Saturday, January 28, 2017

[Resensi Novel Young Adult] Ada Apa Dengan Cinta? by Silvarani


#6_2017
First line:
KECERIAAN menyebar di setiap sudut sekolah pagi ini.
---hlm.7, Chapter: Sorak Sorai Itu Bernama Pagi

Apa lagi yang kurang dalam hidup Cinta? Ia punya keluarga yang bahagia, popularitas di sekolah, banyak pengagum, dan yang paling penting, ia punya sahabat-sahabatnya. Alya, Maura, Milly, dan Karmen membuat hari-harinya selalu berwarna. Mereka adalah pusat dunia Cinta.

Sampai suatu hari, ia berkenalan dengan Rangga, cowok jutek dan penyendiri yang lebih suka berteman dengan buku daripada manusia. Ternyata mereka sama-sama menyukai puisi, minat yang tak bisa Cinta bagi dengan keempat sahabatnya. Dan perlahan hal itu membawa perubahan pada dirinya, membuat orang-orang di sekitarnya bertanya-tanya, ada apa dengan Cinta?

Ketika Cinta sendiri pun ikut mempertanyakan dirinya dan persahabatannya menjadi taruhan, apa yang sebaiknya ia lakukan?

Judul: Ada Apa Dengan Cinta (AADC)?
Pengarang: Silvarani
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 192 hlm
Rilis: April 2016
ISBN: 9786020326450
My rating: 3,5 star ouf of 5

Saya bahagia.
Ini serupa harapan yang menjadi kenyataan.


Beberapa waktu silam, saya memasukkan AADC? ke daftar sepuluh film yang semestinya ada versi novelnya. Dan, seperti terkabulnya doa, kini sudah ada versi novel dari salah satu film Indonesia modern yang menandai kebangkitan kembali perfilman tanah air. Namun, entah karena apa, saya enggak langsung beli-dan-baca novel AADC? itu. Ada sedikit kesongongan saya menyoal kredibilitas penulisnya, sih. Maaf. Heh, siapa sih ini Silvarani? Enggak bisa gitu minta penulis sekaliber Winna Efendi atau Orizuka atau Esti Kinasih buat novelin film mahafenomenal ini? Yeah, yeah, saya memang (kadang) sesongong itu. Hingga akhirnya saya nemu info diskonan hingga 50% all item di @hematbuku20 jadi saya beli (dan baca) novelisasi film yang mempopulerkan Dian Sastro dan Nicholas Saputra ini.

Jika kamu seperti saya yang begitu nge-fans filmnya sampai-sampai hafal-luar-kepala dialog-dialognya, pasti hepi banget baca novel AADC? ini. Sebagian besar dialog-dialog itu dipertahankan sesuai yang ada di film, dengan beberapa penambahan. pengurangan, dan penyesuaian lainnya. Dialog-dialog ikonik seperti, "Basi! Madingnya udah siap terbit!", "Terus salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue?", atau "Salah satu dari kita pasti lebih punya otak atau lebih punya hati, tapi kayaknya kamu nggak punya dua-duanya". Nah, dialog-dialog semacam itu juga tetap ada di novelnya.

Selain dialog, secara garis besar cerita juga sama persis dengan filmnya, meskipun terdapat penambahan sebab-akibat atau sudut pandang lain dari para tokohnya ketika berinteraksi. Tambahan lain adalah penggambaran ekspresi tokoh masing-masing. Apa yang saya lihat di film ditambahkan efek dramatisasi melalui rangkaian kata-kata (yang untunnya tidak sampai lebay). Tentu saja, hal tersebut menambah kenikmatan mengikuti kisah Cinta dan Rangga ini. Detail visual yang tidak tertangkap mata ketika menonton filmnya, bisa kita dapatkan dari novel.

