Monday, January 25, 2016

[Resensi Novel Young Adult] Simon vs the Homo Sapiens Agenda by Becky Arbetalli



First line:
IT'S A WEIRDLY SUBTLE CONVERSATION. I almost don't notice I'm being blackmailed.

Sixteen-year-old and not-so-openly gay Simon Spier prefers to save his drama for the school musical. But when an email falls into the wrong hands, his secret is at risk of being thrust into the spotlight. Now Simon is actually being blackmailed: if he doesn’t play wingman for class clown Martin, his sexual identity will become everyone’s business. Worse, the privacy of Blue, the pen name of the boy he’s been emailing, will be compromised.

With some messy dynamics emerging in his once tight-knit group of friends, and his email correspondence with Blue growing more flirtatious every day, Simon’s junior year has suddenly gotten all kinds of complicated. Now, change-averse Simon has to find a way to step out of his comfort zone before he’s pushed out—without alienating his friends, compromising himself, or fumbling a shot at happiness with the most confusing, adorable guy he’s never met.
 

Judul: Simon vs the Homo Sapiens Agenda
Pengarang: Becky Arbetalli
Penyunting: Donna Bray
Penerbit: HarperCollins
Format: eBook - 303 hlm - bahasa Inggris
Rilis: 7 April 2015
ISBN: 9780062348678
Rating: 3 out of 5 star 

ide cerita dan eksekusinya:
Simon vs the Homo Sapiens Agenda ini tipikal novel LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, and Queer) kebanyakan. Premisnya masih seputar konflik lahir-batin seseorang untuk mengakui bahwa orientasi seksualnya berbeda. Atau, dalam dunia LGBTQ disebut dengan coming out moment. Novel ini--seperti tertera di judulnya, berkisah tentang Simon Spier yang maju-mundur (enggak pakai cantik-cantik, ya), untuk mengaku sebagai gay.

Sejatinya tak ada yang istimewa dari novel ini, dibandingkan novel bertema sejenis. Well, saya tetap mengakui bahwa Becky mampu mengalirkan kisah hidup Simon yang berliku dengan kemasan yang menarik. Dijamin, jika sudah membaca, kamu pasti dengan mudah ikut terhanyut. Tapi, sekali lagi, buat saya novel ini tidak terlalu istimewa. Bahkan, jika dibandingkan dengan serial Rainbow Boys-nya Alex Sanchez, saya malah lebih suka Rainbow Boys. Jujur saja, saya membaca novel ini karena hype-nya yang kenceng banget. Bahkan beberapa pemilihan novel terbaik/terfavorit 2015, novel ini masuk dalam banyak nominasi. Namun demikian, saya tetap merasai ikut menebak-nebak siapa tokoh "Blue" yang jadi fantasy-nya Simon sepanjang cerita. Berulang kali saya salah tebak. Huh!


meet cute:
Simon Spier bertemu dengan sosok Blue dalam suasana romantis, untuk kali pertama, adalah di salah satu wahana yang ada di sebuah karnaval malam di kotanya.
There's something in his voice. I turn to him, slowly, and his eyes are wide and brown and totally open.
"It's you," I say.
"I know I'm late," he says.
Then there's a grinding noise and a jolt and a swell of music. Someone shrieks and then laughs, and the ride spins to life.
...dan, saya langsung... oh, dia toh, si Blue itu.

plot, setting, dan karakter:
Novel ini beralur maju, dan sedikit sekali menghadirkan kenangan masa lalu. Hanya obrolan kecil dan ingatan singkat Simon pada kejadian-kejadian khusus yang dianggap memengaruhi kehidupannya sekarang. Terutama ketika dia sedang mengingat persahabatannya dengan beberapa karibnya.

Novel ini ber-setting waktu modern namun sebelum peristiwa #LoveWins yang dideklarasikan Amerika di tahun 2015 lalu. Sedangkan lokasinya, novel ini ber-setting (mostly) di Creekwood High School, SMA tempat Simon dan sebagian besar karakter dalam novel ini bersekolah.

