Monday, December 19, 2011

[New Release] Novel Metropop: Circle of Love by Monica Petra


Wahhh, yang ini malah lupa diposting. Yang ini juga masih anget dari 'pabrik'nya Gramedia. Selamat membeli dan membacanya.


Harga : Rp. 40.000,-

Sinopsis:
Patricia Sarah mahasiswi semester akhir yang tengah sibuk menyusun skripsi. Sebagai novelis muda berbakat, karier dan kesibukan membuatnya belum memiliki pacar.

Rupanya perjalanan cintanya tak semulus perjalanan karier dan studinya. Beberapa pemuda membuat Patricia tertarik, di antaranya Clyde—pemuda warga negara Thailand yang ia temui di Bali, Andhika—aktor terkenal, dan Bryan—teman di dunia maya. Belum lagi ada Adrian dan Felix yang juga memberi warna dalam hidup Patricia.

Tetapi, siapakah yang benar-benar mampu memenangkan hati seorang Patricia Sarah?

Novel ini wajib dibaca oleh semua wanita single yang masih menunggu cinta sejatinya. Pahit manis cinta akan selalu ada, tetapi kehidupan tidak akan pernah berhenti berjalan.


“Patty berusaha terlalu keras mencari pasangan hidupnya. Padahal, dia hanya perlu membuka mata hatinya, dan pasangan hidup yang didambakan ternyata berada di dekatnya. Gaya penulisan Monica yang detail membuat Circle of Love teramu dengan manis.”
Irena Tjiunata – penulis

“Cerita yang menyentuh dan romantis. Monica Petra tidak cuma piawai mengarang novel teenlit, tapi juga metropop.”
Glenn Alexei – penulis

“Mencari cinta sejati selalu menghadirkan kisah menarik, dan Monica Petra berhasil menuliskannya dengan apik.”
Daniel Jefferson Siahaan – Produser Dreamlight World Media

[New Release] Novel Metropop: I Hate Rich Men by Virginia Novita


Hmm, ada lagi nih novel metropop terbaru yang dirilis oleh Gramedia. Selamat membeli dan membacanya.


Harga : Rp. 45.000,-
Ukuran : 13.5 x 20 cm
Tebal : 228 halaman
Terbit : Desember 2011
Cover : Softcover
ISBN : 978-979-22-7845-3

Sinopsis:Adrian Aditomo benar-benar tipikal pria kaya yang dibenci Miranda, tidak peduli betapa tampan dan seksinya pria itu. Sifatnya angkuh dan begitu superior.

Ada lagi, pria itu sinting! Adrian berani menculik Miranda hanya untuk mengatakan kalimat yang tidak masuk akal—“Adik Anda merebut tunangan saya,” kata pria itu dingin.

“Hah?” Hanya itu yang bisa dikatakan Miranda. Apakah orang yang dimaksud pria itu adalah Nino? Nino-nya yang masih berumur tujuh belas tahun dan masih polos? Tidak mungkin Nino-nya yang masih remaja itu menyukai wanita yang lebih tua, apalagi milik orang lain!

Demi untuk membersihkan nama baik Nino, Miranda terpaksa bekerja sama dengan Adrian. Hal yang sangat sulit dilakukan karena mereka berdua tidak pernah sependapat dan selalu bertengkar.

Seharusnya sejak awal Miranda menolak berurusan dengan Adrian. Ia benar-benar mengabaikan firasatnya. Firasat yang mengatakan Adrian mampu menjungkir-balikkan hidupnya dan terutama... hatinya.

Thursday, December 15, 2011

Resensi Novel Chicklit: Orange by Windry Ramadhina


Perjuangkan cinta yang kaupercayai
Read from December 12 to 14, 2011, read count: 1
---3,5 star...


Judul: Orange
Penulis: Windry Ramadhina
Editor: Christian Simamora
Proofreader: Annisa Kurnia, Resita
Penata Letak: Wahyu Suwari
Designer Sampul: Dwi Anisa Anindhika
Penerbit: Gagas Media
Tebal: vi + 290 hlm
Harga: Rp35.000
Rilis: Cetakan pertama, 2008
ISBN: 978-979-780-249-3

Bagian tersulit saat mencintaimu adalah melihatmu mencintai orang lain...

