Tuesday, September 25, 2018

[Review Novel Romance] Thousand Dreams by Dian Mariani


First line:
Harapan itu serupa cahaya. Saat dipeluk kegelapan hanya perlu seberkas cahaya untuk membuatmu merasa baik-baik saja.
---hlm.1, Prolog

Tentang perjalanan
Tentang kesempatan
Tentang cita-cita dan kenyataan yang saling berhadapan
Tentang mimpi yang (hampir) kesampaian
Dan tentang perasaan
Cinta yang ternyata tak mudah berkesudahan


Jo dan Callista bersahabat sejak SMA. Sama-sama menyukai seni, tetapi terpaksa menempuh pendidikan di jurusan yang tidak mereka sukai. Callista yang suka menulis, terpaksa memilih jurusan yang dibencinya, demi karier yang menurut ibunya jauh lebih cemerlang. Sedangkan Jo, yang tergila-gila dengan fotografi, terpaksa mengambil jurusan Bisnis sesuai keinginan orangtuanya.

Segalanya memang akan terasa lebih berat kalau kita tidak suka dengan yang kita lakukan. Tapi, hobi yang dijalankan sepenuh hati juga punya tuntutan sendiri. Dunia seni profesional mulai menunjukkan taringnya. Menjadi seniman ternyata tak semudah yang dibayangkan. Target, deadline, dan profesionalisme adalah wajib hukumnya demi unjuk gigi di dunia yang mereka idamkan ini.

Sibuk dengan mimpi dan cita-cita masing-masing, kedua sahabat ini perlahan saling menjauh. Memang harus ada yang dikorbankan, demi mencapai sesuatu yang sangat kita inginkan. Dan ketika percik hati mulai berbunyi, siapakah yang mereka pilih? Jemari lain yang menggandeng mereka meraih mimpi atau seseorang yang pernah punya arti?

Judul: Thousand Dreams
Pengarang: Dian Mariani
Penyunting: Pradita Seti Rahayu
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tebal: 216 hlm
My rating: 3,5 out of 5 star
Silakan baca nukilan Bab 1 dari Thousand Dreams di sini: www.elexmedia.id

Well, Thousand Dreams menjadi novel dari lini City Life berikutnya yang berkesempatan saya baca. Thanks to Dian Mariani yang sudah ngirim buku ini ke saya, in exchange for my honest review. Perkenalan saya dengan Dian dimulai dari novel Finally You yang resensinya waktu itu ditulis Agustin Sudjono sebagai materi guest post di blog www.fiksimetropop.com. Dari sana, ada rasa penasaran untuk bisa membaca karya-karya Dian dan syukurlah kali ini saya bisa mencicipi racikannya yang lain yaitu novel terbarunya bertajuk Thousand Dreams ini (selanjutnya novel Me Minus You yang juga dikirim Dian ke saya).

Membaca Thousand Dreams begitu mudah karena gaya tutur Dian yang cukup lincah, ceplas-ceplos, dan lebih banyak dialog ketimbang narasi. Thousand Dreams sepertinya ditulis mengikuti pakem character driven story karena alur cerita berkembang seiring dengan pengembangan karakter para tokohnya, terutama dua tokoh utamanya: Jo dan Callista. Untuk keduanya masih lumayan kokoh sih pengembangannya, sayang tak dibarengi dua tokoh pendamping utama: Nando dan Elisa. Ditambah beragam serba kebetulan yang menjadikan adegan demi adegan ataupun ujung perjalanan mudah mudah tertebak alias predictable. Lumayan bikin semangat membaca terkikis sedikit demi sedikit, meskipun tak sampai habis.



Thousand Dreams mengambil tema persahabatan yang dibumbui drama percintaan segi empat yang kurang kukuh, menurut saya, karena banyaknya unsur kebetulan tadi. Dari blurb sendiri saya sungguh antusias mengikuti kisah dua sahabat yang mulai saling menjauh karena mencoba mengejar mimpi masing-masing, Jo yang menggilai fotografi dan Callista yang bermimpi menjadi penulis terkenal. Keduanya sudah berteman sejak lama, kuliah di kampus yang sama (beda jurusan), dan sama-sama merasa salah masuk jurusan gara-gara paksaan orangtua. Berkat kesamaan nasib itulah, keduanya saling support untuk mewujudkan hobi menjadi profesi.

Sebenarnya saya sangat menikmati lembar demi lembar Thousand Dreams, bahkan beberapa kalimatnya cukup quotable buat dipasang sebagai status Twitter atau caption Instagram. Namun, semuanya tak lagi gurih ketika satu demi satu serendipity yang disempilkan Dian menggoyahkan imajinasi saya akan kisah manis persahabatan Jo dan Callista ini. Too bad.