Selain tambahan efek dramatisasi, di AADC? versi novel juga diberikan beberapa hal yang tidak dibuat gamblang di filmnya. Misal: isi surat Cinta untuk Rangga yang diselipkan di ruangan Pak Wardiman yang bikin Rangga marah (di film kan enggak dikasih tahu bunyi suratnya bagaimana)
sumber: https://achalasya.blogspot.co.id/
atau tulisan Cinta sewaktu mengembalikan buku Aku ke Rangga (saya sih sempat skrinsut dari film, kalau di-zoom masih kelihatan, sih, tapi lupa saya taruh mana, ya, skrinsutannya itu).
sumber: https://rizkoprasada.wordpress.com/
Namun demikian, seperti beberapa pembaca yang lain, saya juga merasa tempo ceritanya kecepetan. Pergantian antaradegannya bergerak hampir dalam itungan detik, tanpa jeda, sehingga terkesan kurang smooth. Cenderung patah-patah, meskipun tetap bisa diikuti. Sebenarnya, saya sendiri sudah kecewa ketika membuka segel bukunya dan melihat jumlah halaman novelnya bahkan tidak sampai 200 halaman. Whattt? Jadi, memang semestinya tidak perlu berharap terlalu banyak bahwa akan ada sesuatu yang spesial dari novelisasi AADC? ini. Jangankan hal spesial, pengembangan plot yang ada saja sangat sempit, kalau tidak mau bilang tidak ada pengembangan sama sekali. Mungkin, penulisnya sendiri sudah diwanti-wanti sama pihak produser dan pemilik hak cipta filmnya agar setia pada filmnya. Who knows, kan?

Pengembangan yang sempit itu pun saya tak terlalu menyukainya. Hahaha. Jika di film, saya meyakini bahwa Cinta dan Rangga mulai merasa ada geletar aneh di hati masing-masing adalah ketika Cinta mengembalikan buku Aku ke Rangga dan Rangga mengucapkan terima kasih. Di situ, menurut saya, adalah momen paling tepat menghadirkan nuansa merah jambu kepada mereka. Namun, di novelnya malah dibilang...



Detail kecil lain yang juga mengganggu saya adalah digantinya adegan Cinta beli kacang rebus ketika menunggu taksi dengan adegan Cinta beli minuman di minimarket. WHAAATTT??? Padahal di adegan ini bisa romantis maksimal banget, lho. Ingat adegan Rangga yang iseng menendang pohon sehingga air sisa hujan yang tertinggal di dedaunannya jatuh mengguyur Cinta? I love that scene! Di novelnya tidak ada adegan itu. Hikz.


Overall, meskipun tidak memberikan sesuatu yang spesial, kehadiran AADC? versi novel ini--buat saya yang sangat-sangat menyukai versi filmnya--merupakan harapan yang menjadi kenyataan. Mungkin tak bakal saya baca ulang dalam waktu dekat, tapi jika suatu waktu di masa datang saya kangen kisah Cinta dan Rangga, selain dengan memutar kembali filmnya (untuk keberapa puluh kalinya), saya bisa pilih alternatif lain dengan membaca novel ini.

Oke, selamat membaca, tweemans.


End line:
Milly berkata panik, "Mamet! Mamet ketinggalan!"
---hlm.186, Chapter: Perempuan...

Wednesday, January 25, 2017

[Wishful Wednesday] #1 Newbie is here...


Saya tahu bahwa meme ini dikreasi dan dipopulerkan oleh Astrid di blog bukunya yang kece, Books to Share. Saya pun sudah sering melihat rekan BBIers yang lain wara-wiri meramaikan keseruan hari Rabu dengan membagi daftar keinginan (wishlist) masing-masing. Berhubung awal tahun ini semangat membaca-nge-blog sedang lumayan bagus, saya niatkan untuk sebanyak-banyaknya bikin posting-an. Mumpung lagi semangat, kan?

Nah, salah satunya saya juga kepingin ikutan Wishful Wednesday ini. Sepanjang yang saya ingat, ini adalah keikutsertaan saya untuk kali pertama. So, let's make a wish, shall we?

Wishful Wednesday adalah meme mingguan kreasi Astrid of Books to Share dengan mem-posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari satu) atau segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan bookish kalian, yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku/benda itu masuk dalam wishlist kalian ya!



