Saturday, June 5, 2010

(2010 - 11) Resensi Novel Teenlit: Charon - 7 Hari Menembus Waktu


Haruskah saya ikut bilang, “harap maklum”?

Marissa kesal sekali ketika harus ikut ayahnya ke Gedung Albratoss. Itu artinya dia akan bertemu Michel, mantan pacarnya. Dan itu berarti, dia juga akan bertemu Selina, musuh bebuyutannya, yang telah merebut Michel dari sisinya.
Merasa frustrasi oleh situasi, tak sadar Marissa menangis di depan sebuah lukisan, dan bergumam seandainya saja ia bisa menghilang.

Dan ia betul-betul menghilang... terlempar ke masa 20 tahun yang lalu, saat ia belum lahir, saat orangtuanya pun masih belum berpacaran...

Bersama Wiliam, anak kecil yang ditemuinya di masa lalu, ia mengalami hal-hal yang lucu dan menyenangkan di masa lalu, hal-hal yang akan mengubah kehidupan Marissa dan Wiliam di masa depan...

Judul: 7 Hari Menembus Waktu
Pengarang: Charon
Penyunting: .... (Ike)
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Genre: Teenlit
Tebal: 176 hlm
Harga: Rp25.000 (Toko)
Rilis: Maret 2010
ISBN: 978-979-22-5518-8
My rating: 1 out of 5 star

Marissa secara tak sengaja terlempar ke masa dua puluh tahun ke belakang saat mengumpat di depan sebuah lukisan ‘ajaib’ yang terpajang di gedung tempat penyelenggaraan pesta yang tak dikehendakinya untuk dihadiri. Dari tahun 2008 Marissa terperangkap di tahun 1988 ketika kedua orangtuanya belum bersepakat menjalin hubungan. Di tahun itu, ia bertemu dengan Wiliam, seorang anak yatim-piatu kaya yang bersifat dingin dan tertutup.

Berdasarkan simpulannya, ia baru bisa kembali ke masanya 7 hari dari hari itu, ketika lukisan ajaib itu untuk kali pertama dipajang. Sembari menunggu waktu tersebut, Marissa berpetualang bersama Wiliam. Dan, rekaman 7 hari petualangan Marissa bersama Wiliam itulah yang menjadi inti keseluruhan teenlit ini.

Permakluman adalah satu bentuk pengingkaran terhadap sesuatu dengan mengesampingkan pemenuhan kriteria demi pengakuan terhadapnya. Dan, mungkin saja, saya juga diingatkan untuk mempersembahkan “harap maklum” ketika membaca (dan meresensi) novel teenlit terbaru karya Charon ini. Ya maklum donk, ini kan teenlit, dan kau bukanlah target yang disasar novel ini jadi jangan menilai seenak jidatmu, teriak ‘suara-di-salah-satu-sisi-kuping’ saya yang mempermaklumkan keberadaan novel ini. Tapi, lagi-lagi saya bersembunyi di balik kata “hak saya” untuk tak mengindahkan imbauan permakluman tersebut.

Ide ceritanya memang cemerlang, harus saya akui itu. Segar dan menghibur. Namun sayang, gaya penyampaiannya agak kurang oke, menurut selera saya. Lagi-lagi saya dibuat muak dengan tokoh yang tidak semestinya. Imagining, umur 18 tahun, masih suka lelet-leletin lidah, ya ampun. TK banget sih. Tak cukup begitu, sebagai produk Jakarta di tahun 2008, saya tidak menemukan sentuhan modern dari seorang cewek masa kini pada diri Marissa. Bahkan, ketika ia terlempar ke situasi jadul, ia bisa nge-blend (beradaptasi) dengan begitu mudahnya. Ia hanya kagok pada jenis makanan dan permainan yang berbeda antara masa itu dan masanya di 2008. Harusnya dibuat agak sedikit gegar budaya untuk merasionalkan cerita.

