Thursday, October 29, 2015

[#BacaBarengMinjul] ...berbincang seru seputar dunia kepenulisan bersama Kezia Evi Wiadji


Setelah minggu lalu kita menyelesaikan #BBM_ReWrite karya Emma Grace, minggu depan, tepatnya tanggal 2 s.d. 7 November 2015 #BacaBarengMinjul akan menghadirkan novel romance kategori dewasa dari lini Amore (Penerbit Gramedia Pustaka Utama) berjudul The Unbroken Vow karya Kezia Evi Wiadji. Nah, sebelum kita seseruan membaca dan mengulas The Unbroken Vow selama satu minggu penuh, yuk kita berbincang-bincang dulu dengan Evi---panggilan kita untuk Kezia Evi Wiadji, seputar dunia kepenulisan yang digelutinya saat ini.


Halo, Evi, selamat datang di www.fiksimetropop.com dan terima kasih atas kesediaan berbincang-bincang bersama @fiksimetropop tentang Evi dan dunia kepenulisan yang Evi geluti saat ini. Sebelumnya boleh dibagi informasi keseharian Evi?
Saya sudah berkeluarga dan bekerja penuh waktu di sebuah bank swasta di Jakarta. Saya dulu kuliah di Yogyakarta, fakultas Ekonomi.  

Wah, dengan kesibukan seperti itu masih sempat menulis?
Menulis lebih banyak saya lakukan di waktu senggang. Semacam reward setelah saya melakukan tugas harian atau bekerja.

Hmm, oke, kalau begitu adakah waktu atau tempat khusus untuk menulis bagi Evi?
Beruntung saya bisa menulis di mana saja dan kapan saja selama ada ponsel. Misalnya ketika menunggu antrean. Tetapi waktu khusus untuk menulis adalah saat pagi di perjalanan ke kantor (saya nebeng teman). Menulis selama di perjalanan menggunakan ponsel (bukan laptop). Tetapi khusus untuk revisi naskah harus menggunakan layar lebih besar (PC atau laptop) dan biasanya di rumah/tempat yang lebih tenang.

Menarik sekali. Tapi, omong-omong, Evi kan sudah berkeluarga, apakah keluarga Evi mendukung penuh karier kepenulisan yang kamu pilih? Apa bentuk dukungan mereka yang menurut Evi paling berarti?
Keluarga dan suami saya ‘senang’ setiap kali buku baru saya terbit sudah merupakan bentuk dukungan paling berarti. Tetapi yang mereka lakukan selama ini ‘lebih dari sekadar senang.’
 
Bolehkah diceritakan, sejak kapan Evi sudah menyukai dunia tulis menulis? Apakah ada dari keluarga yang juga berkecimpung di dunia kepenulisan?
Saya mencoba terjun ke dunia tulis-menulis (secara profesional) mulai Januari 2011. Hmm, sepertinya tidak ada dalam keluarga besar kedua orangtua saya yang berkecimpung di dunia tulis menulis ataupun bidang seni.

Apakah Evi juga mengalami fase kepenulisan dengan mengikuti bermacam lomba penulisan?
Pernah beberapa kali mengikuti lomba menulis. Tapi tidak sering. Biasanya mempertimbangkan tema dan waktu senggang.

Maaf, apakah Kezia Evi Wiadji merupakan nama asli ataukah nama pena?
Nama asli saya Evi Wiadji. Saya hanya menambahkan nama babtis (Kezia) di depan nama saya.

Apakah Evi juga menyukai menulis cerpen atau puisi?
Saya belum bisa menulis puisi. Kalau diminta memilih, saya lebih tertarik menulis novel daripada cerpen. Cerpen hanya sesekali saja. Mengenai cerpen, sudah ada satu buku kumcer saya yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama tahun 2013 berjudul Mamma Mia: Bouquet of Love (berisi 15 kumcer Natal).

Sekarang masuk ke pertanyaan sejuta umat nih, Evi, hehehe… dari mana, sih, biasanya inspirasi Evi peroleh dalam menuliskan sebuah novel?
Untuk saya, inspirasi bisa diperoleh dari mana saja. Dari melihat satu kejadian. Mendengar sebuah berita. Nonton film. Baca. Bahkan dari percakapan dengan teman. Tiba-tiba bisa 'klik', dapat ide kecil. Nanti akan dipikirkan lebih jauh apakah ide kecil ini bisa berpotensi menjadi naskah novel atau hanya untuk cerpen.

