Saturday, April 26, 2014

[Resensi Novel Young Adult] DISTANCE Between Us by Kasie West



Another Cinderella love story

Sinopsis

Tujuh belas tahun Caymen Meyers belajar sejak awal bahwa orang kaya tidak bisa dipercaya. Dan setelah bertahun-tahun mempelajari orang kaya dari belakang kasir toko porselen boneka ibunya, ia semakin meyakini hal tersebut.

Lalu datanglah Xander Spence, seorang pemuda yang tinggi, tampan, dan kaya raya. Meskipun tampaknya berbeda dengan orang kaya lainnya, Caymen merasa bahwa ketertarikan Xander padanya takkan bertahan lama. Satu hal yang dia pelajari dari peringatan ibunya yaitu orang kaya mudah tertarik pada wanita lain. Tapi ketika kesetiaan dan perhatian Xander berhasil meyakinkan Caymen bahwa menjadi kaya bukanlah suatu cacat karakter, dia menyadari bahwa uang berperan jauh lebih besar dalam hubungan mereka ketimbang yang dia sadari.

Dengan begitu banyak hambatan yang ada di jalan mereka, bisakah dia menutup jarak antara mereka?
 
Pengarang: Kasie West
Penerjemah: Lisa Indriana Yusuf
Penyunting: Bunga Siti Fatimah
Pewajah sampul: Ellina_wu@hotmail.com
Penerbit: Laluna and Friends (StudioKata)
Tebal: 398hlm
Harga: Rp59.000
Rilis: Februari 2014
ISBN: 9786029719758

Pernah melihat sekilas di rak New Arrival salah satu toko buku di Jakarta, tapi belum tergerak untuk mencomot novel ini, kala itu. Selain tidak familier dengan nama pengarangnya, secara pribadi saya tak begitu menyukai kovernya (kurang menggambarkan romantisme dan perjuangan tokoh di dalam kisahnya, menurut saya). Tapi, … surpriseeee… saya mendapat kiriman novel ini dari StudioKata. Makasihhh…


Lalu, saya agak menyesal, kenapa merasa ragu untuk mencomot novel ini dari sejak kali pertama melihatnya di toko buku. Begitu saya membuka lembaran awalnya, saya langsung tersedot ke dalam ceritanya dan terhanyut buaian dongeng Cinderella gaya baru besutan Kasie West ini. Tentu saja, selayaknya kisah Cinderella yang sudah kita kenal, tak banyak hal baru yang ditawarkan Kasie dalam novelnya ini. Tetapi, gaya menulis dan selipan konflik serta karakter-karakter yang diciptakan Kasie begitu menarik sehingga sentuhan romansa klasik khas negeri dongeng ini tampil demikian manis.

Caymen Meyers tinggal berdua saja dengan ibunya di sebuah rumah kecil berkamar sempit yang menyatu dengan toko boneka yang tak begitu ramai dikunjungi pelanggan. Namun, tentu saja, toko boneka itu punya satu-dua pelanggan loyal, salah satunya Mrs. Dalton yang sering memesan boneka sebagai hadiah untuk cucu-cucunya. Karena urusan Mrs. Dalton-lah, Caymen bertemu dan berkenalan lalu jatuh hati pada Xander Spence. Tapi, sebagaimana yang diyakininya selama ini, plus doktrin yang diajarkan ibunya, Caymen selalu memandang sinis orang kaya, dan Xander adalah cowok kaya, anak miliuner di kota itu. Novel ini menguraikan perang batin Caymen antara cinta dan prinsip yang selama ini dipegangnya. Juga tentang keluarga, persahabatan, dan hubungan antarsesama.

Menurut salah satu teman, kekuatan novel ini terletak pada dialog antartokoh dan monolog (narasi) Caymen sebagai tokoh dengan PoV orang pertama di novel ini. Kekuatannya itu tampak dari kalimat-kalimat sarkasme yang menggelitik dan membuat saya terpingkal. Meskipun beberapa kalimat kurang dapat saya tangkap esensinya, terjemahannya juga lumayan oke, kok. Interaksi Caymen-Xander atau Caymen-Mason, atau interaksi Caymen dan Susan, ibunya, serta dengan Skye, sahabat karibnya, dapat saya tangkap dengan jelas.