Deretan karakter yang paling banyak berperan dalam novel ini: Simon Spier (karena ditulis dengan menggunakan PoV orang pertama, Simon adalah "aku"), Nick dan Leah (sahabat lelaki dan perempuan Simon yang dikenalnya sejak kecil), Abby (sahabat perempuan yang baru dikenal Simon di SMA), Alice dan Nora (kakak dan adik perempuan Simon), Martin Addison (teman SMA yang memergoki e-mail Simon pada Blue), Cal Price (cowok tampan yang ditaksir Simon), dan beberapa tokoh lainnya.

konflik:
Konflik utama novel ini adalah tentang Simon dan orientasi seksualnya. Pada banyak bagiannya, novel ini ditulis secara bergantian: satu bab berisi narasi Simon dan bab selanjutnya berisi percakapan melalui e-mail antara Simon dan Blue. Di awal, kita disuguhi dilema Simon menghadapi Martin Addison yang mengancam menyebarkan rahasia Simon jika dia tak membantu Martin melaksanakan sesuatu. Well, Becky berhasil membuat saya mencebik sebal dan gemas pada sikap Simon. Mengapa dia tak melawan saja ketika Martin mengancamnya, sih.

Dari situ kita akan dibawa pada banyak narasi dan percakapan e-mail untuk menebak-nebak siapa tokoh Blue. Kisah itu bercampur dengan subplot tentang persahabatan yang turun-naik antara Simon-Leah-Nick-dan-Abby, persiapan hingga pelaksanaan pentas teater, juga keputusan akhir Simon untuk mengakui rahasianya pada orangtua, teman, dan semua orang. Dari sinilah, saya berpendapat, konflik utama novel ini biasa saja. Tak banyak letupan yang bisa mengejutkan.

ending:


catatan:
Judul buku yang ikut disebut dalam novel ini: Harry Potter (Simon adalah pencinta Harry Potter sejati), Fahrenheit 451 (Ray Bradburry) dan beberapa judul lain yang lupa saya tandai. Selain buku, musik dan film juga banyak disebut di novel ini.

Kesimpulan:
Dari segi gaya menulis dan plot yang disajikan, novel ini bisa kamu pilih jika sedang kepingin membaca novel remaja bertema LGBTQ. Plot dan subplot terjalin rapi, meskipun tak banyak kejutan berarti. Sebagai sebuah kisah cinta--errr, sejenis, novel ini tampil manis, cute, dan romantis. Selamat membaca, tweemans.

end line:
But maybe this is a big deal. Maybe it's holy freaking huge awesome deal. Maybe I want it to be.  

Sunday, January 10, 2016

[Resensi Novel Romance] Everlasting by Ayu Gabriel


Coba bayangkan, apa yang akan terjadi jika kamu mencampurkan rasa frustrasi, tidak aman, curiga, bersalah, penasaran, cemburu, khawatir, dan bermacam-macam hormon perempuan di dalam satu wadah? Hasilnya adalah penyimpangan perilaku. Saus kacang!
---Ayu Gabriel, Everlasting.

First line (kalimat pembuka):
Apa sih kebahagiaan itu? Kalau pertanyaan ini diajukan ke seluruh penduduk bumi, boleh jadi kita akan mendapatkan tujuh miliar jawaban berbeda.

Kayla, 22 tahun, jatuh cinta kepada Aidan. Setiap kali Aidan yang punya bokong seksi itu lewat di depannya, Kayla langsung belingsatan. Namun, Kayla tidak tahu bagaimana caranya menunjukkan perasaannya karena Aidan adalah bos di kantornya—usianya lebih tua 11 tahun. Ia hanya bisa mengamati dari jauh secara diam-diam sambil mencatat semua hal tentang Aidan di sebuah buku rahasia.

Dengan bantuan Saphira, sahabat baiknya, Kayla mulai berusaha mendapatkan cinta Aidan. Kayla pun mengubah dirinya menjadi seperti perempuan impian Aidan—mengubah potongan rambutnya, menato tubuhnya, sampai mengubah selera musiknya.

Ketika Kayla sedang berusaha merebut hati bosnya itu, Dylan, cinta pertama Kayla, tiba-tiba muncul. Kayla sebenarnya sudah lupa siapa Dylan karena dia pernah bersumpah untuk tidak mengingatnya lagi semenjak Dylan dan keluarganya pindah dari Jakarta, 10 tahun lalu. Keinginannya terkabul. Ia tidak ingat sama sekali tentang Dylan atau cinta mereka. Dylan pun memutuskan untuk mendapatkan kembali cinta Kayla yang ia yakini masih bersemayam di hati gadis itu kalau saja ia bisa mengingatnya.