Oke, berikut list kejanggalan yang saya temukan di teenlit ini:

(hlm: 23) tanpa sebab, kenapa Wiliam memanggil Marissa kakak padahal di awal jumpa Wiliam cukup memanggil namanya saja, hal tersebut membuat karakter Wiliam yang dingin menjadi agak meleleh tidak pada waktu yang tepat.

(hlm: 35) harusnya halaman ini berkaitan dengan halaman 10, soal pencantuman tanggal 6 Juli 1988, nyatanya tidak ada keterangan tanggal itu di halaman 10, justru di halaman 13 tanggal itu baru tercantum.

(hlm: 37) dua tahun yang lalu, ketika Marissa sembunyi-sembunyi memakai kosmetik, Mami marah besar. Sekarang, ternyata Mami…kata dua tahun lalu dan sekarang agak kurang pas digunakan, karena rujukan waktunya di masa lalu. Lebih baik jika diganti, “padahal waktu mudanya/masa kuliahnya Mami…(hanya usulan).

Bandingkan ini, apakah ada yang janggal (hlm: 34) dengan seribu rupiah, kau bisa membayar bensin motor selama seminggu. (hlm: 41) dua mangkuk mie bakso hanya 500 rupiah. 1000=4 mangkuk bakso=seminggu bensin? Benarkah? Akuratkah data ini?

(hlm: 47) harusnya Jimmy tertulis Jummy.

(hlm: 48) harusnya Wiliam tertulis William.

(hlm: 59) harusnya menyadari tertulis meyadari.

Logika menjadi terlupa ataukah sengaja dipercepat ketika Marissa yang tidak punya uang (dan menjadi punya uang dengan minta ke Wiliam, hlm: 34) mendadak bisa membayar makanan (hlm: 60 dan 78) tanpa meminta uang lagi pada Wiliam? Termasuk ketika Marissa memaksa belanja ke pasar tanpa minta uang pada siapapun (hlm: 93).

(hlm: 63) harusnya di tangannya tertulis di Tangannya.

Kembali logika menjadi pecah ketika dinyatakan Ferry-Diana sudah berteman lama (hlm: 80) tapi Ferry yang gugup menelepon Diana beralasan takut Diana tidak mengenalinya (hlm: 76) padahal di awal (hlm: 39) Ferry terlihat hanya menjadi sasaran cela Diana. Agak rancu mendeskripsikan kompleksitas hubungan Ferry-Diana ini.

Yang ini juga membingungkan (hlm: 148) …dari atas dan jendela kamarnya, Diana melihat Ferry memandangnya dengan putus asa. Kalimat awalnya ambigu, susah dimengerti.

Secara keseluruhan teenlit ini membosankan sekali. Untung saja, sekali lagi, ide ceritanya segar sehingga saya masih tertarik menghabiskannya hingga lembar halaman pamungkasnya. Namun, sumpah, gaya mendongengnya kaku banget, saya sampai geregetan. Kalau boleh membandingkan buku ini serupa namun berkebalikan dengan novel Pillow Talk-nya Christian Simamora. Serupa, karena saya sukar membedakan mana bahasa tulisan dan mana bahasa lisan pada keduanya. Sedangkan berkebalikan, maksudnya, kalau di Pillow Talk yang lebih terasa adalah bahasa lisan-nya maka di teenlit ini sebaliknya, bahasa tulis-nya lah yang lebih menonjol. Bahkan untuk kalimat percakapannya (dialog) sekalipun, kaku banget. Ugh

(2010 - 10) Resensi Novel Chicklit Islami: Riawani Elyta dan Rika Y. Sari - Tarapuccino


Toko Roti Penuh Intrik.
Bagus tapi Inkonsisten.