Minggu ini, saya kepingin menuliskan wish yang berhubungan dengan iPad. Eh, kok iPad, apa hubungannya sama buku? Begini. Seminggu yang lalu saya mengalami insiden konyol waktu di kamar mandi. iPad saya kecemplung ke bak mandi. Hih, lagian ke kamar mandi bawa iPad segala, sih. Kecentilan!!! Ya, ya, ya, silakan kamu ikut ngomelin saya. Hiks. Kali ini memang saya teledor enggak keruan.

Kamu pasti punya tempat paling asyik buat baca, kan? Saya: kamar mandi. Yeah, saat menjalankan ritual sebelum mandi saya paling senang membaca di kamar mandi/toilet. Baca apa saja. Mulai dari novel sampai berita online. Dulu, saya memang hanya membaca buku dan jarang sekali membawa gawai ke kamar mandi. Namun, sejak dunia baca digital makin marak saya pun enggak mau ketinggalan. Selain baca berita online ataupun update status di media sosial, saya menyimpan beberapa novel digital di iBooks. Alhasil, saya memang cenderung senang membawa iPad ke kamar mandi untuk membaca. Lumayan kan kalau bisa dapat dua sampai tiga bab.

Sejak kecemplung, iPad saya mengambek. Hari pertama nyemplung, dia masih bisa nyala dan berfungsi meski ada sebagian layarnya mulai tampak menggelap. Keesokan harinya, dia mulai kacau. Sering mati dan nyala sendiri. Lalu, baterai juga cepat sekali menyusut. Dalam kondisi normal, dia bisa saya pakai satu setengah hari nonstop. Tapi, kemarin, enggak sampai tengah hari dari 100% baterai penuh langsung drop ke 40% di siang hari. Holy crap!

Sekarang dia lagi diinvestigasi dan mesti opname di salah satu gerai servis gawai di Mal Ambasador, Kuningan, Jakarta. Saya mesti nunggu kurang lebih dua hari untuk mendapat kepastian apakah my baby iPad yang saya beli tahun 2012 silam itu masih bisa sehat dan beroperasi kembali. Jadi, saya sangat berharap (memohon dengan sangat) melalui Wishful Wednesday kali ini, saya masih berjodoh dengan iPad saya itu sehingga saya masih bisa terus membaca buku digital dengan menggunakan bantuannya. Ya Tuhan, semoga my baby iPad bisa sembuh, ya. Aamiin.

Share WW-mu minggu ini juga, ya:
  1. Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  2. Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) atau segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan bookish kalian, yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku/benda itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  3. Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  4. Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

Thursday, January 19, 2017

[Resensi Novel Anak-Anak] A Monster Calls (Panggilan Sang Monster) by Patrick Ness


#4_2017
First line:
Sang monster muncul persis lewat tengah malam. Seperti monster-monster lainnya.
---hlm.11, Chapter: Panggilan Sang Monster

Sang Monster Muncul Persis Lewat Tengah Malam. Seperti Monster-Monster Lain. Tetapi, dia bukanlah monster seperti yang dibayangkan Conor. Conor mengira sang monster seperti dalam mimpi buruknya, yang mendatanginya hampir setiap malam sejak Mum mulai menjalani pengobatan, monster yang datang bersama selimut kegelapan, desau angin, dan jeritan… Monster ini berbeda. Dia kuno, liar. Dan dia menginginkan hal yang paling berbahaya dari Conor. Dia Menginginkan Kebenaran.

Dalam buku karya dua pemenang Carnegie Medal ini, Patrick Ness merangkai kisah menyentuh tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Ia menulisnya berdasarkan ide final Siobhan Dowd, penulis yang meninggal akibat kanker.

Ini memang kisah sedih. Tetapi kisah ini juga bijak, kelam namun lucu dan berani, dengan kalimat-kalimat singkat, dilengkapi gambar-gambar fantastis dan keheningan-keheningan yang menggugah. A MONSTER CALLS merupakan hadiah dari penulis luar biasa dan karya seni yang mengagumkan.