Soal ceritanya, sekali lagi, novel ini tak menawarkan hal baru. Cewek cantik yang kebetulan miskin bertemu dengan cowok tampan bak pangeran yang kaya raya. Canggung. Kikuk. Tapi saling mengait, karena saling kagum. Si cewek masuk ke kehidupan si cowok, begitu sebaliknya. Masing-masingnya mencoba mencampuri kehidpan mereka. Datang konflik. Keluarga yang sepertinya tak merestui. Orang ketiga yang menyalakan api cemburu. See? Sounds generic? Bahkan, ending-nya, OH-ASTAGA sinetron banget, ya? Rahasia kelam masa lalu ibunya yang juga memengaruhi hidup Caymen, bahwa dia sebenarnya……..(spoiler). Untung saja, gaya menulis Kasie cukup memikat, sehingga saya tetap dapat menikmati kisah Cinderella ini dengan antusias.

Dari segi teknis, masih banyakkkkkkkkk banget typo-nya, ini beberapa yang saya temukan:
1.       Penggunaan kata memerhatikan di sepanjang cerita, di KBBI yang sekarang dikenal adalah memperhatikan
2.       (20) kebiasannya = kebiasaannya
3.       (31) berterima kasih kasih = kelebihan kata “kasih”
4.       (57) jahil = jail (dalam konteks kalimat seharusnya bermakna ‘nakal’ bukan ‘jahat’)
5.       (62) halam = halaman
6.       (70) Lagipula = Lagi pula
7.       (70) dikeliling = dikelilingi
8.       (91) yang ada dia pikirkan = yang dia pikirkan
9.       (93) berkata, “sebentar saja.” = berkata, “Sebentar saja.”
10.   (99) seksama = saksama
11.   (103) apa Mom = Apa Mom
12.   (107) menggaris bawahi = menggarisbawahi (sambung)
13.   (106) Sebenernya = Sebenarnya (konteks kalimat bukan dialog)
14.   (109) menoleh dan dan dia = kelebihan kata “dan”
15.   (111) ada yang saat yang tepat = kelebihan kata “yang”
16.   (120) kalau pun = kalaupun (sambung)
17.   (124) kataku dengan dengan tiga = kelebihan kata “dengan”
18.   (138) disitulah = di situlah (pisah)
19.   (145, 186) ke mari = kemari (sambung)
20.   (145) di banding = dibanding (sambung)
21.   (146) sekali pun = sekalipun (konteks kalimat bukan bermakna frekuensi)
22.   (155) mengeetuk = mengetuk
23.   (159) mempercayaiku = memercayaiku
24.   (162) antrian = antrean
25.   (176) Akhinya = Akhirnya
26.   (184, 187) kita = kami
27.   (240) kelakukan = kelakuan
28.   (244) ijin = izin
29.   (250) seringkali = sering kali
30.   (256) saling berhadapan = sudah bersifat resiprokal, tak perlu ditambahkan kata “saling”
31.   (261) memerkirakan = memperkirakan
32.   (270) siapapun = siapa pun (sambung)
33.   (271) berkaca mata = berkacamata (sambung)
34.   (272) dikembang biakkan = dikembangbiakkan (sambung)
35.   (280) praktek = praktik
36.   (299) Aku bisa bisa merasakan = kelebihan kata “bisa”
37.   (308) mengetahi = mengetahui
38.   (319) apapun = apa pun
39.   (327) sepertinya yang = seperti yang
40.   (329) menambahkah = menambahkan
41.   (347) Terima kasih kasih = kelebihan kata “kasih”
42.   (351) Aku berbalik lalu dan = kelebihan kata sambung, hilangkan salah satu
43.   (373) ada yang orang lain = kelebihan kata yang

Selain sederet typo itu, masih ada beberapa kesalahan peletakan tanda baca, kalimat yang tidak efektif, dan penggunaan istilah-istilah yang tidak konsisten. Satu kalimat yang masih sulit saya pahami maksudnya ada di halaman 126:

Aku kembali menahan napas. Tubuhnya wangi sabun mandi dan detergen mahal.