Tepat sekali. Sebagaimana yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam novel bernuansa jeruk karya Windry Ramadhina ini. Adalah seorang gadis mungil enerjik, Fayrani Muid, putri konglomerat yang justru memilih fotografi sebagai jalan hidupnya, dipertemukan dengan putra sulung konglomerat lainnya, Diyan Adnan, seorang eksekutif muda workaholic dalam sebuah jalinan perjodohan oleh keluarganya. Dua insan yang tak pernah bersua, apalagi mengenal satu sama lainnya ini pun mencoba membangun sebuah jalinan tanpa landasan cinta demi membahagiakan orangtua mereka.Namun, pada akhirnya segala yang pura-pura tak akan bertahan lama. Ikatan resmi pertunangan Faye-Diyan terguncang dengan kehadiran Zaki dan Rera yang mencoba memasuki bilik hati masing-masing. Lalu, bagaimanakah akhir dari kisah ini, apakah Faye akan tetap bertekad menjadi istri Diyan meskipun disasadarinya bahwa laki-laki itu masih menyimpan rasa pada Rera ataukah ia lebih memilih berhubungan dengan Zaki yang tak lain tak bukan adalah adik kandung Diyan? Temukan jawaban atas jalinan cinta yang saling bertautan ini dalam novel debutan Windry Ramadhina.

Sejak mulai membacanya dari halaman pertama, saya tidak bisa berhenti. Oke, tentu saya harus berhenti untuk urusan ibadah, urusan perut, urusan kasur, dan urusan kantor, namun pada dasarnya, membaca novel ini bikin nagih. Paling tidak, saya membaca novel ini tanpa tersela keinginan untuk melirik buku lain (yang biasanya sering saya lakukan). Good for me!

Faye, Diyan, Zaki, dan Rera, adalah tokoh-tokoh yang likeable. Mudah bagi saya menyukai kesemua karakternya, yang digambarkan dengan sangat baik. Tentu saja, sikap labil Diyan dan Rera yang sering on-off itu terkadang bikin gemas juga, namun selebihnya kesemuanya berakting dengan cukup memikat. Great job, Windry. Sedangkan untuk tokoh sampingan, masih ada beberapa yang kurang kuat, termasuk tokoh orangtua Faye-Diyan. Tapi, tak apalah, kalau terlalu kuat nanti justru menenggelamkan tokoh utamanya.

Soal ceritanya sih, kisah cinta biasa. Romansa yang hampir sama dengan Antologi Rasa-nya Ika Natassa. Cinta bersegi empat. Faye dan Diyan dijodohkan, Zaki mendadak jatuh cinta pada Faye, dan Diyan masih tak mampu melupakan Rera. Maka, lingkaran keempatnya adalah konflik utama dari keseluruhan rangkaian kisah cinta di novel ini. Tapi, tenang saja, bumbu penyedap konfliknya cukup menggoda, kok. Cukup untuk membuat novel ini renyah ketika dinikmati. Dan, terima kasih, karena Windry pun tak menyia-nyiakan background masing-masing tokoh sehingga saya merasa dekat dengan mereka, karena mereka memang nyata. Mereka bekerja, berkeluarga, dan bersosialisasi. Background mereka melekat pada karakternya, tidak sekadar tempelan belaka. Tagline novel ini yang saya tulis di muka menjadi deskripsi paling jelas dari keseluruhan ceritanya. Meski hanya sekilas, saya pun ikut trenyuh ketika beberapa tokoh rekaan Windry harus menyaksikan orang yang mereka cintai ternyata malah menjatuhkan pilihan pada orang lain. #berkaca.kaca.