Judul: A Monster Calls (Panggilan Sang Monster)
Pengarang: Patrick Ness (berdasar ide Siobhan Dowd)
Ilustrator: Jim Kay
Penerjemah: Nadya Andwiani
Editor: Barokah Ruziati
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Rilis: 29 Februari 2016
Tebal: 216 hlm
ISBN: 9786020320816
My rating: 3,5 out of 5

A Monster Calls (atau sesuai alih bahasa: Panggilan Sang Monster) adalah salah satu contoh buku yang saya beli karena kepengaruh hype-nya yang kenceng banget. Lumayan telat, sih, soale bukunya sendiri sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia sejak awal tahun 2016 lalu. Saya beli ini pun pas banget ada tawaran diskon 50% di olshop @hematbuku20.

Nama Patrick Ness sudah sering saya dengar sepanjang tahun 2016. Bahkan sangking seringnya, saya juga kepincut beli buku dia yang lain yaitu trilogi Chaos Walking, meskipun yang saya beli belum lengkap ketiga bukunya (baru dua), yang sialnya malah kebeli buku kedua dan ketiganya, sementara buku pertamanya enggak nemu, huhuhu. Tambah nyesel, waktu berkunjung ke BBW Penang, saya sempat lihat trilogi Chaos Walking ini dan saat itu masih belum tertarik beli. Dobel sial!

Ternyata, saya merasa biasa-biasa saja selesai membaca buku ini. Entah karena sedang tak mood atau bagaimana, saya tak berhasil mendapatkan impresi sebagaimana kebanyakan pmbaca lain (terutama Goodreaders yang sudah kelar baca). Sebagian besar review menyebutkan novel ini tipe tear-jerking -siapin-tisu, tapi ternyata tidak buat saya. Sedih, lumayan sih, tapi enggak sampai bikin nyesek apalagi mewek.


Mulai dari adegan awal yang agak mirip adegan awal The Big Friendly Giant (The BFG by Roald Dahl---versi film) hingga sikap Conor yang tak sesuai ekspektasi saya (sebagai tokoh protagonis) membuat saya kurang bisa merasuk. Lagi lemot, saya. Kelar baca saya segera meluncur ke goodreads.com untuk baca-baca review dan menonton trailer filmnya, barulah saya ngeh pesan moral yang ingin disampaikan Patrick Ness (dan Siobhan Dowd) itu. Yaampun, saya dudul pisan euy. Owalah, gitu toh maksudnya.

Objektif enggak objektif saya memang gagal paham. Hahaha. Mungkin di suatu saat nanti saya kepingin re-read dan membaharui impresi saya akan buku ini. Atau nanti saya baca bareng dek Shasha, deh. Siapa tahu dengan begitu saya bisa lebih paham. *nyengir

Yang paling saya suka dari novel ini adalah ilustrasinya. JUARA! Dan, baru nyadar bahwa ilustratornya ini sama dengan yang bikin ilustrator untuk Harry Potter illustrated edition, ya. Emang keren, sih.





Oke, selamat membaca, tweemans. 

End line:
------(terlalu spoiler)
---hlm.215, Chapter: Kebenaran

Monday, January 16, 2017

[Resensi Novel Romance] Angel in The Rain by Windry Ramadhina


#3_2017

First line:
Di salah satu sisi Charlotte Street yang basah, dia berdiri memanggul tas besar.
---pg.8, Chapter: LONDON: Pertemuan di Tengah Hujan

Ini kisah tentang keajaiban cinta.

Tentang dua orang yang dipertemukan oleh hujan. Seorang pemuda lucu dan seorang gadis gila buku yang tidak percaya pada keajaiban.


Di Charlotte Street London, mereka bertemu, tetapi kemudian berpisah jalan.


Ketika jalan keduanya kembali bersilangan, sayangnya luka yang mereka simpan mengaburkan harapan. Ketika salah seorang percaya akan keajaiban cinta, bahwa luka dapat disembuhkan, salah seorang lainnya menolak untuk percaya.