Judul: Everlasting
Pengarang: Ayu Gabriel
Penyunting: Herlina P. Dewi
Proofreader: Tikah Kumala
Pewajah sampul: Teguh Santosa
Penerbit: Stiletto Book
Tebal: 323 hlm
Harga: Rp52.000
Rilis: Maret 2014
ISBN: 978-602-7572-25-6
Rating: 3,5 out of 5 star
Buku persembahan dari pengarang, tidak memengaruhi penulisan resensi.

Sebagai pembaca, khususnya pembaca cerewet yang mengukur suka-tak-suka berdasar gaya menulis pengarang, saya sangat bersyukur akhirnya diberikan kesempatan untuk mencicipi-baca novel ini. Gaya menulisnya selera gue banget, sehingga saya tak mengalami banyak masalah dalam membaca Everlasting. Yah, palingan cuman keseringan tertunda karena bawaan M--mood nggak jelas.

ide cerita dan eksekusinya:
Saya nangkapnya lebih ke CLBK--Cinta Lama Bersemi Kembali. Atau, bisa juga masuk kategori cinta-pertama-bertahan-selamanya meski harus bertemu dulu dengan cinta-cinta yang lain. Memang bukan ide baru, tapi yang terpenting Ayu berhasil mengemasnya melalui racikan narasi yang pas serta dialog yang segar, ceplas-ceplos, kocak, dan sekaligus cerdas. Well, ada juga sih adegan sinetron dari tokoh sampingan yang kadar irinya kebangetan, tetapi masih wajar-wajar saja, tidak begitu mengganggu.

Seperti banyak dikeluhkan oleh pembaca lain, saya pun merasai lemahnya eksekusi akhir (ending). Entah trauma, entah amnesia, yang pasti saya pun agak kurang teryakinkan dengan pilihan Ayu untuk mengakhiri kisah dalam novel ini dengan cara seperti itu. Klise dan terlalu mudah.


meet cute:
Kayla yang naksir berat pada Aidan tak digambarkan memiliki momen pertemuan khusus yang bertendensi menghadirkan suasana romantis. Hanya saja, sebagai salah satu bawahan Aidan, Kayla memanfaatkan posisi meja kerjanya untuk selalu bisa (paling tidak) mengamati pergerakan Aidan dan bokong seksinya.

plot, setting, dan karakter:
Secara garis besar, kisah novel ini beralur maju dengan beberapa bagian berupa singgungan kenangan masa silam yang menentukan kejadian di masa kini. Everlasting ber-setting lokasi di Jakarta dan terkadang bergeser ke Bogor, rumah orangtua Kayla. Eh, ada juga setting lokasi di Pantai Sawarna. Sedangkan, setting waktunya modern, di tahun 2000-an.

Tokoh utama novel ini adalah Kayla: seorang creative designer dari perusahaan jasa event organizer yang merancang kegiatan-kegiatan pesanan klien, masih single, usia twenty-something, easy going, dan begitu tergila-gila pada pesona bosnya. Aidan: bos sekaligus love interest dari Kayla, yang digambarkan sangat charming, tampan, berbokong seksi, dan husband material banget. Dylan: teman masa kecil Kayla yang sebenarnya masih menyimpan rasa sekaligus rahasia dari masa kanak-kanak mereka. Lalu ada orangtua Kayla dan Dylan, Jessica dan teman-teman kantor Kayla, Pira --sobat karib sekaligus tetangga kosan-- dan Pras (pacar Pira), serta beberapa tokoh pendukung lainnya.

Kayla digambarkan sebagai sosok wanita karier yang feminin namun juga lebih suka mengenakan ransel ketika mobile, khususnya untuk pulang ke (mengunjungi) rumah orangtuanya. Pada banyak bagiannya, Kayla dideskripsikan sebagai bawahan yang begitu terobsesi untuk mendapatkan cinta dari bosnya. Aidan tersaji sebagai cowok too good to be true yang serbabaik, meskipun ada pula sisi lain yang sebelumnya tak diketahui banyak orang, termasuk Kayla (sebagai pemujanya). Dylan hadir sebagai laki-laki easy going yang bersedia membantu Kayla untuk melakukan apa saja.  

konflik:
Meskipun tampak seperti kisah cinta segitiga, novel ini tak melulu menyajikan konflik saling merebut kekasih orang. Well, ada, sih, situasi yang mengarah ke situ, tapi Ayu dengan cepat memutar haluan sehingga plot utama tak terjerumus pada keklisean semacam itu. Pada hampir separuh buku ini, konflik justru tersaji antara Kayla-Aidan-dan-Jessica. Untung saja, banyak subplot yang diselipkan sehingga konflik menjadi lebih semarak. Gong utamanya ada di satu rahasia yang disimpan oleh Dylan. Sekali lagi, karena temanya memang tidak orisinal, agak sulit mendapatkan efek kejutan selama membaca novel ini. Untung saja, gaya bercerita Ayu berhasil membuat saya betah mengikuti pergerakan alur konfliknya.

