Wednesday, October 8, 2014

[Resensi Novel Romance] Dear Friend With Love by Nurilla Iryani


Mencintai sahabatmu...
Katanya, a guy and a girl can't be just friend.
Benarkah?
How about Karin and Rama?

Karin:
Delapan tahun! Itu bukan waktu yang sebentar untuk menunggu. Tapi yang aku dapat selama ini justru semua cerita saat kamu jatuh cinta dengan beribu-ribu wanita lain di luar sana. Beribu-ribu wanita lain yang selalu berakhir membuatmu kecewa. Rama, sadarkah kamu, wanita yang gak akan pernah mengecewakanmu justru berada di dekatmu selama ini? Aku, sahabatmu tolol!

Rama:
Satu di antara seribu alasan kenapa gue nyaman bersahabat dengan Karin adalah ketidakwarasannya membuat gue tetap waras di tengah gilanya kehidupan Jakarta. Ya, dia adalah teman adu tolol favorit gue. Oh iya, gue punya satu lagi alasan: dia cantik banget, gak malu-maluin buat diajak ke pesta kawinan kalau gue sedang kebetulan single. Paket komplit!

Judul: Dear Friend With Love
Pengarang: Nurilla Iryani
Penyunting: Herlina P. Dewi
Penerbit: Stiletto Book
Tebal: 146 hlm
Rilis: Januari 2013 (cetakan kedua)
Harga: RP33.000 (buku buntelan dari Penerbit, namun tidak memengaruhi resensi)
ISBN: 9786027572072

Sahabat jadi cinta. Friendzone. Just friends. Selain tema perjodohan, sepertinya tema sahabat jadi cinta atau rasa cinta yang terperangkap hubungan persahabatan menjadi tema yang sangat sering dipakai. Mungkin karena sedang hits saja kali, ya. Persis kayak buah musiman atau tren sesaat yang kerap menjangkiti selera orang sini. Seperti halnya tema "menggalau" dan "move on" yang pernah populer beberapa waktu lalu. Dan, beberapa orang kadang memang tak terlalu menyukai hal-hal yang mainstream. Hmm, barangkali termasuk saya.


Tapi, tema friendzone di Dear Friend With Love aka DFWL ini tak membuat saya bosan. Gaya menulis Nurilla yang ceplas-ceplos dan seperti mengajak ngobrol membuat saya betah membaca buku ini. Well, kebetulan saya cukup kenal dengan dialek atau aksen anak gaul Jakarta yang digunakan dalam novel ini sehingga tak kesulitan melebur dalam setiap adegannya. Sudut pandang orang pertama untuk kedua tokohnya (Karin dan Rama) membuat saya ikut merasai pasang surut emosi mereka. Gemas, geregetan, cengengesan, marah, pengin nabok, sampai pengin ngejitak campur jadi satu.

Kekuatan lain dari gaya menulis Nurilla adalah dialognya yang segar dan bikin senyum-senyum sampai ngakak. Selain itu, banyak juga kalimat-kalimatnya yang quotable. Beberapa sudah saya tweet selama membaca novel ini. Yang paling saya suka adalah kalimat ini:
"I can't always be here waiting for you. I know, at some point, I have to give up and move on." 
(hlm. 66)
"Kasihan si waktu. Selalu diandalkan untuk menyembuhkan luka. Harusnya dia punya gelar dokter." 
(hlm.119)
"There is one question you always wanna ask, but you decide to keep it yourself, just because you're afraid you can't handle the answer."
 (hlm. 87)


Kalau saja ini murni tentang sahabat jadi cinta atau friendzone belaka, mungkin saya bakal apatis total, ya. Untunglah, novel ini meramu dua tema itu jadi satu. Alhasil saya dibuat melongo sama twist di akhir ceritanya. What an ending! Gantung yang... yang... apa, ya, hmm... lumayan tak terduga. Bikin dongkol dan ngarep ada cerita lanjutannya. Untuk DFWL ini cukuplah diakhiri dengan begini, bisa membuat pembaca --saya-- menebak-nebak sendiri apa yang bakal terjadi selanjutnya.

Aslinya saya menyukai kedua tokoh, plus dua tokoh pendampingnya (Astrid alias Cicit dan Adam). Hanya saja, tokoh Rama sebagai cowok terkesan terlalu cerewet dan narsisnya agak kelewatan (untuk ukuran cowok). Ditambah lagi, intonasi dari kedua karakter ini setipe. Gaya nyinyirnya, analogi hiperbolisnya, sampai jenis-jenis umpatannya mirip. Agak-agak mustahil, menurut saya. Sekalipun kita sudah sahabatan sejak orok, tetap saja tiap orang punya kecenderungan untuk berbeda. Apalagi ini lain gender. Buat saya, ini merupakan salah satu titik lemah dari DFWL.