Oiya, kenapa novel ini mengambil judul “Orange” alias “Jeruk”? Saya tak tahu, hehehe. Tapi, kalau menurut saya sih, jeruk adalah highlight dari tokoh Faye yang memang menyukai buah jeruk dan menganggap bahwa hidup ini serupa jeruk yang rasanya asam-manis, “bittersweet”, dan apabila ditarik ulur benang-merah kisah dalam novel ini meman mencoba menggambarkan rasa dari hidup para tokohnya.

Saya juga suka dengan gaya menulis Windry yang membuat tiap adegan mengalir hampir secara kronologis, dari waktu ke waktu, berganti dari satu tokoh ke tokoh lain yang terlibat dalam adegan tersebut. Meskipun demikian, saya agak terganggu dengan penempatan kata ganti orang ketiga dalam kalimat-kalimat yang disusun oleh Windry. Misalnya saja, contoh berikut (hlm. 183-184):
      Zaki membuka kunci pintu depan, lalu ia mempersilakan Faye masuk..dst..... Laptop miliknya masih menyala dan asbak penuh puntung rokok di sebelah laptop itu belum ia bersihkan.
    “Maaf, Faye. Berantakan.”
    Faye tertawa kecil. “Kurasa kau perlu mempertimbangkan...dst...,” kata Faye penuh canda. Dengan nyaman gadis itu mengambil posisi duduk di atas tikar, lalu Faye mulai melihat-lihat kumpulan kertas berisi sketsa miliknya yang berantakan.
Coba perhatikan kata “miliknya” di akhir paragraf. Dalam posisi membaca cepat, mungkin mekanisme otomatis otak saya akan mencerna bahwa kata ganti “-nya” yang disematkan pada kata "milik" itu adalah merujuk pada Faye, padahal sebenarnya itu merujuk pada Zaki yang memang gemar membuat sketsa. Sayangnya, cukup banyak gaya penulisan semacam itu dalam novel ini. Bagi saya pribadi, gaya penulisan tersebut cukup mengganggu. Typo pun masih bertebaran di sana-sini. Beberapa yang cukup mudah ditemukan adalah di bab-bab akhir menjelang ending, padahal di awal typo-nya tidak banyak.

Terkait dengan penamaan tokoh-tokohnya, Windry terkesan menyukai nama modern yang dibuat berornamen. Alih-alih menulis Dian, Windry lebih suka tokohnya disebut Diyan. Demikian pula dengan Niela dan Meilianie. Sudah menjadi penyakit dari jaman dulu kala, penulisan nama yang seperti itu memiliki peluang yang cukup besar untuk terpeleset (salah ketik). Dan, terjadi juga di novel ini, meskipun hanya sekali-dua kali kalau tidak salah. But, overall, saya suka novel ini.

Selamat membaca, kawan!

Saturday, October 15, 2011

Agenda Hari Ini: Siaran di Radio Pelita Kasih (RPK FM)


Ngomongin Metropop di Radio


Hari ini, pkl. 7 pagi, saya akan bersiaran tentang Metropop dan keikutsertaan saya di Festival Pembaca Indonesia 2011 yang diselenggarakan oleh Goodreads Indonesia pada 4 Desember 2011, di Plaza Arena, Pasar Festival, Kuningan, Jakarta.
Buat yang kebetulan dengerin radio, yukkk, berbagi pengalaman membaca novel-novel metropop dengan saya di sana. Eh, radionya apa? Radio Pelita Kasih di frekuensi 96,30 FM. Atau, kamu juga bisa dengerin streaming di sini: radiopelitakasih.com

Ngobrol yukkk...

Thursday, March 24, 2011

Book Event: Gramedia Big Sale 2011 - Gramedia Matraman


ada obralan lagiiii.....



Huwaaaaaaa....nyesek rasanya klo ada obralan seperti ini. Bayangkan, novel-novel keren cuman diobral jadi Rp10.000-an. #huhuhuhu. Padahal, saya membeli di harga normal ketika kali pertama terbit dulu...*jedotinpalaketembok*

Berikut ini adalah beberapa novel metropop yang ikut diobral di Gramedia Matraman (Jakarta). Bagi yang belum membeli dan membacanya, ayo, buruuuaaannnn diserbu...saya kurang tahu sampai kapan acara obralan ini akan digelar.







