberapa jepretan lain akan diupload kemuadian...:)

Wednesday, January 4, 2012

[Resensi Novel Teenlit] The Oracle Rebounds by Allison van Diepen


Pada akhirnya, aku kembali lagi padamu...
Read from December 09, 2011 to January 03, 2012
Rating: 2 out of 5 star


Penulis: Allison van Diepen
Format: ebook
Halaman: 208
Rilis: November 2010

Summary
Michaela “Kayla” Cruickshank bukan gadis SMA biasa. Umurnya baru 16 tahun tapi ia telah meretas jalan bisnis dengan membangun sebuah website yang menjajakan layanan konsultasi beragam persoalan seputar kehidupan percintaan remaja (dating) dengan nama samaran the Oracle. Pada tahun keduanya ini, Kayla harus menelan pil pahit ketika Jared, cowoknya dari setahun kemarin, justru meminta putus dengan alasan yang membuat Kayla gondok setengah mati. Maka dimulailah petualangan Kayla untuk membuktikan teori yang pernah ditulisnya tentang rumus memulai hubungan baru setelah putus dari hubungan yang lama.

Nah, berdasarkan hitungan dari rumus yang dibuatnya itu, kayla membutuhkan waktu 62 hari sebelum ia bisa menjalin hubungan dengan cowok lain. Pada masa-masa itu, satu demi satu cowok masuk dalam kehidupannya. Tapi, nyatanya mencari cowok rebound nggak segampang yang ia kira. Belum lagi, secara tak terduga, website yang dikelolanya justru terjebak dalam kontroversi yang berpotensi menghancurkan reputasi yang sudah dibangunnya dari nol itu.

Hmm, membaca teenlit karya Allison van Diepen ini memang manis-manis renyah. Yah, tak beda jauh sama kebanyakan teenlit lainnya, sih. Namun, karena background psikologi populer yang diemban si tokoh utama, tak jarang banyak selipan quotes yang cukup nendang buat para remaja sekalian yang sedang tersaput nuansa merah muda alias dalam masa-masa indah menjalin gita cinta dari SMA. Silakan disimak nasihat-nasihat love-relationship by Kayla di buku ini.

Yang kurang dari novel ini adalah dangkalnya penggalian konflik dan karakter yang ada. Masih hanya di permukaan saja. Bahkan, ending yang happy seolah menggampangkan semuanya. Cowok yang datang dan pergi selama masa ‘kepergian’ Jared di kehidupan Kayla terkadang serasa hanya tempelan belaka. Saya kurang bisa terisap ke dalam nuansa warna kehidupan remaja yang sejatinya penuh dengan goncangan jiwa itu...xixixi.

Yang membuat saya bertahan untuk merampungkan novel ini adalah gaya menulis Allison yang lancar. Ceritanya ngalir, meskipun terkadang perpindahan satu adegan ke adegan yang lain berjalan kurang mulus. Contohnya pas bagian kedatangan seorang cowok exchange student ke rumah Kayla yang suddenly menggelenyarkan kisah asmara singkat di antara keduanya. Buat saya, bagian ini cepat dan kurang membawa arti bagi Kayla. Entahlah, sepertinya cara Allison menyajikan cowok-cowok rebound bagi Kayla kurang smooth dan terasa hanya untuk mengulur waktu untuk akhirnya mempersembahkan cinta sejati bagi Kayla. Sangat mudah tertebak. Sayang sekali. Bahkan, kehadiran teman-teman Kayla juga seolah hanya serupa pemandu sorak yang menggoyang pompom untuk memberikan dukungan pada Kayla tanpa memberikan makna yang cukup dalam bagi kehidupan Kayla.

But, nyatanya saya malah penasaran untuk membaca buku sebelumnya, The Oracle of Dating, hahaha. Saya memang suka gaya menulisnya sih.

Baiklah, selamat membaca, teman!