Rating: 2 dari 5 bintang



Judul: Tarapuccino
Pengarang: Riawani Elyta dan Rika Y. Sari
Editor: Saptorini, S.S
Desain sampul: Andi Rasydan
Setting: Udien Nur Che'
Penerbit: Afra Publishing (Kelompok Indiva Media Kreasi)
Tebal: 248 hlm
Harga: Rp26.000
Rilis: Oktober 2009 (Cet. 1)
ISBN: 978-602-8277-15-0

Tara dan Raffi adalah dua bersepupu yang mempunyai passion yang sama untuk membuka usaha bakery di kawasan Batam yang dipatenkan dengan nama Bread Time. Mereka merintis dari awal hingga usaha tersebut berkembang pesat dan menjadi salah satu toko bakery kenamaan di wilayah tersebut. Terdorong semangat untuk lebih maju, keduanya merekrut Hazel yang bertugas menangani segala pernik publikasi sebagai media promosi Bread Time.

Sejak bergabungnya Hazel, intrik demi intrik mulai mewarnai hari-hari Bread Time. Mulai dari ditemukannya indikasi bahwa pasokan material yang menjadi bahan baku produksi ditengarai berlabel haram sehingga berujung pada pemutusan kerjasama secara sepihak dengan rekanan, sabotase mobil pengiriman furniture pesanan kantor, hingga kasus keracunan makanan yang di-blow up media. Konflik demi konflik misterius tersebut selanjutnya menyulut bara dalam sekam persahabatan Tara-Raffi-Hazel. Sikap saling curiga dan tuduh-menuduh berkhianat siap menghancurkan bukit kepercayaan yang telah tercipta di antara mereka.

Judul novel ini mengingatkan saya pada novel chicklit fenomenal karya Nisha “Icha” Rahmanti, Cintapuccino, terkait unsur puccino yang menyambungkan kata pertamanya. Dari segi judul, sampai tuntas membaca saya tidak bisa menangkap maksudnya apa selain bahwa Tara adalah salah satu tokoh sentral dan (cinnamon) cappucino (btw, kata wikipedia yang benar menulisnya adalah double p dan double c: cappuccino, baru tahu) merupakan salah satu sajian istimewa dari Bread Time. Lagipula judul tersebut ditulis Tarapuccino (dengan dua c) bukan Tarappuccino (dengan dua p dan dua c). Tanya kenapa? Secara filosofis saya tak dapat merangkumnya dari keseluruhan lembarannya. Saya memang lagi dodol!

Terkhusus, saya suka pada selipan-selipan unsur tindak-tanduk Islami pada tokoh-tokohnya, terutama pada singgungan soal say no to pacarannya dan pengenalan pada proses taaruf, meskipun tidak sampai mendalam. Namun, sayang sekali, selipan tersebut terasa janggal ketika tokoh Tara yang suatu ketika digambarkan begitu sangat muslimah, ternyata “sempat-jelalatan” menatap dan mengagumi salah satu tokoh laki-lakinya. Wajar sih, sebagai seorang perempuan hetero yang dikurniai nafsu, ketertarikan (fantasi) pada lawan jenis bisa saja terjadi. Hanya saja, bagi saya itu agak bertolak belakang dengan part lain dimana si tokoh perempuan ini beretika lebih hati-hati.

Novel ini dibuka dengan adegan misterius yang cukup menjanjikan dan nuansa itu terus dibangun hingga akhir dengan intrik-intrik menarik seputar bisnis roti dan kue. Konflik susul menyusul pada waktu yang tepat meskipun tahapan timbulnya masalah dan pemecahannya tidak semengagumkan karya-karya Agatha Christie atau Dan Brown. Tetapi cukuplah untuk bisa menciptakan suasana tegang di waktu-waktu tertentu dan keinginan untuk berspekulasi mengenai kejadian demi kejadian yang dirangkai oleh kedua penulis.