Alamat Gramedia Matraman:

[Jal] No. 46-50 Jalan Matraman Raya
Kelurahan Kebon Manggis, Matraman
Jakarta Timur 13150

Peta cek di sini [streetdirectory.com]

Monday, January 31, 2011

Book Event: Klub Buku Goodreads Indonesia


Klub Buku GRI 2011 - #1 Menjelajah Ranah 3 Warna (copy-paste from http://bacaituseru.blogspot.com)

Hai, kawan goodreaders Indonesia, tahun 2011 ini Klub Buku Goodreads Indonesia kembali menyelenggarakan diskusi buku.

Klub Buku GRI Februari 2011

Sebagian orang beranggapan bahwa kehidupan pesantren serupa kerangkeng yang memenjarakan kebebasan berekspresi dan mengekang keinginan menikmati pernik-pernik dunia. Segala pengaturan yang ketat, keseharian yang serba diawasi, dan rutinitas yang membosankan menjadi stigma yang begitu melekat pada anggapan mereka. Apakah benar begitu adanya?

A. Fuadi, melalui novel debutnya yang fenomenal Negeri 5 Menara, mengilustrasikan kehidupan pesantren dengan segala rupa dan warnanya berdasar pengalaman pribadinya sendiri. Enam karakter santri menjadi sarana mewujudkan ilustrasinya tersebut. Liku-liku persahabatan mereka yang berbalut pelbagai kisah suka dan duka, menghadirkan sajian yang penuh inspirasi dan hikmah. Citra pesantren menjadi demikian indah dan menyenangkan. Dari pesantren itulah, tokoh-tokohnya meraih mimpi dan berusaha mengubah takdir mereka.

Lalu, apa? Sampai di situ sajakah petualangan mereka? Tentu saja masih ada sederet pengalaman menakjubkan lain yang mereka alami, bukan? Tidak melulu semanis madu, sepahit empedu, atau sekecut asam jawa.

So, what…?

Klub Buku Goodreads Indonesia mengundang para pembaca Indonesia untuk mencari tahu petualangan-petualangan seru lainnya dari para sohibul menara pada:

Acara: Klub Buku GRI 2011 - #1 Menjelajah Ranah 3 Warna
Hari/Tanggal: Minggu/06 Februari 2011
Waktu: 14.00 - 16.00 WIB
Tempat: TM Bookstore
Depok Town Square, Lt. UG, Jalan Margonda Raya, Depok

Narasumber:
- A. Fuadi (Penulis novel Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna)

Moderator: Miss Anna Froggie
Penulis LPM: Rhe a.k.a. sha

Acara ini GRATIS. Selain dapat berbincang langsung dengan penulisnya, bagi kamu yang beruntung tersedia hadiah-hadiah menarik.

Resensi Novel: Wiwien Wintarto - Grasshopper (2011 - #2)


SM*SH!!!

Rating: 2,5 out of 5 stars



Judul: Grasshoper
Penulis: Wiwien Wintarto
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
Tebal: 312 hlm
Harga: Rp49.800
Terbit: Desember 2010
ISBN: 978-979-27-8804-4

Prita Paramitha (Prita) belum menetapkan hatinya untuk menjadikan bulu tangkis sebagai fokus utama dalam skema masa depannya, meskipun ia baru saja memenangi Kejuaraan Daerah Junior di kota kelahirannya. Bersama Delia Saraswati (Saras), sahabat sekaligus rival yang dikalahkannya dalam Kejurda tersebut, Prita mengalami petualangan misterius yang ‘memaksa’ mereka mengikuti kejuaraan Badminton Super Series di Yogyakarta. Hanya sepotong nama Subur yang menjadi clue untuk menebak siapa orang di balik pelbagai fasilitas yang didapatnya selama ini. Tapi, itu pun tak cukup menyejukkan hati Prita sebelum ia bertemu muka langsung dengan orang tersebut.