Tubuhnya wangi detergen? DETERGEN? Sabun cuci maksudnya? Jadi, mandi pakai sabun cuci? #eh

Selebihnya saya suka novel ini. Meskipun klise nggak ketulungan, saya tetap suka. Well, saya pikir gaya menulis Kasie memang benar-benar masuk di selera saya. Biasanya, tema dan adegan klise serta sekuali typo seperti ini langsung membuat saya ilfil ketika membaca atau malah tak berminat menyelesaikan baca. Tapi, entah kenapa, saya mulus-mulus saja ketika membaca novel ini. Weird.

Saya pikir Aria (Lucy Hale) dan Ezra (Ian Harding) pas memerankan Caymen-Xander.



My rating: 3,5 out of 5 stars.

Tuesday, April 22, 2014

[Resensi Novel Remaja] Diary Princesa by Swistien Kustantyana (+ GIVEAWAY voucher belanja Gramediana)



[Catatan: demi independensi, buku yang diresensi di blog ini dibeli sendiri oleh peresensi]

Every cloud has a silver lining…

"Menurutmu kenapa Aksel menyukaiku?" aku melemparkan pertanyaan cheesy kepada Sisil. Sisil tertawa. "Kamu ingin mendengarkan pujian terus ya hari ini? Tentu saja karena Princesa itu cantik, pintar, dan baik hati."

Aku tertawa mendengar jawabannya. Seandainya saja Sisil tahu, aku mengharapkan jawaban lain kenapa Aksel menyukaiku. Jawaban yang tidak standar. Seperti jawaban milik Nathan.

Princesa atau akrab dipanggil Cesa adalah cewek yang penuh percaya diri. Dia tahu kalau dia itu cantik, pintar, populer, dan banyak yang naksir. Cesa bisa saja memilih cowok mana pun untuk dijadikan pacar, enggak bakal ada yang nolak deh! Kecuali cowok yang satu itu. Cowok yang menjadi sahabat kakaknya, Jinan. cowok yang Cesa tahu menyimpan rasa hanya untuk kakaknya.
Pengarang: Swistien Kustantyana
Penyunting: Laras Sukmaningtyas
Perancang sampul: Neelam Naden & Aldy Akbar
Penerbit: Ice Cube (KPG)
Tebal: 260hlm
Harga: Rp44.000
Rilis: Februari 2014
ISBN: 978-979-91-0679-7

Selalu menyenangkan membaca novel yang di dalamnya juga banyak menyebut atau menceritakan tentang novel/buku lain. Tentu, lebih mudah terhubung dengan mood baca jika ternyata buku-buku yang disebut itu sama dengan buku yang pernah saya baca. Atau sebaliknya, jika buku-buku yang disebut di buku belum pernah saya baca, bisa jadi referensi untuk mencari buku-buku itu nantinya. Diary Princesa ini juga banyak menyebut judul-judul buku populer, sehubungan dengan salah satu tokohnya, Jinan, yang memang gemar membaca.

Jujur saja, jika tidak ada rekomendasi dari teman lain saya mungkin tak berniat mencomot apalagi membaca buku ini. Timbunan buku yang mengantre untuk dibaca di kosan masih banyakkkk, dari penulis yang sudah saya kenal dan saya favoritkan. Jadi, agak gambling juga ketika memutuskan membaca novel ini alih-alih membaca novel lain.

Maka, saya membaca Diary Princesa ini tanpa ekspektasi yang tinggi. Saya hanya ingin bersenang-senang. Dan, syukurlah, buku ini cukup menyenangkan. Tolok ukur pertama dari buku penulis yang baru saya kenal, DIKSI. Oke, saya suka diksinya. Beberapa kalimatnya quotable dan sebagian besar lainnya mengalir mulus, menggulirkan plot yang dibangun oleh Swistien. Tolok ukur kedua: KARAKTER. Well, mungkin dengan pondasi kuat bahwa Swistien hendak mengangkat isu  bipolar disorder sehingga tokoh-tokohnya hidup dengan begitu kuat, meskipun (entah karena saya lalai atau apa), saya tak mendapati citra yang begitu jelas tentang tokoh Jinan yang dikisahkan mengalami gangguan itu. Sayangnya lagi saya belum membaca atau menonton film The Silver Linings Playbook yang menjadi inspirasi Swistien dalam menulis Diary Princesa ini.


