Tuesday, October 18, 2016

[Resensi Novel Romance] Last Forever by Windry Ramadhina


First line:
Dia menyelinap turun dari tempat tidur.

“Seharusnya, aku tidak boleh mengharapkanmu. Seharusnya, aku tahu diri. Tapi, Lana..., ketakutanku yang paling besar adalah... aku kehilangan dirimu pada saat aku punya kesempatan memilikimu.” — Samuel

“Untuk berada di sisimu, aku harus membuang semua yang kumiliki. Duniaku. Apa kau sadar?” — Lana

Dua orang yang tidak menginginkan komitmen dalam cinta terjerat situasi yang membuat mereka harus mulai memikirkan komitmen. Padahal, bagi mereka, kebersamaan tak pernah jadi pilihan. Ambisi dan impian jauh lebih nyata dibandingkan cinta yang hanya sementara. Lalu, bagaimana saat menyerah kepada cinta, justru membuat mereka tambah saling menyakiti? Berapa banyak yang mampu mereka pertaruhkan demi sesuatu yang tak mereka duga?
Goodreads:

Judul: Last Forever
Pengarang: Windry Ramadhina
Penyunting: Jia Effendie
Penerbit: Gagas Media
Tebal: vi + 378 halaman
Rilis: 20 Oktober 2015
ISBN: 9789797808433
Rating: 2,5 out of 5 star

ide cerita dan eksekusinya:
Sebagaimana telah dinyatakan dengan cukup jelas di sinopsis (blurb)-nya, Last Forever berkisah tentang dua tokoh antikomitmen yang justru harus tunduk pada komitmen. Dalam perjalanannya, konflik ini dibumbui perang batin masing-masing (terutama menyangkut prinsip hidup dan karier) ditambah kisah hidup orang terdekat mereka yang sedikit-banyak memberi pengaruh bagi pengambilan keputusan.

Namun, ya, begitu saja. Tak seperti Memori atau Interlude atau Walking After You atau London: Angel yang memberi kesan begitu mendalam dan kompleks, Last Forever selesai begitu saja. Hampir tak ada rasa yang membekas ketika saya membalik halaman terakhirnya. Bahkan, ending-nya pun terasa... ya, begitu saja. Tidak ada ledakan yang mengejutkan. Tidak ada lelehan manis yang memabukkan. Entahlah, kali ini saya dicukupkan hanya pada kenikmatan diksi racikan Windry Ramadhina yang, seperti biasa, demikian indah.


meet cute:
Kedua tokoh utama sudah saling mengenal sehingga tak ada adegan perkenalan bernuansa romantis, paling hanya ketika salah satu tokoh membuka lembar ingatan saat mereka kali pertama bertemu dalam sebuah event di Cannes.

plot, setting, dan karakter:
Last Forever beralur maju, dengan beberapa bagian para tokohnya memutar kenangan masa lalu dalam rangka pengembangan konflik atau penguatan karakternya.

Last Forever ber-setting waktu modern (masa kini tanpa penyebutan tahun secara pasti) dengan setting lokasi: Jakarta, Flores, dan Washington. Sebagian besar cerita terjadi di Jakarta tapi Flores adalah lokasi sumber konflik. Oleh karena latar belakang para tokohnya, ada sedikit gaya penceritaan kisah perjalanan (traveling) di lokasi-lokasi tersebut.

sumber: travel.kompas
Tokoh utamanya adalah Lana dan Samuel Hardi. Keduanya sama-sama pekerja seni, lebih tepatnya pembuat film dokumenter. Lana adalah kru National Geographic yang berkantor di Washington sedangkan Samuel Hardi adalah pemilik studio film Hardi di Jakarta yang kerap jadi langganan partner Nat Geo. Lana adalah tipe easy going, supel, ramah, tapi juga ambisius. Samuel justru kebalikannya: kaku, dingin, perfeksionis, sekaligus playboy. Keduanya memiliki persamaan: antikomitmen dan tak percaya pada institusi pernikahan. Di sekitar keduanya ada Pat (rekan kerja Lana di NatGeo), Rayyi (kolega Samuel), Ruruh Rahayu (ibu Lana), William Hart (ayah Lana), Nora (asisten pribadi Samuel), dan beberapa tokoh pendukung lainnya.

konflik:
Well, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, konfliknya cuma satu: perang batin dua tokoh antikomitmen. Lana dan Samuel digambarkan sebagai dua pekerja kekinian yang hampir-hampir tak lagi terikat adat ketimuran. Keduanya memilih berhubungan tanpa status, tanpa komitmen, dan mungkin (awalnya) tanpa cinta.

Ini juga yang membuat saya agak terganggu selama proses pembacaan. Tumben banget, Windry membuat tokohnya sedemikian bebas. Pun, orang-orang di sekitar mereka seolah-olah mengamini dan mendukung mereka. Hanya ibu Lana saja yang sepertinya berkeberatan meskipun hanya sejenak. Namun, ini murni preferensi pribadi saya saja. Mungkin saya kolot, mungkin saya tidak open-minded, hanya saja saya selalu dan terus berharap para pengarang tetap berupaya mengampanyekan hal-hal baik, minimal yang telah disepakati secara umum.