Sementara misteri Subur belum terkuak, di tengah-tengah konsentrasinya menjalani pertandingan demi pertandingan, Prita diliputi kebingungan akan percikan api asmara yang dipantik oleh dua cowok yang sangat memengaruhinya saat itu. Bagaimana Prita meng-handle virus merah jambu yang menyergapnya sehingga ia tetap concern pada setiap pertandingan yang dilakoninya? Apakah pada akhirnya Prita menemukan pemilik buku panduan bermain badminton yang membantunya memahami bulu tangkis secara lebih mendalam? Lalu, sampai kapan misteri Subur dan segala fasilitas serta motivasi yang diberikan pada Prita akan tetap tersamarkan? Temukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut beserta segala ketegangan dan kejutan pada sebuah pertandingan bulu tangkis yang menakjubkan dalam novel terbaru karya Wiwien Wintarto ini.

Bulu tangkis lebih menarik minat saya ketimbang bermacam olahraga lainnya. Sejak kecil, saya menikmati pertandingan tepok bulu itu ketika ditayangkan di televisi. Nama-nama besar pemain bulu tangkis, baik dari dalam maupun luar negeri, pernah begitu lekat dalam ingatan saya. Sejak belum punya televisi sendiri, saya sering berlama-lama bertamu ke rumah tetangga jika ada jadwal pertandingan bulu tangkis kelas dunia yang ditayangkan stasiun televisi lokal kala itu. Saya benar-benar jatuh hati setangah mati pada bulu tangkis. Keseharian saya pun tak luput dengan bermain bulu tangkis. Meskipun hanya dengan menggunakan raket seharga Rp2.500-an dan jaring pembatas (net) dari anyaman rafia, saya menikmati bertanding bersama teman-teman masa kecil saya. Salah satu kenangan terindah dari zaman saya masih ingusan.

Selain jaminan nama penulisnya, tema bulu tangkis yang diangkatnya menjadi penarik utama saya untuk segera membaca novel ini sejak kali pertama tahu bahwa novel ini akan beredar. Dan, yeahhhh, feel badminton-nya benar-benar terasa sejak lembar pembukanya. Saya seolah-olah sedang menyaksikan (mendengarkan) siaran langsung sebuah pertandingan bulu tangkis. Bahkan, terkadang ikut deg-degan menantikan hasil akhirnya. Namun, kesengajaan penulis yang merangkai kisahnya dengan gaya cersil (cerita silat) sedikit banyak mengganggu kenikmatan saya melumat kisah perjuangan si grasshopper (belalang sembah) ini. Entahlah, dari awal saya berharap mendapatkan sajian pertandingan bulu tangkis biasa sebagaimana lumrahnya yang pernah saya tonton (atau dengar). Sedangkan, dalam novel ini, kisah menjadi sedikit lebih tidak masuk akal, kental nuansa silatnya, dan bahkan beberapa bagiannya cukup dijelaskan dalam satu kata, “ajaib”. Tak ayal, saya pun jadi ingat film Shaolin Soccer-nya Stephen Chow yang memadukan sepakbola dengan kung fu. Menarik tapi kurang logis, sehingga bagi saya pribadi yang berfantasi soal keindahan alami bulu tangkis tidak mendapatkannya.

Dari plotnya sendiri cukup menarik meskipun uhuk*kok-agak-sinetron-ya?*uhuk. Perjuangan from zero to hero-nya dibumbui taburan segala macam hal misterius yang sayangnya terlalu gamblang dibeberkan jawabannya sehingga kesan misteriusnya itu menjadi…hmm, agak hambar. Coba kalau misterinya itu dibuat terbongkar sedikit demi sedikit bukannya ujug-ujug ada orang yang cerita dari A-Z dalam waktu satu jam dan seluruh misteri itu, duarrr…terpecahkan. Terlalu biasa jadinya. Kurang njelimet. Yah, meskipun, dari segi genre tidak dimaksudkan untuk njelimet juga sih. Tapi, kalau ada potensi ke arah sana, why not, kan? Saya melihat, sebenarnya novel ini memiliki potensi untuk menjadi lebih menarik lagi.