kondisi fisik buku:
Terus terang saja, saya enggak suka sama kover novel ini. Kenakak-kanakan dan kurang merepresentasikan ceritanya. Mana gambar orangnya begitu banget. Pokoknya kalau menilai dari kovernya saja, dijamin saya enggak bakalan minat membeli. Jenis dan ukuran font juga agak sedikit bikin mata jereng. Well, mungkin ada kaitannya dengan faktor umur saya juga, sih, tapi saya merasa ukuran font-nya terlalu kecil (saya duga sebagai imbas dari halaman yang lumayan tebal dan efisiensi ongkos cetak). Hal lainnya, hikz... binding-nya kurang kuat. Ada beberapa halaman dari novel milik saya yang terlepas.

Ending (jangan membuka bagian ini jika menganggapnya spoiler):


catatan:
Frasa paling sering muncul: SAUS KACANG!
Frasa ini merupakan semacam ungkapan kekagetan atau umpatan yang muncul tiap kali Kayla mendapati hal-hal yang mengejutkannya.

PoV (point of view):
Novel ini ditulis dengan sudut padang orang pertama, "aku", dari tokoh Kayla.

HOT scene:
Salah satunya ada di halaman 259. Berikut sepenggal adegannya (kelanjutanya lebih panjang, hehehe, dan itu bagian hot-nya, buat saya):
Sebelum keberanianku surut, aku berjingkat dan dengan sedikit gugup mengecup bibirnya perlahan. Tidak ada reaksi sama sekali. Seperti mencium patung.
typo:
Lumayan rapi, sih, tapi masih ada juga typo di sana-sini, sayangnya saya lupa menandai, hahaha. Beberapa yang saya ingat adalah penggunaan kata dari pada (dipisah) alih-alih daripada (sambung). Lalu penggunaan kata frustasi alih-alih frustrasi (KBBI). Dan juga ada penggunaan di- untuk kata kerja yang dipisah contohnya di halaman 220 (tenda putih dipadu warna emas di pasang di halaman), serta kata apalagi yang berdasar konteks mestinya dipisah menjadi apa lagi (halaman 307). Namun, typo-nya enggak begitu mengganggu, sih, karena saya telanjur terhanyut oleh gaya menulis Ayu.

kesimpulan:
Meskipun tema yang diangkat tidak membawa kebaruan, tapi gaya menulis Ayu Gabriel membuat saya betah berlama-lama membolak-balik halaman novel ini. Pun dengan konfliknya yang sangat mungkin terjerumus ke dalam lembah klise bernama jurang cinta segitiga, pengarang berhasil menyelipkan beragam subplot untuk membangun konflik yang cukup kokoh. Namun sayang, ending yang ....yah, gitu banget ending-nya... bikin agak kecewa. Buat saya, tulisan Ayu Gabriel ini candu. Saya butuh tulisannya yang lain. Loving Denaya sepertinya menjadi target buruan dalam waktu dekat. Thanks, Ayu.
  
End line (kalimat penutup):
"Cium aku."

Friday, January 8, 2016

[Resensi Novel Chicklit] Size 12 is Not Fat by Meg Cabot


Aku tidak akan mulai makan salad tanpa saus kalau itu yang harus kulakukan untuk mendapatkan pacar, aku tidak seputus asa itu.
---Meg Cabot, Size 12 is Not Fat

First line:
"Mm, halo. Apa ada orang di luar sana?" Suara gadis di kamar ganti sebelah itu seperti tupai.

Heather Wells, mantan penyanyi pop idola remaja, telah sampai pada titik jenuh: bosan menyanyikan lirik lagu ciptaan orang lain, tapi produsernya tidak mau menandatangani kontrak baru untuk lagu-lagu ciptaannya sendiri. Keadaannya diperparah dengan ayahnya dipenjara, ibunya kabur ke Buenos Aires bersama seluruh isi tabungan putri satu-satunya itu, dan Heather tampaknya tidak bisa berhenti membenamkan diri dalam kesedihannya dengan melahap cokelat KitKat. Puncaknya, tunangannya Jordan Cartwright telah menggesernya---dari tangga lagu maupun dari ranjangnya---dan menggantikannya dengan bintang pop nomor satu terbaru Amerika, Tania Trace.