Balik ke urusan karakter. Seperti yang tadi saya bilang, dua tokoh pendampingnya kurang dieksplor dengan optimal. Well, secara deskriptif sih oke, tapi masih kurang secara emosional untuk menyajikan konflik yang pas sebagai bumbu drama persahabatan kedua tokoh utamanya. Khususnya Nando, yang di sini dikisahkan sebagai penulis mega-bestseller dan editor sekaligus penulis pujaan Callista. Yang masih janggal buat saya, selain sebagai penulis, Nando ini kerjanya apa ya, terus waktu ditugasi sebagai editor oleh Penerbit Garuda (penerbit dari hampir semua bukunya dan penerbit yang sama yang akan menerbitkan buku Callista), dia sebagai editor lepas apa in house (editor tetap)? Kok kayaknya terlalu jauh ikut mengurusi segala marketing penerbit kalau posisinya editor lepas. Nggak ada penjelasan memadai--sepanjang yang saya ingat--atas posisi Nando ini.

Dalam perjalanannya, kita akan disuguhi bermacam masalah yang harus dihadapi oleh Jo dan Callista untuk bisa menyeimbangkan antara hobi yang kadung kelewat disukai dan tuntutan kuliah yang menjadi fokus pada fase kehidupan mereka. Di sinilah saya juga ikut merasai (sekaligus bernostalgia) bagaimana Jo dan Callista pontang-panting ngerjain tugas kuliah sembari mencoba hal-hal baru demi peningkatan kualitas hobi mereka. Jo yang mulai terjun di dunia fotografi secara profesional dan Callista yang ahirnya berhasil menerbitkan buku di penerbit mayor.


Thousand Dreams mengalir dengan segar dan lincah dalam menyajikan kisah persahabatan yang pelik karena tepercik bumbu asmara. Namun sayang, beberapa adegan kebetulan, kurangnya pengembangan karakter pendamping, dan minimnya tambahan subplot menjadikan Thousand Dreams cenderung predictable serta kurang believable. Untuk kamu yang suka cerita friends with benefits atau berlatar belakang fotografi dan dunia penulisan, Thousand Dreams bisa jadi pilihan bacaan ringan yang menyenangkan. Terus produktif ya, Dian.

Selamat membaca, tweemans.

End line:
"Gue cuma beli sepuluh ini, swear!".
---hlm.205, Epilog

Monday, September 17, 2018

[Review Novel Romance] Midnight Prince by Titi Sanaria


First line:
Harapan itu serupa cahaya. Saat dipeluk kegelapan hanya perlu seberkas cahaya untuk membuatmu merasa baik-baik saja.
---hlm.1, PROLOG

“Menurutku, kamu menyukaiku.”
“Menurutku, kamu terlalu percaya diri.”
“Aku mengenalmu, Ka. Sebelum sesuatu yang aku nggak tahu itu apa, kamu nyaman denganku.”

Mika sadar, sudah saatnya dia meninggalkan masa-masa terpuruk dalam hidupnya. Menjalani kehidupan normal selaiknya seorang perempuan dewasa yang bahagia, seperti kata sahabatnya. Menemukan seseorang yang tepat, menjalani hubungan yang serius, kemudian menikah. Lalu Mika bertemu Rajata.

Semua nyaris sempurna seperti harapan semua orang untuknya, sebelum sebuah kenyataan menyakitkan menghantamnya telak. Membuatnya perlahan-lahan menghindari laki-laki itu, mengubah haluan menjadi seorang pesimis yang tak percaya pada kekuatan cinta. Dia berusaha mematikan perasaannya tanpa tahu kalau Rajata justru mati-matian memperjuangkannya. Jika dua orang yang sudah tak sejalan bertahan di atas kapal yang nyaris karam, akankah mereka bertahan bersama, atau mencari kapal lain untuk menyelamatkan diri masing-masing?

Judul: Midnight Prince
Pengarang: Titi Sanaria
Penyunting: Dion Rahman
Penyelaras Aksara: Inggrid Sonya
Desainer Sampul: Ulayya Nasution
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tebal: 267 hlm
My rating: 3,5 out of 5 star

rating di www.goodreads.com per 17/09/2018 pukul 00:55 

Hype yang sedemikian kenceng bikin saya memilih Dirt on My Boots untuk dibaca di Gramedia Digital, tahun lalu. And, thanks God, it was definitely worth the hype. Itulah perkenalan pertama saya dengan tulisan Titi Sanaria. Well, saya bukan penggemar aplikasi Wattpad, jadi kalaupun dia sudah begitu populer di jagat Watty, saya nggak tahu. Sejak membaca Dirt on My Boots (...and like it a lot) saya mencatat, kalau nanti ada lagi tulisan Titi yang bakal keluar: I'll give her another try.