Yang saya suka justru sisi cinta-cintaan yang ada di novel ini. Dengan porsi yang cukup, nuansa merah jambu ini menghadirkan konflik yang memadai untuk memperkuat sebuah kisah perjuangan yang ujungnya hanya terdiri atas dua pilihan, menang atau kalah (atau juga dapat dibuat seri/draw, biar terkesan happy ending). Walaupun hanya sekadar kisah cinta segitiga biasa namun penulis berhasil mengemasnya secara menggemaskan, dan tentu saja, dengan porsi yang tidak berlebihan sehingga latar bulu tangkisnya tetap terjaga intensitasnya.

Dari segi teknis cetakan, novel ini masih memiliki banyak kelemahan. Yang paling terlihat tentu saja inkonsistensi penulisan istilah-istilah asing-nya, terkadang dicetak miring dan terkadang tidak. Covernya not bad-lah. Jenis dan ukuran font, serta margin halaman cukup, tidak mengganggu ketika dibaca. Sedangkan beberapa kesalahan cetak masih ada, beberapa di antaranya:
(hlm. 3) = modelling, (hlm. 8, 119) = modeling, dua-duanya tidak ada yang dicetak miring, bisa dianggap kata serapan atau istilah asing, hanya sayangnya inkonsistensi dalam penggunaannya.
(hlm. 96) Darius Sinarthya ….saya iseng mengetikkan nama tersebut di Google dan yang nongol: Darius Sinathrya
(hlm. 257) merried = married?
(hlm. 286) set pertamai…..= pertama
(hlm. 298, sekadar konfirmasi nggak penting) ikut unas = ujian nasional? Oh, sekarang singkatannya itu unas, bukan lagi UAN/UN?

Pada akhirnya, saya memang bingung harus menentukan untuk menyukai atau tidak menyukai novel ini, karena pada sebagiannya saya puas dan pada sebagian yang lain tidak. Maka, saya memilih zona aman, memberikan penilaian di tengah-tengah. Sudah jelas, saya menyukai bagaimana penulis memainkan peran menggoyang-goyang imajinasi dengan alur dan konflik yang beragam, namun saya juga agak kurang puas dengan beberapa titik eksekusi yang dipilihnya. Dan, maaf, kali ini saya tidak begitu menyukai unsur ‘jayus’ yang menyelusup lewat kalimat serta dialog para tokohnya. Harus saya akui, saya adalah penganut paham ‘bedakan kalimat tulisan dan kalimat lisan’ jadi ketika penulis memutuskan untuk me’lisan’kan kalimat yang seharusnya bernapas ‘kalimat tulisan’ saya menjadi agak kurang menikmati (yang ini benar-benar karena unsur subjektivitas).

Okay, selamat membaca teman!

Saturday, January 22, 2011

Resensi Novel Teenlit: Bali to Remember by Erlin Cahyadi (2011 - #1)


Sorry, but I refuse to remember anything from this book

Rating: 1 out 5 stars



Judul: Bali to Remember
Penulis: Erlin Cahyadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 224 hlm
Harga: Rp30.000
Terbit: Desember 2010
ISBN: 978-979-22-6444-9

Kira serasa mendapat durian runtuh ketika secara tak terduga ia terpilih untuk tampil sebagai host dalam sebuah acara reality show bertema jalan-jalan. Celakanya, ia harus ditemani oleh Dean, aktor muda yang sedang naik daun di dunia pertelevisian dalam negeri. Sejak kali pertama bersua, Kira telah mengibarkan bendera perang karena sebuah insiden yang membuatnya mencap Dean sebagai seorang yang arogan. Maka, betapa tersiksanya ia harus selalu berdua-duaan dengan cowok itu. Untung saja ada Andros, cowok cute yang telah menawan hatinya sejak cowok itu mengarahkan moncong kamera ke wajahnya, di rumahnya.