Heather lalu mendapatkan pekerjaan di asrama New York College---tak jauh dari tempat tinggal sementaranya di rumah Cooper---temannya sekaligus kakak mantan tunangannya yang sangat baik kepadanya. Kelihatannya keadaan mulai membaik... setidaknya sampai gadis-gadis di asrama tewas satu per satu dalam waktu berdekatan. Selancar lift merupakan penjelasan resmi dari administrasi kampus mengenai penyebab kematian para gadis itu, tapi Heather punya kecurigaan lain. Dengan bantuan setengah hati dari Cooper, Heather berusaha menyelidiki kematian-kematian tersebut, tanpa menyadari itu bukan hanya sekadar untuk menjawab rasa ingin tahunya, melainkan mungkin akan menjadi pekerjaannya seumur hidup.
 
Judul: Size 12 is Not Fat (Ukuran 12 Tidak Gemuk)
Pengarang: Meg Cabot
Penerjemah:: Barokah Ruziati
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 416 hlm
Harga: Rp45.000 (beli obral Rp10.000)
Rilis: Agustus 2010
ISBN: 978-979-22-6001-4
Rating: 3 out of 5 star

Ide cerita dan eksekusinya:
Jika sekadar membaca judulnya, mungkin kita bakal dengan mudah menarik kesimpulan bahwa novel ini membahas romance dengan konflik utama soal berat badan. Well, tidak sepenuhnya salah, sih, tapi novel ini pun tak melulu hanya mengulas cinta-cintaan saja. Ada subplot misteri pembunuhan yang harus dipecahkan oleh tokoh utamanya. Jadi, perpaduan antara masalah berat badan, kisah cinta nan rumit, dan misteri pembunuhan. Menarik.

Dan, buat penikmat tulisan Meg Cabot, tentu bakal dengan mudah menyukai gaya bertuturnya. Lincah, self-centered, membual tak habis-habis, dan kocak. Terkadang bikin gemas, entah pengin meng-getok kepala atau menjawil pipi si tokoh utamanya. Uh! Namun, selipan misteri pembunuhannya ternyata tak digarap maksimal. Walaupun sempat bikin penasaran, pada separuh jalan ceritanya saya sudah bisa menebak siapa pelakunya. Dan, tebakan saya benar, meski tidak seratus persen sesuai dengan segala alasan dan latar belakang mengapa si pelaku melakukan pembunuhan itu.

Meet Cute:
Tokoh utama novel ini, Heather Wells sudah mengenal dan bahkan tinggal satu atap dengan love interest-nya, Cooper Cartwright, sehingga nyaris tak ada adegan yang bisa masuk kategori meet cute.


Plot, setting, dan karakter:
Jalan cerita bergerak maju dengan sedikit kilasan masa lalu dari penjelasan beberapa tokohnya, dalam perkembangan cerita. Terutama ketika mengungkap alasan tokoh melakukan tindakan ini dan itu.

Sebagian besar cerita ber-setting lokasi di asrama mahasiswa New York College dan tempat tinggal Heather (yang menumpang pada Cooper), tak jauh dari asrama. Sedangkan untuk setting waktunya adalah modern. Mugkin berdekatan dengan masa-masa ketenaran bintang pop remaja semacam Britney Spears, Christina Aguilera, dan Jessica Simpsons.

Tokoh utama novel ini adalah Heather Wells, mantan penyanyi pop remaja terkenal, yang kemudian jatuh bangkrut ketika didepak dari label rekaman yang menaunginya, serta kehilangan seluruh dukungan finansial, dibawa kabur ibu kandungnya sendiri. Lalu ada Cooper Cartwright, detektif partikelir yang menerima pekerjaan mencari informasi untuk para kliennya, salah satu pewaris konglomerat Cartwright, dan merupakan kakak dari Jordan Cartwright, mantan pacar sekaligus penyanyi solo pria pujaan dari Cartwright Records. Sebagai pemeran pendukung utama ada Rachel dan Sarah (kolega Heather di asrama), Maggie (kasir kafeteria yang merupakan karib Heather), Detektif Canavan, Christopher Arlington, Dr. Jessup, dan beberapa tokoh pendukung lainnya.