Apa novel favorit Evi--termasuk penulis favorit, baik dalam maupun luar negeri?
Hampir semua novel yang ditulis oleh penulis favorit saya plus Tintin.
Kalau soal penulis favorit, dari dalam negeri: Ilana Tan dan Karla M Nashar, sedangkan penulis dari luar negeri: Laura Ingalls Wilder, End Bylton, LaVyrle Spencer, Donna Van Liere, Robyn Carr, Stephenie Meyer, Sherryl Woods, Catherine Anderson, Nicholas Sparks, Lisa Kleypas (banyak juga, ya) saya lebih menyukai novel yang menyinggung atau berlatar belakang ‘keluarga’.

Apakah ada pengaruh yang diberikan oleh penulis favorit tersebut, baik langsung maupun tidak, dalam hal menulis?
Pengaruhnya, saya ingin bisa menulis sebaik dan sekeren mereka.

Terkait novel-novel Evi yang telah diterbitkan Gramedia, kalau tak salah dua novel, ya? berlabel Teenlit dan Amore, apakah itu pilihan Evi atau editor? Boleh diceritakan sedikit tentang label Amore dan Teenlit bagi novel-novel karya Evi?
Selama ini saya menulis tergantung ide yang ada. Dari satu ide, saya hanya berpikir akan dikembangkan untuk pangsa pembaca dewasa atau remaja. Bagi saya, naskah bisa diterbitkan saja (di penerbit mana pun) sudah bersyukur sekali, jadi tidak masalah akan diberi label apa. Untuk naskah The Unbroken Vow lini Amore dan Perfect Scenario lini Teenlit sepenuhnya ditentukan oleh editor.

Mengapa memilih cinta sebagai tema novel-novel Evi?
Sampai saat ini saya suka menulis sesuatu yang 'indah-indah'. Dan yang ‘indah’ ini menurut saya tidak jauh-jauh dari yang namanya ‘cinta’. Meskipun saya pernah juga menulis kisah yang temanya bukan cinta (untuk cerpen dan novela).

Apa sebenarnya arti ‘cinta’ bagi seorang Evi?
Arti cinta bagi saya adalah,
Suatu perasaan yang memicu saya untuk melakukan tindakan berbagi, rela berkorban dan menomersatukan kebahagiaan orang yang saya cintai. Jika orang yang saya cintai bahagia maka saya juga akan turut bahagia.

Apakah tidak takut novelnya dianggap ‘tidak-serius’ karena melulu bertema cinta?
Tentang ‘serius’ dan ‘tidak serius’, menurut saya (mungkin) hanya tergantung dari cara pandang orang atau bisa juga karena selera. Bagi saya tidak masalah orang akan berpendapat novel-novel saya ‘tidak serius’, yang penting saya menulis dengan 'serius'.

Apakah Evi melakukan riset terlebih dahulu dalam menulis ataukah begitu dapat ide langsung menulis?
Riset dilakukan tergantung kebutuhan. Ada yang butuh riset mendalam seperti di The Unbroken Vow. Tapi biasanya, sebelum menulis, saya akan memantapkan lebih dulu: ide, kerangka per-bab, bahan/materi pendukung. Riset termasuk dalam bahan/materi pendukung.

Jika Evi melakukan riset atas novel-novel yang sudah terbit, manakah yang membutuhkan waktu paling lama dalam hal riset?
Pertanyaan ini saya rujuk ke dua novel baru saya di Gramedia Pustaka Utama, ya. Riset paling lama dan mendalam di The Unbroken Vow. Ada beberapa hal yang saya harus persiapkan 'lebih' di sana karena memang naskah itu membutuhkan sentuhan lebih. Kalau di Perfect Scenario, riset tidak sedalam The Unbroken Vow. 

https://www.goodreads.com/book/show/26139169-perfect-scenario

https://www.goodreads.com/book/show/25997053-the-unbroken-vow

Dari semua novel yang sudah terbit, mana yang memberikan kesan paling mendalam bagi Evi pribadi? Mengapa?
Semua buku saya mempunyai kesan secara pribadi. Karena semua buku saya memiliki perjalanan uniknya sendiri-sendiri. Masing-masing mempunyai tantangan tersendiri. Juga membawa kesan tersendiri. Baik saat menggarapnya maupun saat bekerja sama dengan editor yang berbeda-beda. Beda kisah, beda momen, beda event, beda lomba, beda editor, beda penerbit.