And, here I am. Saya membaca buku Titi yang lain berjudul Midnight Prince yang sepertinya telah lebih dulu ngehits di Wattpad sebelum akhirnya diterbitkan oleh Penerbit Elex Media, lini City Life. Well, kalau  nggak salah, I read somewhere, lini City Life ini agak-agak miriplah sama lini Metropop-nya GPU. Jadi, nggak heran kalau saya (mungkin) bakalan cocok sama novel-novel yang bakal terbit dari lini ini. Thanks to Titi yang sudah mengirimkan novel ini bersama Dirt on My Boots (akhirnya saya punya edisi cetaknya, yayy), Dongeng Tentang Waktu, dan Never Let You Go. Disclaimer: will not affecting my review, of course.




Saya mencoba nggak terlalu tinggi memasang ekspektasi ketika mulai membaca Midnight Prince, soalnya kan ini juga baru buku kedua Titi yang saya baca. Pun saya nggak mau kecewa-kecewa banget kalau ternyata Midnight Prince nggak se-charming Dirt on My Boots.

Syukurlah saya melakukan itu, karena di sepertiga bagian awal buku saya tak menemukan kelincahan tulisan Titi yang ceplas-ceplos kayak di Midnight Prince. Diksinya bagus, manis, tapi ya itu tadi, saya masih membandingkannya sama Dirt on My Boots. Untunglah, dari segi cerita cukup membuat saya mampu bertahan untuk merampungkan-baca ceritanya.


Midnight Prince berlatar dunia kesehatan/kedokteran. Dua tokoh utama, Mika dan Rajata, serta beberapa tokoh pendamping berprofesi sebagai dokter, dengan setting lokasi lebih sering di rumah sakit dan klinik. Oh, I do love medical romance, hehehe. Ini ngingetin saya sama novel-novelnya Mira W. Dan, buat saya, unsurnya pas sih. Memang belum sekuat Mira W, tapi sudah lumayan oke, kok (buat saya). Etapi, jangan juga terlalu berharap ada adegan bedah-membedah atau analisis kedokteran yang kompleks di novel ini karena memang enggak ada sih. Lagi pula, si tokoh utama juga masih dokter umum yang kebetulan minta jadwal tugas jaga malam di ruang IGD. Speaking of its tittle, beberapa adegannya memang ber-setting waktu malam.

Midnight Prince bercerita tentang dr. Mika yang harus bergelut dengan duka kehilangan ayah dan adik perempuannya serta gangguan emosi tak stabil pada ibunya. Terlebih Mika merasa dialah penyebab kepergian adik semata wayangnya. Untuk meringankan beban rasa bersalah, Mika memupuk dendam dan berniat membalaskannya pada seseorang--dan keluarganya--yang diyakininya ikut andil memorak-porandakan keharmonisan keluarganya.


Pace-nya lumayan, nggak terlalu cepat atau lambat, meskipun beberapa titik konflik tumbuh kelewat perlahan. Itu yang awalnya bikin saya kurang terikat sama kisahnya. Pada banyak bagian, saya mulai bertanya-tanya: katanya Mika benci banget sama keluarga dr. Lukito, tapi kenapa malah ngelamar kerja di rumah sakit itu? Well, pada bagian agak di belakang, nanti dikasih tahu kok alasannya. Namun, saya sudah kadung nggak habis pikir sama jalan pemikiran Mika hingga pada kesimpulan, "Bodo amat dah, ah". Too bad, karena akhirnya saya jadi berhenti untuk peduli pada si karakter utama. Ditambah lagi unsur insta-love dan adegan tarik-ulur love-hate relationship-nya yang bikin capek (pas cowoknya mau, ceweknya ngga mau; giliran cowoknya nggak mau, ceweknya mau; BAH!).

Namun demikian, diksi yang romantis nan puitis berhasil melarutkan saya dalam kisah cinta penuh liku ini. Pada beberapa bagian, saya dibikin terharu, bahkan sempat berkaca-kaca. Sayangnya, tetap saja gagal membuat saya agar cukup peduli untuk tahu dan mendoakan nasib baik bagi si karakter utama. Dari departemen teknis, sorry to say: I never liked any City Life's book cover, including this one. Dan, masih banyak salah tik di sana-sini.

Pada akhirnya, kekuatan tulisan, diksi yang apik, dan latar belakang dunia kedokteran lah yang bikin saya cukup senang membaca Midnight Prince. Buat kamu yang juga menyukai tipe cerita medical romance, novel ini pasti cocok dihabiskan sekali duduk. Semangat dan terus produktif ya, Titi. Nggak sabar lanjut baca karyamu yang lain.  

End line:
"Nggak apa-apa jadi sahabat yang egois sesekali. Tapi kamu pacar yang hebat....
---hlm.266, EPILOG