Seperti banyak karakter ciptaan Meg Cabot, Heather Wells digambarkan sebagai sosok perempuan beranjak dewasa yang masih terbelit kegalauan sisa kepopulerannya, kesendiriannya, hingga masalah berat badannya. Dia berulang kali menyangkal bahwa dia gemuk. Heather berasumsi bahwa dia bertubuh rata-rata perempuan Amerika. Selain itu, Heather juga kerap dideskripsikan sebagai sosok yang suka menceracau dan terkadang berfantasi (agak) mesum terhadap lelaki yang menarik minatnya. Sementara itu, Cooper Cartwright hadir sebagai sosok pria tampan karismatik yang gampang sekali memikat perempuan.  

Konflik:
Seperti yang telah ditegaskan oleh judul bukunya, sebenarnya benang utama kisah ini adalah permasalahan seputar berat badan yang dialami oleh Heather Wells. Kepercayaan dirinya agak goyah karena itu. Belum lagi, hidupnya yang berantakan selepas masa kebintangannya membuatnya mau tak mau bekerja keras demi hidup di kota New York yang serbamahal. Namun tak hanya itu, beberapa subplot berhasil dikombinasikan dengan cukup bagus oleh Meg Cabot, termasuk soal misteri pembunuhan di asrama tempat Heather bekerja. Kadang saya memang bosan ketika Heather mencerocos panjang lebar di pikirannya. Sifat yang awalnya menggemaskan lama-lama bikin capek sangking annoying-nya.

Kesimpulan:
Sisi romance-nya tetap terasa meskipun dibumbui subplot pembunuhan. Saya cukup terpikat untuk melanjutkan membaca serinya yang lain demi mengetahui apa yang akan terjadi pada Heather setelah kasus pembunuhan di asramanya terungkap, ya?

End line:
Yah, kau harus memulai dari suatu tempat, bukan?

Wednesday, January 6, 2016

[Waiting on Wednesday] ...Mission D'Amour


"Waiting On" Wednesday is a weekly event, hosted by Breaking the Spine, that spotlights upcoming releases that we're eagerly anticipating.

Saya masih punya utang sama Francisca Todi untuk membuatkan resensi atas novel Mafia Espresso-nya yang ia rilis ulang dengan judul Irresistible, plus Love Roulette yang merupakan sekuelnya. Saya diberikan contoh novel dalam bentuk e-book. Belum selesai dibaca, sih, tapi saya cukup yakin untuk menyebutkan bahwa saya menyukai gaya menulis Cisca. Oleh karenanya, saya pun tak sabar menantikan novel metropop perdananya ini.

Kehidupan Tara Asten sebagai asisten pribadi Putri Viola—Putri Mahkota Kerajaan Alerva yang supersibuk—selalu penuh tantangan. Namun, Tara tidak pernah menyangka Badan Intelijen Alerva (BIA) akan menjadikannya tersangka utama dalam rencana penyerangan keluarga kerajaan. Dia dimasukkan ke masa percobaan tiga bulan, pekerjaannya terancam tamat!
 

BIA menugaskan salah satu agen rahasianya, Bastian von Staudt, alias Sebastian Marschall, untuk menyamar menjadi calon pengganti Tara dan menyelidiki wanita itu. Tapi di tengah perjalanan misinya, dia malah jatuh hati pada kepribadian lugu Tara. Bukannya mencari kesalahan Tara, Sebastian malah beberapa kali menolongnya.
 

Tara yang awalnya membenci pria itu, mulai bimbang dengan perasaannya. Sebastian pun mulai kesulitan mempertahankan penyamarannya.
 

Tapi, itu sebelum Sebastian mendengar percakapan mencurigakan Tara di telepon. Yang membawa Sebastian pada dua pilihan sulit: misi atau hatinya.

*Ukuran: 13.5 x 20 cm
*Tebal: 368 halaman
*No. Produk: 616171001
*ISBN: 978-602-03-2487-6
*Harga: Rp69,000

*Terbit: 21 Januari 2016

https://www.goodreads.com/book/show/28372202-mission-d-amour

Jadi, buku apa yang kamu tunggu Rabu ini?

Monday, January 4, 2016

[Resensi Novel Romance] My Wedding Dress by Dy Lunaly


Kalau mau jujur, bukankah sebenarnya kita semua merupakan kumpulan masokhis, disadari ataupun tidak? Terlalu sering kita sengaja membuka kenangan menyakitkan atau menyedihkan dan menyesapnya kembali.
---Dy Lunaly, My Wedding Dress

First line:
Aku berkedip beberapa kali sebelum kembali menatap pantulan wajahku pada cermin di sudut ruangan.