  
Untuk ceritanya sendiri, karena mengangkat isu gangguan mental itu, saya cukup bisa menikmati kelabilan beberapa tokoh dan adegan  yang dibuat untuk memperkuat karakternya. Terkadang saya geregetan ketika Cesa atau Jinan atau Nathan atau Aksel melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang menurut saya tak semestinya. Well, ini pertanda saya tersedot dalam ceritanya. Dengan judul mentereng, DIARY Princesa, plus gaya menulisnya dari sudut pandang orang pertama yang berkesan curhat, mungkin akan lebih catchy lagi kalau bentuknya benar-benar seperti buku harian. Bahkan, novel ini pun tak disemati keterangan waktu, lazimnya buku catatan harian/kronologi kejadian. Entah sih, kalau tim editing/layouting atau pengarangnya sendiri merasa terlalu mainstreamatau membosankan jika dibikin selayaknya buku harian, tapi untuk saya pribadi dengan kondisi seperti ini sih saya lebih suka bentuknya benar-benar mirip buku harian. Bakal lebih ekspresif dan emosional, kayaknya.

Dengan latar belakang Cesa yang masih SMA, bolehlah saya bilang novel ini masuk kategori teenlit, apalagi adegan dewasa muda-nya masih terbatas. Lagi-lagi, entah saya lalai atau bagaimana, saya kurang masuk dalam latar belakang kehidupan keluarga Cesa-Jinan. Ketika hubungan kakak beradik ini begitu lekatnya, keluarganya digambarkan agak sedikit bermasalah. Sejak awal saya mencoba mencari benang merah mengapa kedua orangtuanya menjadi tidak akur begitu. Hmm, di sini saya agak tidak sabar hingga tak memperhatikan detailnya, sampai akhir saya gagal paham, fufufu.

gambar dari sini
Novel ini punya dua warna kontras yang menyatu dengan baik. Cesa yang bisa dibilang anak geng populer di sekolah, modis, cantik, banyak penggemar, memiliki kehidupan glamor khas ratu geng anak sekolahan. Plus, stereotip tak suka baca buku. Di sisi lain, ada Jinan dengan gangguan yang dialaminya dan segala keanehannya menjadikannya cewek yang jutek dan dingin serta penikmat buku tulen, bahkan cenderung gampang terobsesi sama buku. Paling menarik tentu kehadiran Nathan dan Aksel di tengah-tengah kakak beradik ini. Dua cowok ini berhasil menjadi ornamen yang pas untuk meramaikan kisah keduanya.

Meskipun tidak secara utuh, tapi saya menyukai kovernya. Porsi terbesarnya sih karena gambar ilustrasi setumpuk buku dengan punggungnya tersemat judul-judul buku yang saya kenal: The Kite Runner (Khaled Hosseini), All-American Girl (Meg Cabot), The Silver Linings Playbook (Matthew Quick), jadinya saya suka. Hanya tone warnanya yang cenderung gelap membuat saya agak mengernyitkan dahi, entah kenapa.

Secara keseluruhan, saya menyukai novel ini. Debut yang menarik dari Swistien. Menghadirkan kisah remaja yang tak biasa. Memang tak orisinal, namun mampu memberi warna lain di dunia perbukuan remaja tanah air. Kelemahan mendasar novel ini ada di cetakannya yang masih cukup banyak ditemukan typo dan inkonsistensi penggunaan suatu kata/istilah. Buat saya itu memengaruhi mood baca, meskipun tidak mengganggu esensi ceritanya.

Good job, Swistien. Ditunggu karya-karya berikutnya. Kali ini 3,5 bintang untuk curahan hati yang begitu kompleks dari Princesa tentang Jinan.

Selamat membaca, tweemans.