Soal karakterisasi, apakah tokoh-tokoh dalam novel Evi murni reka-imajinasi atau ada beberapa yang berasal dari sosok nyata kehidupan keseharian kamu?
Karakteristik tokoh dalam novel saya selama ini murni rekaan. Bisa jadi sosok atau postur atau wajah dari melihat seseorang atau aktor atau artis tertentu, tetapi karakternya akan disesuaikan dengan kebutuhan cerita.

Dari semua tokoh yang sudah dihidupkan, mana yang paling sulit ketika pendalaman karakternya? Mengapa?
Bagi saya, semua karakter mempunyai kesulitan masing-masing. Tetapi untuk karakter di kisah-kisah yang menyedihkan, terutama pertentangan batin, terasa lebih berat. Butuh tenaga lebih untuk menuliskannya. Rasanya tenaga ikut terkuras. Berbeda dengan naskah ceria.

Pernah mengikuti kegiatan workshop kepenulisan/pendidikan formal kepenulisan ataukah menggeluti dunia kepenulisan ini secara otodidak?
Saya belajar menulis secara otodidak. Dari membaca, menonton film, review dari pembaca, masukan editor dan diskusi dengan teman sesama penulis.

Wahh, sudah cukup banyak pertanyaannya, semoga tidak merepotkan. Nah, untuk sekarang sedang sibuk apa? Apakah sedang menulis novel yang akan terbit berikutnya?
Saat ini baru rehat untuk persiapan melanjutkan menulis naskah remaja (mencoba menulis semi fantasy). Kemarin sempat terhenti karena harus merevisi naskah lain. 

Apakah impian terbesar seorang Kezia Evi Wiadji dalam dunia kepenulisan?
Semoga bisa terus berbagi kebahagiaan dan harapan baik melalui berbagai kisah. Semoga bisa menghibur dan menginspirasi pembaca.

Apakah ada keinginan menulis buku non fiksi atau novel di luar tema cinta?
Non fiksi sampai saat ini belum ada keinginan. Sebenarnya saya pernah menulis kisah di luar tema cinta, tapi tidak banyak.

Terakhir, apakah ada yang ingin disampaikan bagi pembaca Indonesia?
Tetap membaca dan jangan membeli buku bajakan.
Terima kasih untuk mas Ijul yang telah berbaik hati memberi kesempatan kepada saya di program #BacaBarengMinjul.
Sukses untuk kita semua.

Sekali lagi, beribu terima kasih saya sampaikan kepada Evi yang telah bersedia menyempatkan untuk berbincang dan berbagi pengalaman menulis dengan @fiksimetropop. Semoga perbincangan ini dapat bermanfaat bagi semua yang membaca. Semoga terus produktif, selamat menulis, Evi.

Akrab disapa Evi, penulis ini tinggal di Serpong. Di sela-sela waktunya sebagai karyawati di sebuah bank swasta di Jakarta, dia mencoba terjun ke dunia tulis-menulis sejak tahun 2011. Dari tangannya telah hadir beberapa buku baik fiksi maupun non fiksi.

Melalui berbagai kisah, penulis mencoba berbagi semangat hidup, inspirasi, dan pesan. Dan seperti keinginannya untuk memuliakan nama Tuhan, dia berusaha melakukan yang terbaik selama Tuhan mempercayakan talenta ini.