Bumbu konflik utama minim sekali. Poros bumi sepertinya hanya berpusar pada Lana-Samuel. Sumbangan subplot yang paling terasa hanya pada rahasia kehidupan pernikahan orangtua Lana. Selebihnya hanya remahan yang melingkupi tarik ulur antara Lana dan Samuel. Karenanya saya sampai membaca-cepat alias skimming dengan melewati banyak bagiannya. Entahlah, apakah ada hal penting yang akhirnya tak tertangkap radar baca saya, tapi saya rasa tidak.

ending:


catatan:
Sebagai seseorang yang bercita-cita bisa menulis dan menerbitkan buku sendiri, saya menyukai gaya menulis Windry yang tak berlagak serbatahu. Contohnya: Windry tak pernah menarasikan sesuatu yang belum terdefinisikan lewat jalan tengah seperti ketika menggambarkan warna sesuatu: kehitam-hitaman, kecokelatan, keemasan, dan sebagainya alih-alih langsung menyebut: berwarna hitam, cokelat, atau emas.

kesimpulan:
So far, Last Forever menjadi novel Windry yang paling tidak saya favoritkan, menyusul kemudian Orange. Biasanya selalu ada kesan mendalam selepas membaca karya-karya Windry, tapi saya tak mendapatinya kali ini. Selama proses pembacaan saya hanya merasa datar-datar saja. Karakter yang coba dibangun pun hanya sanggup bertahan sampai pertengahan, setelahnya tak bisa membuat saya bersimpati kepada keduanya. Pat dan Rayyi mungkin menyumbang poin untuk novel ini, tapi saya justru kepincut sama Nora. Asisten Samuel ini benar-benar menyenangkan, tampak tanpa beban, dan sepertinya bisa menaklukkan siapa saja yang dihadapinya. Maka, kali ini saya hanya menyematkan 2,5 bintang dari skala 1-5, dengan poin besar untuk diksi menawan khas Windry.

Kini, tinggal menunggu Angel in the Rain. Saya (lumayan) suka London: Angel dan berharap bisa kembali tak hanya menyukai diksinya saja tapi juga sekaligus cerita racikan Windry. Semoga! Selamat membaca, tweemans.


end line:
Bertiga, mereka melewatkan pagi.

Sunday, October 16, 2016

Murah mana: Big Bad Wolf Surabaya vs Big Bad Wolf Kuala Lumpur?


Wowsaaa… enggak sampai harus berganti tahun, panitia Big Bad Wolf (BBW) book sale akhirnya kembali menggelar pameran sekaligus penjualan buku-buku impor nan murah-meriah di Indonesia. Setelah April-Mei 2016 lalu ada di ICE-BSD, Tangerang Selatan, Oktober ini BBW book sale diadakan di Surabaya! Tuh, kan, panitia BBW pasti ketagihan menggelar book sale lagi setelah melihat animo pengunjung book sale yang di BSD kemarin itu.


Omong-omong, sebenarnya semurah apa sih buku-buku yang dijual di BBW book sale? Sekiranya dibandingkan sama yang dijual di book sale aslinya di Malaysia (Kuala Lumpur) sana, lebih murah mana, ya? Iseng-iseng saya kok ya, kepingin bikin perbandingan. Dan, beginilah perbandingan menurut versi saya.

Variabel harga:
1.       Tiket pesawat: PP Jakarta – Surabaya Rp1.200.000; PP Jakarta – Kuala Lumpur = Rp1.600.000;
2.       Penginapan (asumsi 2 malam 2 hari): Surabaya = Rp400.000; Kuala Lumpur = Rp450.000;
3.       Ongkos taksi ke dan dari Bandara Soekarno Hatta diabaikan karena sama saja.
4.       Kendaraan di tempat tujuan: Surabaya (PP bus bandara = Rp50.000, bus kota 2 hari = Rp20.000); Kuala Lumpur (PP KLIA express = Rp350.000, KTM 2 hari = Rp14.000)
5.       Untuk urusan makan dan minum juga diabaikan, ya, toh kebutuhan pokok, kan?
6.       Harga buku: di Indonesia, rerata Rp70.000; di Malaysia (RM1 = Rp3.500), rerata RM7 = Rp24.500. Asumsi bagasi pesawat gratis 20kg terisi buku, semua kurang lebih 60 eksemplar (abaikan tebal-tipis odd-regular size), maka total belanjaan buku: Surabaya = 60 x Rp70.000 = Rp4.200.000; Kuala Lumpur = 60 x Rp24.500 = 1.470.000;
7.       Jadi, total pengeluaran: Surabaya = Rp5.870.000; Kuala Lumpur = Rp3.884.000.

Nah, dari rincian kasar berdasar beragam asumsi di atas, terdapat selisih hampir Rp2 juta lebih banyak yang harus saya keluarkan jika saya memutuskan untuk berwisata buku ke Surabaya. Dan, karena saya warga Jawa Timur yang sudah beberapa kali menjelajahi Surabaya sepertinya bonus wisata kotanya pun tak seseru bonus wisata kota Kuala Lumpur.

Well, sekali lagi ini hanya iseng belaka. Sebenarnya, sih, untuk meredam rasa penasaran dan keinginan nekat berwisata buku pas BBW book sale Surabaya 2016. Jadi, buat saya, sudah yakin dan ikhlas akan melewatkan keseruan berbelanja sembari menimbun buku di BBW Surabaya ini. Namun, buat tweemans yang super-duper-penasaran atau kebetulan berdomisili dekat dengan Surabaya, ya sayang juga jika melewatkan keseruan BBW ini. Belum tentu bakal ada lagi nanti-nanti, kan?

Kamu, gimana?