Giveaway:
Kabar gembira buat tweemans yang juga penasaran dan pengin baca novel ini juga. Ada satu eksemplar Diary Princesa bertanda tangan penulisnya plus voucher belanja buku digital di www.gramediana.com senilai Rp10.000 buat yang beruntung, persembahan dari Swistien Kustantyana. Yaayyyyyy….

Cara ikutan giveaway-nya gampang banget, kok. Cukup tinggalkan komentar kamu di kolom komentar di bawah reviu ini tentang, “Misalnya kamu punya kakak (lelaki/perempuan) yang mengalami bipolar disorder dan dia ternyata disukai gebetanmu, kamu bakal gimana? Merelakan si gebetan jadian sama kakakmu atau berjuang agar si gebetan lebih memilihmu?” 

skrinsut dari wikipedia

Sertakan ID twitter atau alamat e-mail di bawah komentar kamu, sebagai media menghubungimu jika kamu terpilih sebagai yang beruntung mendapatkan hadiahnya. Giveaway diselenggarakan mulai hari ini, Selasa (22 April 2014) s.d. Sabtu (26 April 2014) pukul 23.59 WIB. Pengumuman pemenang pada hari Minggu (27 April 2014).

Sunday, April 20, 2014

[Resensi Novel Teenlit] Touche Alchemist by Windhy Puspitadewi



Teenlit dengan sentuhan yang lain…

Sinopsis


Hiro Morrison, anak genius keturunan Jepang-Amerika, tak sengaja berkenalan dengan Detektif Samuel Hudson dari Kepolisian New York dan putrinya, Karen, saat terjadi suatu kasus pembunuhan. Hiro yang memiliki kemampuan membaca identitas kimia dari benda apa pun yang disentuhnya akhirnya dikontrak untuk menjadi konsultan bagi Kepolisian New York.

Suatu ketika pengeboman berantai terjadi dan kemampuan Hiro dibutuhkan lebih dari sebelumnya. Pada saat yang sama, muncul seseorang yang tampaknya mengetahui kemampuannya. Kasus pengeboman dan perkenalannya dengan orang itu mengubah semuanya, hingga kehidupan Hiro menjadi tidak sama lagi.

Pengarang: Windhy Puspitadewi
Ilustrator: Rizal Abdillah Harahap
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 224hlm
Rilis: Maret 2014
Harga: Rp48.000
ISBN: 978-602-03-0335-2
Keterangan: sekuel dari Touche

Tanpa punya bekal telah membaca Touche, saya tetap memberanikan mencomot Touche Alchemistkarya Windhy ini. Dan, sungguh menyenangkan membaca buku tanpa persiapan seperti ini. Meskipun, tentu saja, saya sudah harus menyiapkan diri bakal mengumpat karena kecewa atau mendesah lega karena puas telah meluangkan waktu membacanya. Sebut saja, saya sedang berjudi dengan selera. Saya bersyukur, kali ini saya beruntung. Buku ini memuaskan selera saya.

Bisa dibilang, pengalaman membaca Touche Alchemist ini menjadi salah satu pengalaman menyenangkan membaca novel teenlit. Jujur, mengingat usia yang tak lagi teen, saya memang membatasi membaca novel-novel teenlit ketimbang saya lebih banyak menyumpah ketika membacanya. Kecuali beberapa nama pengarang teenlit favorit, saya jarang mencomot novel teenlit dari rak toko buku. Tapi, sekali lagi, saya bersyukur saya memutuskan membeli novel ini.

Novel ini page turner banget. Meskipun tidak saya selesaikan dalam sekali duduk karena selingkuh dengan novel lain serta disela pekerjaan harian, saya menikmati proses pembacaan novel ini. Dan, kabar baiknya, saya tak mendapati banyak halangan yang berarti selama membaca. Beberapa typo masih ada, tapi tak mengurangi kenikmatan merunut adegan demi adegan yang diracik Windhy. Pengalaman membaca Confeito, Incognito, Let Go, atau sHe tak membekaskan kenangan yang mendalam sehingga saya cukup terkejut bahwa saya menyukai gaya menulis Windhy.