Maka, dimulailah petualangan yang penuh dengan beragam rasa yang melibatkan tiga hati di Bali yang super romantis. Bagaimana Kira mendamaikan hati dan perasaannya sehingga dapat menentukan pilihannya untuk melabuhkan cintanya pada Dean ataukah Andros. Simak perjalanan penuh kejutan Kira dalam novel kedua karya Erlin Cahyadi ini.
Harus saya akui, Erlin memiliki kemampuan yang cukup memadai untuk merangkai kata menjadi kalimat yang mengalir lancar serta pilihan diksi yang bagus. Dari waktu ke waktu, perjalanan Kira-Dean-Andros terekam manis dibumbui pelbagai rempah sehingga tersaji hidangan konflik yang mengaduk-aduk emosi. Latar belakang keindahan Bali pada beberapa bagian diulas secara lengkap, memberikan nilai lebih pada novel ini. Bagi saya yang belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di pulau dewata tersebut, hikzzz…malangnya nasibku, ulasan tentang Bali itu memberikan sedikit gambaran dan suntikan motivasi untuk segera bisa terbang dan mendarat di Bali.

Sayang, tema yang dipilih Erlin untuk ditulisnya sangat jauh dari original. Terlalu klise, terlalu mudah ditebak, dan terlalu biasa. Pada mulanya saya terhanyut pada adegan cat and dog yang tercipta antara Kira dan Dean, apalagi ditambah kehadiran Andros yang membuat konflik makin menajam. Too bad, adegan itu kemudian seperti tak pernah berakhir. Mereka terus saja bertengkar, lalu berbaikan, lalu bertengkar lagi, begitu terus sampai saya berhenti menikmatinya dan berharap semuanya segera selesai. Saya begitu capek membaca makian demi makian, sindiran demi sindiran, beserta aura negatif yang bertaburan di setiap situasi. Maka, saya pun terpaksa skip halaman. Inginnya saya berhenti baca dan langsung melempar novel ini ke kotak buku-telah-dibaca tapi kan nggak mungkin, lha wong saya belum selesai membacanya tho? Maka, saya paksakan diri untuk menuntaskan membacanya. Dan, thank GOD, akhirnya kelar juga. Meskipun, sekali lagi, dengan melompati banyak sekali halaman.

Agak disesalkan memang bahwa kepiawaian memilih diksi yang dimiliki Erlin tidak dibarengi dengan cerita yang kuat. Plot yang babak belur karena konflik yang tidak berkembang meskipun didukung karakter yang lumayan. Bahkan, secara mengejutkan, saya menyukai beberapa dialog yang ada di novel ini. Maka, maafkan saya jika hanya itu yang saya ingat dari novel ini. Tentu saja saya ingat Bali, tapi lebih karena saya sudah sejak dari zaman putih abu-abu dulu ingin sekali berkunjung ke sana, bukan karena membaca novel ini.

P.S.: saya bahkan tidak berselera mencari typo di novel ini, LOL!

Sinopsis:
"Berat lo berapa sih? Bikin oleng aja!" kata Dean keras, mencoba mengalahkan deru mesin jetski yang dinaikinya.
"Lo bilang gue berat? Ngaca dulu dong! Lo tuh yang gendut! Kasian juga ya lo, selebriti terkenal tapi nggak punya cermin di rumah!" balas Kira nggak mau kalah.
"Kalau lo ngomong yang nggak penting kayak gini, gue ceburin lo ke laut!"
"Berani lo? Gue nggak takut!"

Gara-gara terpilih jadi host acara jalan-jalan bersama artis, hidup Kira jadi jungkir balik kayak jet coaster. Apalagi artisnya Dean Christian.
Buat Kira, Dean itu kesialan terbesar di sepanjang hidupnya. Dean emang artis, tapi nyebelinnya minta ampun. Dean juga cakep, tapi kasarnya juga ampun-ampunan. Singkat kata, nggak mungkin deh Kira bisa baik atau bahkan suka sama cowok kayak Dean.

Tapi... kalau selama seminggu full Kira jalan-jalan bareng Dean, di Bali pula, apa mungkin perasaan itu nggak bakal berubah? Apalagi waktu Dean tiba-tiba melakukan hal-hal ajaib yang nggak pernah Kira bayangkan sebelumnya..