Apa yang lebih mengerikan selain ditinggalkan calon suamimu tepat ketika sudah akan naik altar? Abby pernah merasakannya. Dia paham betul sakitnya.
 

Abby memutuskan untuk berputar haluan hidup setelah itu. Berhenti bekerja, menutup diri, mengabaikan dunia yang seolah menertawakannya. Ia berusaha menyembuhkan luka. Namun, setahun yang terasa berabad-abad ternyata belum cukup untuk mengobatinya. Sakit itu masih ada, bahkan menguat lebih memilukan.
 

Lalu, Abby sampai pada keputusan gila. Travelling mengenakan gaun pengantin! Meski tanpa mempelai pria, ia berusaha menikmati tiap detik perjalanannya. Berharap gaun putih itu bisa menyerap semua kesedihannya yang belum tuntas. Mengembalikan hatinya, agar siap untuk menerima cinta yang baru.

Judul: My Wedding Dress
Pengarang: Dy Lunaly
Penyunting: Starin Sani
Perancang sampul: Titin Apti Liastuti
Pemeriksa aksara: Fitriana STP & Septi Ws
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: vi + 270 hlm
Harga: Rp59.000
Rilis: Oktober 2015
ISBN: 978-602-291-106-7
Dibaca: akhir Desember 2015
Rating: 3 out of 5 star
Buku persembahan dari pengarangnya, tidak memengaruhi penulisan resensi.

Entah jodoh, entah kebetulan, oleh sebab saya tak bisa mengunjungi event Big Bad Wolf book fair di Kuala Lumpur akhir Desember 2015 kemarin, saya yang mendadak kangen melancong ke Malaysia atau Singapura, pas banget ketika menerima novel rilisan terbaru karya Dy ini. Apa pasal? Setting lokasi novel dalam cita rasa weddinglit ini ternyata di dua negara tersebut. Ahay, saya bisa sedikit bernostalgia selama membacanya.

Meet Cute:
Sebagaimana disebutkan di sinopsis novel ini, tokoh Gabriella "Abby" Karen Saraswati dirundung patah hati setelah gagal menikah. Oleh karena suatu alasan yang impulsif, Abby memutuskan untuk melakukan solo traveling ke Penang. Di salah satu negara bagian Malaysia inilah, Abby yang kebingungan mencari alat transportasi untuk kembali ke penginapannya bertemu dengan Wirasana "Wira" Peter Smit di halte bus Rapid Penang.


Ide cerita dan eksekusinya:
Saya menyukai ide cerita yang diangkat di dalam novel ini. Gaun pengantin dan traveling. Unik dan menarik. Meskipun demikian, saya tak merasai nuansa wedding yang kental mengingat novel ini dilabeli weddinglit. Well, memang ada dua momen pernikahan, sih, di sini, tapi... entahlah, nuansa pernikahannya tenggelam oleh acara jalan-jalannya. Mungkin, saya-nya saja, sih, yang mulai bosan dengan novel-novel berbalut traveling. Waktu baca Sunset Holiday-nya Nina Ardianti-Mahir Pradana, saya juga susah dapat feel-nya.

Sayangnya (lagi), gaya penulisan Dy yang lincah agak sedikit kurang orisinal dengan banyaknya adegan yang entah sudah pernah digunakan di buku atau film. Bukan pula ingin mendiskreditkan pengarang, tapi penjelasan soal critical eleven di halaman 153 tentu saja akan segera mengingatkan pembaca pada novel fenomenal karya Ika Natassa. Dan, beberapa adegan lainnya. Sedikit banyak --buat saya-- itu mengurangi kenikmatan membaca novel ini. Plus, terlalu banyak kebetulan, menurut saya. Apakah jalan cerita memang dimaksudkan untuk menciptakan momen-momen serendipity yang mudah? I dunno. Meskipun begitu, saya cukup dibuat surprise lho ketika mendapatkan snap-moment menjelang ending, saat mencocokkan suasana ruang tunggu bandara Soetta (sebelum keberangkatan) dan segala peristiwa yang terjadi di Penang. Everything happens for a reason. Hufft, bisa saja gitu, ya.

Omong-omong, Dy ini tipe yang suka memperkenalkan para tokohnya melalui dialog masing-masing dengan menyerukan nama lengkapnya, ya. Agak awkward, tapi bolehlah tanpa harus dinarasikan.