Apakah keajaiban akan tetap ada jika hati kehilangan harapan? Apakah mereka memang diciptakan untuk bersama meski perpisahan adalah jalan yang nyata?

Judul: Angel in the Rain
Pengarang: Windry Ramadhina
Editor: Yuliya & Widyawati Oktavia
Penyelaras Aksara: Widyawati Oktavia
Desainer sampul: Windry Ramadhina & Agung Nugroho
Penerbit: GagasMedia
Rilis: 2016
Tebal: viii + 460 hlm
ISBN: 9789797808709
Format: e-Book on Playbooks (Google)
Harga: Rp19.000 (promo)
My rating: 4 out of 5 star

Saya begitu terbuai oleh LONDON: Angel dan benar-benar terhanyut bersama Walking After You, maka ketika terdengar kabar Windry akan menuliskan penggalan kisah lanjutan LONDON: Angel saya girang bukan main. Apalagi tokoh yang akan dihidupkan adalah Ayu dan Gilang. Saya sendiri begitu terpikat pada karakter Ayu di LONDON: Angel.

Namun demikian, saya baru saja kecewa pada pembacaan karya Windry terakhir, Last Forever. Oleh karenanya saya kelewat banyak berpikir untuk jadi membeli-baca atau tidak ketika Angel in the Rain, si kisah lanjutan itu, akhirnya benar-benar terbit. Maju-mundur-cantik-cantik setiap mau mencomot dari toko buku. Lalu saya pun memutuskan: 1) pinjam teman, kalau suka baru beli; atau 2) nunggu diskonan harga obral.

Ternyata pilihan kedua yang datang terlebih dulu, meskipun tak benar-benar sama, karena yang diskon justru berformat digital di Playstore. Gambling (karena enggak yakin bisa kelar baca di handphone), akhirnya saya beli juga versi digital yang diobral itu. Dan, Angel in the Rain menjadi buku panjang pertama yang selesai saya baca di handphone! Woo-hoo, rekor. Sebenarnya saya juga pembaca e-book, tapi lebih seringnya saya baca di iPad. Sedangkan di handphone saya hanya menyimpan beberapa judul novel saja, dan belum ada satu pun yang terbaca.

sumber: www.pinterest.com

Angel in the Rain ditulis dengan alur maju-mundur. Sebagian besar ber-setting di Jakarta dengan kilasan ingatan ber-setting di London. Kisahnya sendiri dimulai dari bagian akhir kisah LONDON: Angel, ketika Gilang dan Ayu kembali ke Jakarta. Rancangan pertemuan sudah bermula sejak mereka secara tak terduga bertemu di London. Namun, di Jakarta-lah silang kehidupan mereka akhirnya dipertemukan. Dengan segenap kerumitan yang diracik Windry.

Masih tampil dengan diksi menawan, kalimat efektif, dan narasi yang mendetail, saya begitu betah menekuni lembar demi lembar (versi digital) novel kesembilan Windry ini. Gairah saya yang memudar ketika membaca Last Forever, secara drastis meningkat puluhan kali. Didukung pula dengan semangat baca saya yang entah bagaimana cukup bagus di awal tahun 2017 ini.

Buat yang sudah baca LONDON: Angel pasti tahu dong kenapa Gilang pergi ke kota Big Ben itu? Belum tahu? Hmm, baca lagi kalau begitu... dan buat yang belum baca, saya sarankan baca dulu, deh. Hehehe. Kecuali kamu enggak begitu ingin tahu apa saja yang dialami Gilang selama di London, oke-oke saja sih kalau tetap mutusin baca Angel in the Rain tanpa membaca LONDON: Angel dulu. Toh, sebenarnya ada beberapa bagian di sini yang menjembatani bolong informasi itu. Tapi, ada baiknya kamu baca dulu LONDON: Angel, ya.

Di sini Ayu dikenalkan sebagai gadis si gila buku yang ternyata adalah seorang penulis novel pupoler yang cukup laris, sedangkan Gilang sebagai si pemuda lucu yang ternyata adalah editor sastra yang sedikit anti-novel populer. Kontras. lalu, bagaimana dua orang asing yang hanya kenal sepintas lalu (dan bertolak belakang sifatnya itu) akhirnya bertemu kembali? Semoga bukan spoiler, semua karena buku Burmese Days cetakan pertama karya George Orwell. Apa dan bagaimana? You should read it by yourself. Baca sendiri!