Faith makes all thing possible, love makes them easy. (Anonim)

Buku yang telah terbit:
[15] Last Journey (Grasindo Gramedia - soon 2015/Naskah Pilihan Lomba PSA#3)
[14] Perfect Scenario (Gramedia Pustaka Utama - September 2015/Teenlit)
[13] The Unbroken Vow (Gramedia Pustaka Utama - Agustus 2015/Amore]
[12] Maret: Flowers (Grasindo Gramedia - Mar 2015/Monthly Series 3 penulis)
[11] Runaway (Grasindo Gramedia - Des 2014/Novel Inspiratif Natal)
[10] Sweet Winter (Grasindo Gramedia - Agt 2014)
[09] Kimmy Puzzle (Media Pressindo - Mei 2014/Novel Drama Misteri)
[08] I am Yours (BIP Gramedia - Apr 2014/Diikutsertakan ke Frankfurt Book Fair 2015)
[07] You're Invited (Grasindo Gramedia - Apr 2014/Naskah Pilihan Lomba PSA#2)
[06] Hanya Bisa Empat Kali [JIKA AKU MEREKA/Lomba Menulis Kisah Inspiratif] (GagasMedia - Feb 2014)
[05] Second Love [BE MINE/novela 3 penulis] (Media Pressindo - Feb 2014)
[04] Mamma Mia! Bouquet of Love (Gramedia Pustaka Utama - Nov 2013/15 Kumpulan Cerita Pendek Inspiratif Natal)
[03] Till It's Gone (Media Pressindo - Juli 2013)
[02] Love to Love You (Media Pressindo - Nov 2012)
[01] Because of You (Media Pressindo - Juli 2012)

Friday, October 23, 2015

[Buku diFILMkan] Resensi Film - Paper Towns (Adaptasi dari Novel Karya John Green)


The movie looks good...



Saya orangnya gampangan, sebenarnya. Gampang suka tapi juga gampang enggak suka. Pas baca The Fault in Our Stars (TFiOS), saya nggak begitu ngeh sama kisahnya. Mana yang versi bahasa Inggris-nya susah banget buat saya cerna, vocabulary-nya nyebelin. Namun, ternyata baca versi terjemahannya pun tetap bikin saya nggak begitu relate sama cerita TFiOS, tapi hal itu nggak menghalangi saya untuk menonton versi filmnya. Dan, saya suka.

Sementara itu, saya belum baca Paper Towns. Sudah punya, tapi belum dibaca. Saat mendengar kabar Paper Towns bakal dadaptasi menjadi film, saya pun tak kalah excited kayak TFiOS dulu. Sayang, sepertinya filmnya tak tayang di bioskop lokal, entah kenapa. Mungkin karena di Amerika sendiri film ini tak terlalu bagus hasil penjualan tiketnya. Namun, akhirnya saya berkesempatan menonton film ini juga. Well, seperti yang sudah saya bilang, saya orangnya gampang suka, dan saya memang suka sama film ini. Bahkan setelah nonton, saya malah kepingin baca versi novelnya. Soon!


Paper Towns mengisahkan tentang Quentin "Q" Jacobsen (Nat Wolff), cowok SMA biasa-biasa saja yang merasa mendapat keajaiban ketika kedatangan tetangga baru, cewek, sewaktu kecil. Cewek itu Margo Roth Spiegelman (Cara Delevigne). Namun, ternyata kedekatan mereka di waktu kecil, tak membuat keduanya akrab hingga remaja. Margo jadi cewek populer dan Quentin tetap jadi cowok biasa. Hingga suatu malam, Margo mengetuk jendela kamar Quentin, memaksa meminjam mobil cowok itu, tapi karena Quentin ragu, akhirnya Margo pun "menyeret" Quentin untuk ikut bersamanya, melancarkan serangkaian tindakan yang disebut Margo sebagai, "Aksi Balas Dendam Margo" pada Jason "Jase" Worthington (Griffin Freeman), mantan kekasih Margo yang dipergokinya bercinta dengan salah satu sahabatnya, Becca Arrington (Caitlin Carver). Dari situlah, Quentin yang manis mendadak serbaimpulsif dan hampir seperti terobsesi untuk mengejar Margo.