Plot, setting, dan karakter:
Plotnya bergerak maju, namun di sepanjang pergerakannya banyak bagian yang mengingat masa lalu, lengkap dengan dialog dan suasana dan detail-detail kecil lainnya. Ingatan akan masa lalu itu biasanya ditulis miring (kursif) sehingga secara tak langsung memisahkan antara kejadian di masa sekarang dan masa lalu.

Setting waktu: modern. Setting lokasi: Jakarta, Penang (Malaysia), Singapura, dan Pulau Menjangan (Bali). Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwasanya novel ini menghadirkan nostalgia, saya memang sempat mengunjungi Penang dan Singapura. Sayangnya, saya tak berlama-lama di Penang, kurang dari 12 jam malah, hahaha. Jadi, saya memang sama sekali tak menikmati suasana kotanya. Keperluan saya hanya sekadar belanja buku lalu pulang. Segala macam mural, street art, dan tempat-tempat bersejarah tidak sempat saya kunjungi. Syukurlah, saya bisa membayangkannya dari deskripsi yang diberikan oleh pengarang.

Novel ini didukung dua tokoh utama yakni Abby, seorang arsitek yang banting setir menjadi wirausahawan online setelah kegagalan pernikahannya, dan Wira yang adalah travel-writer yang menikmati perjalanan sebagai hobi sekaligus profesinya. Di samping itu ada tokoh Gigi (adik perempuan Abby yang tampak lebih dewasa), Andre (objek patah hatinya Abby), Noura dan Jiyad (kawan Wira di Singapura), dan beberapa tokoh pendukung lainnya. Sejatinya saya menyukai interaksi anara Abby dan Wira, tapi berkat serendipity yang agak terlalu banyak membuat saya sulit merasai chemistry mereka. Belum lagi sifat Abby yang di saya kok terkesan kekanakan, ya? Hmm, si Abby ini sudah pernah kerja (arsitek mestinya jadi orang yang serius dan penuh perhitungan, kan?) dan juga sempat mau nikah. Dan, saya juga mencatat (dalam ingatan), Abby ini suka sekali berteriak-teriak pada Wira. Agak berlebihan dan mengganggu (buat saya, sih).

Oiya, PoV untuk novel ini adalah PoV orang pertama dari sudut pandang Abby.

Konflik:
Bumbu cerita berasal dari serpihan masa lalu--tragedi setahun sebelumnya, tepatnya-- yang menimpa Abby lalu ditambah potongan masalah yang juga sedang dihadapi oleh Wira. Ini pula yang jadi masalah buat saya, "Kenapa, sih, pengarang suka banget bikin alasan patah hati agar tokohnya ber-traveling?". Maaf, tapi saya gagal bersimpati pada alasan Abby dan Wira melakukan perjalanan. Alasan simpel yang terlalu dibesar-besarkan, buat saya.

Ujung konflik juga seperti dibegitukan saja. Hmm, bagaimana, ya? Sepertinya pengarang maunya bikin semua tokohnya mendapat jalan keluar. Enggak dipaksakan juga, sih, tapi semuanya tampak terlalu mudah untuk konflik yang dibuat sedemikian rumit. Bahkan, gong dari semua hal yang berkaitan dengan alasan Andre memutuskan batal menikahi Abby... huhuhu, enggak ada subplot lain sajakah? Subplot macam begitu saya rasa sudah terlalu biasa.

Lalu, tentang my wedding dress yang menjadi nyawa keseluruhan cerita ini... hmm, kurang "sakral" rasanya. Saya tak merasa diikat dengan erat oleh kenyataan bahwa gaun pengantin Abby itulah yang menciptakan, memperuncing, hingga memecahkan masalah yang dihadapi Abby. Seperti halnya pada kurang kuatnya chemistry Abby-Wira, saya juga kurang menghayati peran besar si gaun pada keseluruhan cerita.

Ending (jangan buka bila menganggap ini spoiler):


Kesimpulan:
Pada akhirnya, saya mesti bilang, perasaan saya agak sedikit campur aduk setelah merampungkan-baca novel ini. Namun, saya menyukai ide ceritanya: unik dan menarik, plus membuat saya bernostalgia ketika traveling ke Penang dan Singapura. Buat kamu yang sedang ingin membaca novel romance berlatar belakang traveling, silakan coba cicipi racikan anyar Dy Lunaly ini. Dijamin kamu pasti kepingin bisa traveling bareng pasangan atau menemukan pasangan saat traveling. *grin*

End line:
Pria favoritku.