Singkatnya, memang ada yang terjadi antara Ayu dan Gilang. Tapi, jangan langsung berasumsi ini kisah yang gampang. Ada cerita lalu yang tak sepenuhnya berlalu. Ayu dengan Em, dan Gilang dengan Ning. Ada pula geng suporter Gilang: Brutus, Dum, Dee, dan Hyde. Lalu orangtua Ayu dan kakak perempuannya, Luh, yang menuntut Ayu terlalu banyak. Yakinlah, ini bukan kisah cinta yang gampang.

Angel in the Rain diceritakan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama baik dari sisi Ayu maupun Gilang. Namun, runutan kisahnya, sesekali dinarasikan oleh Goldilocks dan payung merahnya. Maka, jangan heran jika pada beberapa bagian novelnya seperti sok kenal sama kita--pembaca--dengan memanggil 'Sayang' dan mengajak kita mengobrol. Pernah lihat serial TV Gossip Girl atau Desperate Housewives yang fenomenal itu? Nah, seperti itulah Angel in the Rain diceritakan.

sumber: bestpaintingforsale.com
Departemen karakter juga digarap maksimal oleh Windry, as usual. Saya suka semua tokoh-tokohnya, tentu saja terutama Ayu dan Gilang. Keduanya tampil memesona, kuat, dan hidup dari awal hingga akhir. Tokoh pendamping juga tak kalah kuatnya. Sebut saja Ning, Luh, dan Em. Oh, dan juga Ungku, pemilik toko buku langka di kawasan Kota Tua.

Yang mengganggu saya justru hadir di akhir. Ending-nya bikin aaarggghhh... in a bad way. Entahlah. Saya mengharapkan sesuatu yang grande. Bukan sesuatu yang mudah begitu. Oke, bagi kedua tokohnya mungkin bukan akhir yang mudah. Tapi, secara keseluruhan, buat saya ending-nya kurang nendang. Tapi, don't ask me. Saya juga enggak tahu harus diapain tuh berdua. Yang pasti, bukan yang seperti itu. Atau bakal ada novel lain yang melanjutkan kisah mereka? Saya kok nangkap kesannya begitu waktu baca penggalan curhat Goldilocks di pengujung novel. Hmmm.

Oiya, saya bilang Angel in the Rain juga memuat unsur Walking After You? Yap, ada sebagian kisah di sini yang terjadi di toko kue Afternoon Tea yang dikelola An dan Julian yang merupakan napas utama novel Walking After You.  

Overall, saya cukup puas dengan Angel in the Rain, meski tidak semenghanyutkan Walking After You atau LONDON: Angel sekalipun. Nostalgia yang manis dengan malaikat hujan.

Jadi, selamat membaca, tweemans!

End line:
Gilang dan Ayu, meskipun demikian, bersisian semakin rapat di bawah payung merah.
---pg.50, Chapter: UBUD: Pertemuan Kembali di Tengah Hujan

Monday, January 9, 2017

[Resensi Novel New Adult] The Deal (Off-Campus #1) by Elle Kennedy


#1_2017

First line:
HE DOESN'T KNOW I'm alive.
--hlm. 9, Chapter 1: Hannah

 She's about to make a deal with the college bad boy...

Hannah Wells has finally found someone who turns her on. But while she might be confident in every other area of her life, she's carting around a full set of baggage when it comes to sex and seduction. If she wants to get her crush's attention, she'll have to step out of her comfort zone and make him take notice...even if it means tutoring the annoying, childish, cocky captain of the hockey team in exchange for a pretend date.