  
Berlandaskan keyakinan pada beberapa clue yang dianggap Quentin sengaja ditinggalkan oleh Margo, dia mengajak dua sahabatnya, Ben Starling (Austin Abrams) dan Marcus "Radar" Lincoln (Justice Smith), untuk melacak jejak Margo yang menghilang sehari setelah "Aksi Balas Dendam Margo". Nah, petualangan Quentin dan kawan-kawan inilah yang digambarkan dalam film, termasuk road trip menuju "kota kertas", tempat terkuat yang diduga didatangi oleh Margo saat ini. Dan, ada Ansel Elgort (tahu, kan, siapa dia? yep, si Augustus di TFiOS the movie), muncul sebagai cameo.


Overall, saya suka, sih, filmnya. Akting para cast-nya juga bagus. Tentang plot dan pesan moral dan konfliknya memang agak mengambang, sih, tapi... entahlah, saya tetap tergerak untuk menonton film ini hingga tuntas. Nggak merasa bosan atau apa. Dan, ini bagian favorit saya (ketika Quentin berhasil menemukan Margo di kota kertas).


Soal soundtrack, saya suka lagu Falling by Haim yang jadi musik latar susana prom di bagian akhir film. Ternyata itu lagu agak lumayan lama, ya. Saya enggak nemu yang ada latar Paper Towns-nya, ini yang versi video klip aslinya:



Dan, ini trailer resmi Paper Towns:



Buat saya, 3,5 out of 5 star untuk film adaptasi Paper Towns. Selamat menonton, tweemans.

Monday, October 19, 2015

[Resensi Novel Young Adult] Rainbow Boys by Alex Sanchez


Cinta segitiga sesama remaja pria...

Jason Carrillo is a jock with a steady girlfriend, but he can't stop dreaming about sex...with other guys.

Kyle Meeks doesn't look gay, but he is. And he hopes he never has to tell anyone -- especially his parents.

Nelson Glassman is "out" to the entire world, but he can't tell the boy he loves that he wants to be more than just friends.

Three teenage boys, coming of age and out of the closet. In a revealing debut novel that percolates with passion and wit, Alex Sanchez follows these very different high-school seniors as their struggles with sexuality and intolerance draw them into a triangle of love, betrayal, and ultimately, friendship.

Judul: Rainbow Boys (Rainbow Boys #1)
Pengarang: Alex Sanchez
Tebal: 247 halaman
Bahasa: Bahasa Inggris

Sejatinya buku ini tak menawarkan kisah monumental baru seputar isu LGBTQ. Tiga remaja pria yang menjadi tokoh utamanya pun tampil sangat predictable. Jason ---cowok pebasket populer yang berperan sebagai gay in denial/gay in the closet, Kyle ---cowok kutu buku nan pintar dari segi akademis sedang berusaha menyesuaikan dirinya yang sebenarnya sudah mengaku gay, dan Nelson ---tipikal cowok gay pecicilan yang berdandan ala-ala demi menarik perhatian. Lalu, oleh sang pengarang ketiganya dipertemukan dalam satu frame hingga terciptalah cinta segitiga di antara mereka. Siapa suka siapa, dan siapa yang akhirnya menjadi kekasih siapa, silakan baca sendiri untuk menemukan jawabannya, ya.

Yang berbeda adalah latar belakang Alex Sanchez, sang pengarang. Ia berusaha menyelipkan isu penerimaan dan pengakuan kesetaraan LGBTQ di masyarakat. Alex pernah menjadi pendidik dan pendamping pada korban kekerasan (fisik maupun psikologis) terkait isu LGBTQ sehingga ia memberikan gambaran grup-grup pendukung bagi siapa pun yang merasa terbebani dengan "nasib" yang menimpanya. Di bagian akhir novel ini, Alex juga mendaftar grup atau kelompok atau tempat untuk berkonsultasi terkait isu ini.


Hmm, dari serial karya Alex ini saya jadi teringat kampanye #LoveWins yang sempat booming di Amerika Serikat setelah dilegalkannya pernikahan sesama jenis di Negeri Paman Sam itu. Semua yang mendukung kampanye itu menggunakan pelangi (rainbow) sebagai simbolnya. Entahlah, saya sendiri tak paham, apa arti pelangi bagi LGBTQ.