Dari segi cerita, pertanyaan-pertanyaan "Masak iya, sih?" selalu menghinggapi benak saya setiap membaca kisah dengan tema macam ini. Di DFWL ini, sangat gamblang disiratkan bahwa cowok adalah makhluk yang tidak peka sama sekali. Dari yang saya tangkap, Karin sudah cinta banget-nget-nget sama Rama, tapi cowok itu sama sekali enggak tahu fakta tersebut. Digambarkan merasa atau curiga atau sempat kepikiran saja enggak. Seriusan? Hufft. Sebaliknya, dengan alasan klasik enggak mau merusak hubungan pertemanan bla-bla-bla Karin juga tak pernah menyatakan apa yang sesungguhnya dia rasakan. Buat saya, agak absurd sih, ya. Melihat bagaimana progresifnya pemikiran mereka, yah, agak kurang masuk. Paling tidak, dari sisi Rama sempet lah ya "merasa" atau "curiga" begitu (ada, tapi di ujung-ujung cerita, kayaknya setelah dengar pengakuan Karin). Di sini, yang saya tafsirkan, Rama sama sekali clueless soal perasaan Karin. Yang perlu dicatat juga, Rama ini playboy dan perayu ulung, lho.


Berdasar pengalaman, akan ada beberapa tipe pembaca yang sulit jatuh suka pada novel ini. Yang pertama dengan alasan seperti yang saya sampaikan pada paragraf sebelumnya soal tokoh cowok yang kelewat cerewet (ada yang nyeletuk, "Udah sih, yang cerewet cewek aja, masak cowok dibikin cerewet juga, bikin tambah senewen.") dan dialek yang Jakartasentris. Yang kedua, adalah tipe pembaca yang enggak terlalu respek pada gaya menulis bahasa Indonesia campur bahasa Inggris. Sebagian masih menoleransi jika ditulis secara utuh dalam satu kalimat. Sedangkan, secara umum banyak yang menyayangkan jika dalam satu kalimat dibikin gado-gado. Misal, seperti kalimat berikut:
Yeah, I have to admit sih, si Karin ini pakai baju seajaib apa pun, pasti terlihat tetap modis. 
(hlm. 3) atau
Mungkin deep down inside, aku ingin melihatnya cemburu. 
(hlm. 110)
Dan, gaya menulis seperti itu memang sudah menjadi trademark dari Nurilla, sepertinya. Seingat saya di The Marriage Roller Coaster, gaya menulisnya juga begitu.


Sebagai pembaca novel-novel romance, saya memang gampang muak kalau membaca buku yang melulu membahas sisi cinta-cintaannya saja, tanpa menyelipkan subplot masalah lain. Kayak hidup ini cuman mikirin jodoh, jodoh, dan jodoh dalam 24 jam-7 hari seminggu saja. Masih ada masalah lain dari sekadar belum nemu pasangan, makanya saya menyukai lini novel metropop yang juga mendeskripsikan dengan cukup detail (tapi enggak lebay) tentang karier dan lingkungan kerja mereka sehari-hari. Rasanya lebih membumi dan manusiawi, begitu. DFWL memiliki potensi untuk mengeksplorasi dunia kerja Karin dan Rama yang sebenarnya cukup menarik. Fashion dan broadcasting. Sayang memang, hanya disinggung sedikit-sedikit saja, itu pun untuk melengkapi adegan cinta-cintaan yang sedang dibahas.

Dari segi teknis cetakan, masih ditemukan beberapa (lebih dari lima) typo di novel ini, termasuk kurangnya tanda baca, tidak konsistensinya penggunaan istilah, sampai dengan layout yang miring-miring di beberapa halaman. Beberapa typo, antara lain:
(hlm. 11) ngeliatain = ngeliatin 
(hlm. 11) peluk-pelukkan = peluk-pelukan
(hlm. 16) Bagaimana pun = Bagaimanapun (gabung)
(hlm. 17) seorangpun = seorang pun (pisah)
(hlm. 18) responnya = responsnya (KBBI)
(hlm. 20) apapun = apa pun (pisah)
(hlm. 35) manapun = mana pun (pisah)
(hlm. 39) kripik = keripik
(hlm. 39) toples = stoples
(hlm. 45) menganggukan = menganggukkan
(hlm. 49) meletakkannya depan Cicit = meletakkannya di depan Cicit
(hlm. 63) Dari pada = Daripada (gabung)
(hlm. 95) Plaza Senayang = Plaza Senayan
(hlm. 113) makannya = makanya
(hlm. 145) menganggukan = menganggukkan

Secara keseluruhan saya cukup menikmati dan menyukai novel debutan Nurilla ini. Tak bisa dimungkiri, secara pribadi, saya memang menyukai gaya menulis seperti yang digunakan dalam DFWL. Buat yang lagi butuh bacaan ringan, tipis, murah, namun cukup asyik dan #jlebjleb juga, silakan cicipi Dear Friend With Love karya Nurilla Iryani ini.

Selamat membaca, tweemans.

My rating: 3,5 out of 5 star.

0 comments:

Post a Comment