...and it's going to be oh so good

All Garrett Graham has ever wanted is to play professional hockey after graduation, but his plummeting GPA is threatening everything he's worked so hard for. If helping a sarcastic brunette make another guy jealous will help him secure his position on the team, he's all for it. But when one unexpected kiss leads to the wildest sex of both their lives, it doesn't take long for Garrett to realize that pretend isn't going to cut it. Now he just has to convince Hannah that the man she wants looks a lot like him.

Judul: The Deal
Seri: Off-Campus, buku 1
Pengarang: Elle Kennedy
Penerbit: Elle Kennedy Inc.
Rilis: 24 Februari 2015
Format: e-book, bahasa Inggris
Genre: New Adult
Tebal: 408 hlm
My rating: 3,5 out of 5 star

ide cerita dan eksekusinya:
Well, akhirnya saya berhasil juga membaca novel New Adult lagi. Hahaha. Actually, it just tells something about an ordinary romance. Sedikit campuran Cinderella story dan Romeo dan Juliet. Romantisme tercipta antara si gadis jurusan seni yang pintar dengan pemuda sang kapten tim hoki es yang terancam kariernya karena kegagalan akademis di salah satu mata kuliah. Bagian awal Chapter 1 berhasil menipu saya soal siapa love interest si gadis. Namun, dengan penggunaan PoV (point of view) orang pertama untuk dua karakter utamanya, saya langsung paham bahwa akan ada cerita soal cinta segi tiga di novel ini.

Selain itu, ada isu tentang kejahatan pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang membuat cerita romance yang sejatinya simpel saja menjadi lumayan kompleks. Elle berhasil mempertahankan premisnya dan membuat cerita bergulir dengan apik serta diakhiri dengan pas. Ada sih bagian ketika dua tokoh utamanya terkesan labil dan kepingin banget saya jorokin ke jurang, but overall, Elle berhasil membuat ending yang manis.

plot, setting, dan karakter:
The Deal dibuat dengan alur maju dan jarang ada kilas balik ke masa lalu, hanya dari percakapan kedua tokoh utamanya saja. Setting lokasi terutama di area kampus Briar University di Massachusetts, USA. Sesuai dengan judulnya, salah satu tokoh utamanya tinggal di sebuah rumah asrama (atau sewaan) yang terpisah dari kampus (off-campus).

https://thecrazyworldofabooklover.wordpress.com
Dua tokoh utamanya adalah Hannah Wells, si gadis jurusan seni (tepatnya musik, dan sedang dalam proses persiapan tampil di sebuah showcase), dan Garrett Graham, si pemuda kapten tim hoki es. Hannah adalah tipikal gadis protagonis kebanyakan: unpopular, cenderung miskin, bersuara emas, pintar secara akademis, dan (pada akhirnya) bertransformasi menjadi gadis cantik. Sedangkan Garrett juga tipikal atlet pujaan kampus: popular, tampan, kaya, playboy, dan kapten. Untung saja Elle tidak menstereotipkan Garrett sebagai cowok bodoh. Sebetulnya dia juga pintar, hanya saja sedang tidak beruntung di salah satu mata pelajaran.

Di luar keduanya ada tokoh sentral Justin Kohl, teman serumah sekaligus setim Garrett: Logan, Tucker, dan Birdie, teman sekamar Hannah: Allie, Cass Donovan (partner duet Hannah), dan beberapa tokoh pendamping lainnya. Untuk urusan karakter ini, tak ada komplain. Semuanya memiliki peran yang pas.

konflik:
Awalnya ini hanya tentang cinta segi tiga. Kenapa judulnya The Deal? Karena memang ada deal-deal-an antara Hannah dan Garrett di sini. Deal tentang apa? Baca sendiri, ya. Spoiler banget kalau saya kasih tahu. Nah, karena deal itulah subkonflik tentang isu perkosaan dan KDRT diselipkan. Yang jelas, meskipun tetap menitikberatkan pada unsur romance-nya, novel ini juga tak kehilangan bobot dengan menyajikan subkonflik yang oke. Inilah yang mesti ditiru penulis lokal, tambahkanlah subkonflik pada ceritamu biar makin kaya dan berbobot.