Saya suka karakterisasi yang dihidupkan oleh Alex Sanchez, terutama tokoh Kyle yang serbaoptimis. Meskipun awalnya enggan, tapi Kyle akhirnya menguatkan diri untuk menerima dirinya yang gay dan mengakuinya pada orang terdekatnya. Pun ketika ia mulai berani menyatakan rasa suka pada salah satu tokoh yang sudah dikaguminya sejak kali pertama melihatnya. Nelson yang annoying bikin kisah dalam novel ini menjadi demikian hidup, dan Jason yang terombang-ambing dalam kebimbangan dapat menggambarkan betapa seseorang yang merasa terjebak dalam "nasib" ini bisa mengambil pilihan, menerima atau menolak.

Buat yang kepingin baca kisah LGBTQ ber-setting dunia dewasa-muda (young adult) yang cukup kental nuansa LGBTQ-nya, silakan coba baca serial karya Alex Sanchez ini. 3,5 out of 5 star untuk Anak-anak SMA Pelangi ini.

Btw, adakah yang nyadar cowok di belakang yang ada di kover itu adalah... Matt Bomer?

Selamat membaca, tweemans.

[#BacaBarengMinjul] ...yuk baca bareng Novel Young Adult Re-Write by Emma Grace


"Tak ada kenangan yang bisa kautulis ulang.
Tapi mimpi, bisa kaususun kembali."
---Re-Write by Emma Grace

Halo, tweemans. Selamat datang kembali di gelaran #BacaBarengMinjul periode 19 s.d. 24 Oktober 2015, kali ini dengan edisi novel Young Adult berjudul Re-Write karya Emma Grace terbitan Gramedia Pustaka Utama. Pada gelaran kali ini, dua peserta #BBM_ReWrite adalah Agustin W dengan akun Twitter @agustine_w dan Deas dengan akun Twitter @deasyds.

Namun, #BBM_ReWrite enggak hanya buat saya, Emma, Agustine, ataupun Deas saja. Buat tweemans sekalian yang sudah punya novel ini dan belum dibaca, yuk... ikutan baca bareng. Cukup tambahkan tagar #BBM_ReWrite agar gampang di-search nanti, ya. Yang sudah baca, masih bisa kok ikutan baca bareng, cukup ungkapkan kesan-kesan tweemans selama membaca novel ini, sertakan tagar yang sama, ya. Nah, buat yang belum punya bukunya tapi ngebet banget pengin baca, mungkin itu pertanda kamu mesti ke toko buku dan beli bukunya (atau kalau enggak, pinjem ke temanmu).

Ayok atuh kita ramaikan #BacaBarengMinjul edisi Re-Write by Emma Grace ini. Have fun, tweemans.

Thursday, October 15, 2015

[#BacaBarengMinjul] Berkenalan dengan Emma Grace


#BacaBarengMinjul merupakan salah satu agenda rutin yang diselenggarakan di ranah Twitter melalui akun @fiksimetropop. Dalam waktu dekat, tepatnya tanggal 19 s.d. 24 Oktober 2015 mendatang, @fiksimetropop mengajak pembaca dan tweemans sekalian untuk ikut baca bareng novel terbaru karya Emma Grace bertajuk Re-Write yang merupakan novel keduanya yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama di bawah lini Novel Young Adult. Sebelum ikut keseruan #BacaBarengMinjul edisi Re-Write minggu depan, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan Emma Grace, sang penulis Re-Write. Yuk!




Hai, Emma, terima kasih atas kesediaan berbincang-bincang bersama @fiksimetropop tentang Emma dan dunia kepenulisan yang Emma geluti saat ini. Sebelumnya boleh dibagi informasi keseharian Emma?
Hai teman-teman, saat ini saya baru saja mulai bekerja dan merintis karier di sebuah perusahaan. Saya lulus dari jurusan ekonomi :)

Wah, kerja kantoran juga, ya? Jadi, bagaimana cara Emma membagi waktu antara kesibukan harian dan menulis? Dan, apakah ada waktu atau tempat khusus untuk menulis?
Biasanya ketika sedang menyelesaikan satu tulisan, saya menyisihkan waktu di akhir minggu, atau di malam hari. Sesempat saya bisa, dan juga tergantung mood. Waktu khusus tidak ada. Kadang bisa setiap malam saya menulis. Tapi kadang, seperti belakangan terjadi, hampir dua bulan saya tidak menyentuh laptop saya kecuali untuk browsing lagu atau film :p

Bagaimana dengan keluarga, apakah mereka mendukung karier kepenulisan Emma?
Keluarga saya berdiri netral. Mereka tidak menghalangi kesukaan saya menulis.