Well, tak bisa mungkir, saya langsung teringat dwilogi Eiffel-nya Clio Freya dan serial Gallagher Girls-nya Ally Carter selama membacanya. Pun serial Heroes, X-Men, atau film superhero lain yang berlatar belakang kemampuan magis seperti ini berseliweran di benak. Bahkan, bayangan animeJepang tak luput di pemikiran saya, padahal saya jarang menonton anime bertema misteri-detektif. Tak seperti biasanya, saya justru tak terganggu. Gambaran-gambaran itu malah memudahkan saya membayangkan kekuatan sentuhan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh di dalam novel ini.


Hal lain yang patut diapresiasi, Windhy juga cukup cerdik merangkai satu demi satu misteri untuk membangun plot cerita. Mungkin karena dangkalnya kapasitas logika otak, saya tak berhasil menebak dalang di balik konflik utamanya. Meskipun, lagi-lagi saya agak kecewa dengan ending-nya. Kebanyakan kisah heroik itu sepertinya memang begitu, ya. Pelakunya pasti tak jauh-jauh dari orang-orang terdekat si tokoh dalam cerita. Iya, sih, dunia abu-abu. Tak ada orang yang benar-benar baik atau benar-benar jahat. Selalu ada sisi hitam di dalam jiwa yang putih sekalipun.

Saya juga merasa novel ini penuh dengan hasil riset. Entah bagaimana cara Windhy menggali informasi, tapi Touche Alchemist hadir dengan serangkaian hal yang mestinya merupakan fakta. Kecuali Windhy mengalami sendiri kejadian itu, maka hasil risetlah yang memperkuat keseluruhan novel ini. Saya tak sampai menganalisis satu demi satu, sih, tapi kayaknya tak ada logika yang tidak pada tempatnya, ya. Entahlah, mesti dicermati lagi lebih lanjut, sih.

Kekuatan lain yang dimiliki oleh novel ini adalah bangunan karakternya yang kuat. Sejak awal, Windhy menggiring saya untuk berganti-ganti menyelami para tokohnya. Hiro, Karen, Sam, Yunus, atau William. Buat saya, tak ada tokoh yang hanya sekadar numpang lewat di sini, kecuali mungkin Profesor Martin yang memang tidak disematkan peran yang membutuhkan keterlibatan langsung. Semuanya serbapas. Takarannya tak kurang-tak lebih. Saya jadi tak punya bahan untuk mengkritik novel ini di luar plot-nya yang sebenarnya mungkin mudah dianalisis bagi yang terbiasa membaca novel misteri-detektif. Juga standar hubungan Hiro-Karen yang yahh… memang mungkin seharusnya begitu, ya. Kisah misteri melulu tanpa percikan drama percintaan ya… mana ada daya tariknya, kan? Novel-novelnya Agatha Christie saja, ending-nya selalu menyelipkan kisah romantis-manis yang menyenangkan.

Seperti halnya para pembaca lain yang telah menamatkan Touche Alchemist, saya pun mengambil tempat untuk berdiri di barisan terdepan yang mendukung Windhy mengembangkan dunia ‘sentuhan’ ini menjadi satu semesta touché. Dia sudah punya pondasi yang cukup untuk bisa membuat serial fantasi berbalut romansa remaja yang saya yakin berpotensi menghipnotis dan menginspirasi para teenager di luar sana. Oke, ditunggu Touche-Touche selanjutnya ya, Win.

Empat bintang untuk novel ini. Saya terbelenggu ambiguitas ketika menulis reviu ini. Saya suka tapi belum pake banget untuk novel ini. Jadi, untuk alasan subjektif yang mungkin hanya saya sendiri yang memahaminya, saya menyimpan satu bintangnya di laci meja kamar. Mungkin suatu saat saya bisa menggenapkannya pada proses pembacaan di lain kesempatan (ya, saya ingin membaca ulang novel ini kapan-kapan) atau untuk karya-karya Windhy selanjutnya. Bravo, Win!

Per 20 April 2014, Touche Alchemist mendapat rating 4,29 di goodreads.com.
Selamat membaca, tweemans!