Namun, sama kayak waktu baca Tangled by Emma Chase, ternyata saya enggak se-open minded yang saya duga. Saya masih selalu risih bila menemui adegan main kuda-kudaan di ranjang. Apalagi di novel ini ada kurang lebih tiga chapter yang mengilustrasikannya. Hohmagat! Saya benar-benar terganggu. Yeah, mestinya saya kan sudah bisa mengantisipasi ya, ini kan novel NA ber-setting luar negeri pula, ya harus terima kalau budayanya beda sama di Indonesia. Tapi, nyatanya, ya... begitulah, saya enggak belum bisa. Edan memang saya. Ya sudahlah, kalau kamu memang sudah bersiap membaca yang ada beginiannya, novel ini sayang banget kalau dilewatkan.

meet cute:
Hannah sedang melirik-penuh-pemujaan ke gebetannya ketika Garrett memergokinya, di kelas Prof. Tolbert, di mana Garrett gagal memenuhi standar nilainya. Setelah tahu Hannah mendapat nilai A bulat untuk ujian kelas itu, dengan penuh percaya diri Garrett meminta-paksa Hannah untuk menjadi tutornya.

simpulan:
Cukup oke untuk bacaan awal tahun, meskipun banyak bagian yang saya skip karena alasan kuda-kudaan itu. Overall, bukunya bagus, hanya saja untuk lanjut ke buku berikutnya saya masih mikir-mikir dulu. Lebih baik saya coba judul lain dulu, deh.

Selamat membaca, tweemans.

End line:
I don't look back these days. I only look forward.
--hlm. 404, Epilogue: Garrett.

Sunday, January 1, 2017

Selamat Datang 2017


Saya tak lagi ikut-ikutan merayakan (secara harfiah) pergantian tahun. Secara personal, tentu saja, pergantian tahun selalu mengingatkan akan jatah umur di dunia yang semakin menipis. Secara sosial, saya pun enggak dapat undangan merayakan pesta pergantian tahun dari mana pun atau siapa pun. Hahaha. Well, berasa ngarep diundang, padahal sih enggak. Seriusan. I don't like party that much.

Nah, untuk dunia baca-tulis-dan-blog, sepertinya saya pun enggak bakal pasang resolusi serbamuluk. Kapan tahun itu saya pernah mendaftar beragam tantangan baca alias reading challenge tapi dalam perjalanannya tak satu pun tantangan itu bisa saya tuntaskan. Gagal Total. MEMALUKAN! Saya jadi sedih. Dan, kecewa. Dan, terluka. Dan, sengsara. Aihh, mulai lebay. Yah, pokoknya begitulah. Semua berantakan. Enggak ada yang bisa dibanggakan.

Oleh karenanya, tahun ini saya cuman pengin semangat baca naik lagi. Timbunan makin berkurang. Kecepatan membaca sebanding lurus dengan kecepatan membeli/menimbun buku. Apalagi tahun 2016 kemarin status saya sudah berubah lagi. Jika 2015 dari melajang ke menikah masih berkesempatan membaca dalam jumlah yang lumayan, tahun 2016 status dari suami ke hubby, kayaknya bisa baca satu buku sebulan sudah bersyukur banget, ya. Maunya main sama anak mulu sekarang, hehehe.

Tahun ini enggak mau ngerencanain mau ikut tantangan baca apa dan menargetkan bisa membaca berapa. Go with the flow saja. Kalau lagi kepingin ya ikutan, pas malas ya sudah enggak ikut. Namun, biar enggak blank-blank banget, saya tetap mendaftar di beberapa tantangan baca, misalnya:


Terus, saya juga kepingin baca ulang Harry Potter. Enggak ada alasan khusus, pengin baca saja. Semoga dari bulan Januari saya bisa mulai baca buku 1-nya sehingga pas sampai bulan Juli, ketujuh bukunya sudah terbaca semua. Aamiin.

Selebihnya, sesuai situasi dan kondisi mendatang, deh. Yang pasti, saya masih tetap bersemangat untuk aktif di dunia baca-tulis-dan-blog ini. Selamat tahun baruuu, tweemans...