Omong-omong, sejak kapan Emma menyukai dunia tulis-menulis?
Dunia menulis menurut saya erat kaitannya dengan kesukaan baca seseorang. Dengan demikian, boleh saya simpulkan, itu berawal sejak kecil. Diawali dengan hobi baca saya, lantas menulis kisah harian saya sendiri dalam bentuk diary, lalu personal blog

Terus, apakah Emma juga mengalami fase kepenulisan dengan mengikuti bermacam lomba penulisan? 
Tidak pernah.

Hmm, pernah mengikuti kegiatan workshop kepenulisan/pendidikan formal kepenulisan ataukah menggeluti dunia kepenulisan ini secara otodidak?
Belum pernah ikut workshop. Saya belajar dari banyak baca dan juga masukan dari editor.  

Dari karya yang sudah terbit, Emma kan menulis novel, nah, apakah Emma juga menyukai menulis cerpen atau puisi?

Saya sangat suka cerpen. Saya sering menulis cerpen, walaupun seringnya hanya untuk konsumsi pribadi saja. Saya juga suka baca puisi. Tapi sampai sekarang, sayangnya, saya belum mampu menulis puisi.


Oke, sekarang nyampe ke pertanyaan sejuta umat, hehehe. Biasanya ketika menulis, dapat inspirasinya dari mana, sih?
Inspirasi saya datang dari kejadian sehari-hari. Seperti untuk novel Re-Write, inspirasi awal jatuh pada tokoh Beth. Saya membayangkan seorang gadis yang sulit move on. Seorang gadis galau dan kadang minder, seperti kebanyakan dari kita di kehidupan nyata kita, dan dari sana, cerita bergulir. 


Kalau penulis dan novel favorit Emma?
Novel favorit saya... seperti kebanyakan pembaca lain, saya yakin banyak sekali. Sangat banyak malah. Sulit untuk disebutkan satu per satu. Mulai dari Gone with the Wind (Margaret Mitchell) hingga P.S. I Still Love You (Jenny Han). Mulai dari serial Little House (on the Prairie karya Laura Ingalls Wilder) hingga On Writing-nya Stephen King. Begitupun dengan penulis favorit: Banyak sekali. Banyak penulis hebat dengan kisah-kisah luar biasa yang mengundang untuk kita membaca karya-karya mereka. Tapi jika harus disebutkan beberapa, maka saya suka Colleen Hoover, Jenny Han, Gilian Flynn, Haruki Murakami, Sophie Kinsella, Winna Efendi, dan juga Ilana Tan.

Well, apakah ada pengaruh yang diberikan oleh penulis favorit tersebut, baik langsung maupun tidak, dalam hal menulis? 
Setiap buku bagus yang kita baca, saya yakin, sadar atau tidak, akan memengaruhi cara pikir kita, yang pada akhirnya akan tertuang pada tulisan yang kita hasilkan.


Terkait novel-novel Emma yang telah diterbitkan Gramedia dua-duanya berlabel Young Adult, apakah itu pilihan Emma atau editor? Boleh diceritakan sedikit tentang label Young Adult bagi novel-novel karya Emma?  
Dalam menulis, saya tidak terlalu memikirkan akan dimasukkan dalam kategori apa oleh penerbit. Saya percaya pada keputusan penerbit. Mereka pasti akan mengelompokkan tulisan saya dalam lini terbaik, yang sesuai dengan cerita yang saya tulis.

Jika menilik dua novel Emma yang sudah terbit, Pay it Forward dan Re-Write, sepertinya tema cinta jadi pilihan. Nah, mengapa memilih cinta sebagai tema novel-novel Emma? 
Oh ya, dua novel saya jatuhnya memang tentang cinta dan keluarga, ya. :p
Saya menulis sesuatu yang menggugah hati saya. Saya menulis tokoh yang menuntut untuk saya keluarkan dari kepala saya, ke atas kertas. Sampai saat ini, karena memang baru dua novel yang saya tulis, berkat Tuhan semata, saya belum terlalu berpikir tentang hal lain. Saya percaya, setiap buku yang bagus, setiap cerita yang kita tulis sepenuh hati, akan memiliki jalan sendiri ke hati pembaca
, apa pun temanya. 


Apakah Emma melakukan riset terlebih dahulu dalam menulis ataukah begitu dapat ide langsung menulis?  
Mengenai riset, baik untuk Pay It Forward maupun Re-Write, saya berusaha menggali sebanyak mungkin hal yang berkaitan dengan topik dan setting yang saya tulis, sehingga mudah-mudahan semua hal yang saya masukkan dalam novel, bukan tempelan semata :)


Dari semua novel yang sudah terbit, mana yang memberikan kesan paling mendalam? Mengapa? 
Saya masih penulis yang baru belajar, nih. Bukunya saja baru dua. Jadi jika ditanya tentang kesan mendalam, saya bisa jawab dua-duanya. Pay It Forward sangat berkesan, karena itu adalah naskah pertama yang diterima oleh penerbit. Sedangkan Re-Write juga sangat berkesan karena ada sesuatu yang sangat istimewa ketika saya menulis tentang Beth dan Rick di sana. 

Soal karakterisasi, apakah tokoh-tokoh dalam novel Emma murni reka-imajinasi atau ada beberapa yang berasal dari sosok nyata kehidupan keseharian kamu?
Kalau tokoh hanya reka imajinasi saja.


Apakah impian terbesar seorang Emma Grace dalam dunia kepenulisan? 
Impian saya hanyalah semoga saya bisa tetap menulis cerita yang bisa diterima oleh para pembaca tercinta, dan tentunya bisa menghibur kita semua.


Apakah ada keinginan menulis buku non fiksi atau novel di luar tema cinta? 
Untuk menulis non fiksi, belum sih untuk sekarang. Terutama karena memang saya belum mampu dan masih perlu belajar lagi.


Terakhir, apakah ada yang ingin disampaikan bagi pembaca Indonesia? 
Saya hanya ingin menyampaikan terima kasih banyak untuk @fiksimetropop, dan juga pembaca di luar sana, yang begitu bersemangat membaca dan menularkan virus baca pada teman-teman yang lain melalui dunia media sosial, maupun review-review yang teman-teman buat. Percayalah, itu sangat membantu kami--para penulis, untuk bisa berkarya lebih baik lagi. Jadi, terima kasih banyak, ya, teman-teman.

Sekali lagi, terima kasih ya, untuk kesempatannya.

Oke, Emma. Terima kasih juga sudah berbagi dengan kami, pembaca buku tanah air. Terus menulis dan terus produktif, ya.  

Dan, untuk tweemans yang belum punya bahan bacaan untuk minggu depan, lalu masih bingung, yuk... comot saja novel Young Adult Re-Write karya Emma Grace terbitan Gramedia dan ikutan baca bareng selama satu minggu, tanggal 19 s.d. 24 Oktober 2015. Sampai ketemu di Twitterland, tweemans. Cheers!
Kehidupan Beth Samodro berjalan seperti layaknya gadis berumur dua puluh tahun. Ia kuliah di Sydney. Memiliki keluarga yang sayang padanya. Jatuh cinta luar biasa pada laki-laki yang telah ia kenal sejak sekolah menengah di Jakarta.

Perjalan hidup Derick Bhrasongko dimulai dari kota Sydney. Ia lahir dan besar di kota tersebut. Ia tak suka pada orang Indonesia. Masa lalu telah mengajarnya untuk membenci gadis lemah yang hanya bisa menganggukkan kepala dan menurut pada orang lain, atas nama cinta.

Beth dan Rick memiliki latar belakang dan pribadi yang berbeda. Kesamaan di antara mereka hanyalah sama-sama menyimpan rahasia kelam yang membebani langkah mereka saat ini. Kedua manusia yang tak pernah cocok untuk bersama dalam kondisi apa pun. Lalu pada satu persimpangan, jalan mereka bertemu.

Dan garis hidup berkata lain.