Sebagai sebuah hasil kerjasama dari dua penulis, novel ini hampir bisa menyatu meskipun secara tersurat saya merasakan sentuhan yang berbeda yang cukup jelas untuk menandai mana tulisan Riawani dan mana tulisan Rika (walaupun saya tak dapat menebaknya, karena novel ini adalah novel pertama dari masing-masing mereka yang saya baca sehingga belum bisa memetakan kekhasan secara pribadi). Adalah kata “secara” (hlm: 36, 129) yang menurut saya tidak disepakati oleh dua penulis ini sehingga manimbulkan keyakinan bahwa persekutuan dua penulis ini masih perlu untuk dikuatkan lagi.

Isi cerita, tebaran konflik, dan ending-nya cukup memuaskan. Sayang sekali, kualitas cerita tersebut tidak dibarengi dengan kualitas teknik percetakannya. Entah karena lalai atau sengaja disesuaikan dengan kondisi asli kota Batam, novel ini berusaha keras meleburkan kosakata bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, yang nyatanya menjadi bumerang karena banyaknya inkonsistensi penulisannya (kadang miring, kadang tidak). Termasuk pula pada beberapa kata tertentu penulis menggunakan padanan kata Indonesia-nya ketimbang bahasa aslinya atau sebaliknya. Misalnya, alih-alih menggunakan kata “screen handphone” penulis lebih memilih “skrin handphone” (hlm: 169) dan kata “pintu depan” dibanding kata “front door” (hal: 183). Khusus frasa front door ini penulis menggunakannya dengan “front door bakery” yang kurang pas. Bukankah seharusnya ditulis bakery’s front door? (Jujur, kemampuan bahasa Inggris saya masih kacau). Bagi saya, usaha mencampur dua bahasa ini kurang efektif (dan efisien) dan terbaca hanya sebagai upaya penulis agar novel ini terlihat modern dan bergaya (penilaian subjektif saya).

Saya juga agak terganggu dengan banyaknya kata yang diberikan tanda petik tunggal untuk memberi tekanan pada kata tersebut (beberapa tidak masalah, terlampau sering membosankan) dan komitmen penulis yang menggunakan kata ganti orang ketiga (ia, dia) pada awal bab/paragraf meskipun sejatinya aktor/aktris yang bermain sudah jelas (telah diperkenalkan di depan).

Bab 5, halaman 39
Ia datang agak kesiangan pagi ini. Hm, kacanya sudah diganti dengan yang lebih bening, sesuai dengan keinginan gadis itu tempo hari, gumamnya dalam hati. Dengan kaca yang…dan seterusnya.

Bab 7, halaman 51
Tinggal selangkah lagi dari depan pintu ruko, ia berhenti sejenak. Untuk sekadar menarik napas dalam-dalam dan meredakan gelisah yang mulai berdentum. Karena dalam jarak beberapa langkah lagi ia harus menghadapi sesuatu…dan seterusnya.

Saya hanya penasaran, mengapa masih harus menggunakan kata ganti “ia” jika tokoh yang beradegan sudah jelas (Diaz) dan tak lagi memerlukan space untuk deskripsi karakter. Dan, contoh seperti ini ada di beberapa tempat. Inilah yang saya sebut sebagai kekurangefektif-efisienan.

Kunci utama dari buraian beragam konflik dalam novel ini sejatinya ada pada tokoh Hazel dan Diaz. Awalnya saya sempat kebingungan dengan dua tokoh tersebut, namun seiring halaman demi halaman saya tuntaskan semakin benderanglah siapa mereka. Dan jujur, saya kurang sreg dengan teknik penulis untuk mengaburkan tokoh tersebut. Agak mengada-ada saja dengan penggunaan sudut pandang orang ketiga jika tokoh tersebut diberi “nyawa” dengan teknik seperti itu. Alasan saya membingungkan? Iya, mohon maaf, saya tidak bisa membuatnya lebih terang lagi karena saya menangkap justru kehidupan tokoh Hazel dan Diaz ini yang menjadi mantra penjaga agar novel ini terasa misterius, kalau saya bongkar berarti itu spoiler dan novel ini menjadi kehilangan sisi misteriusnya. Maka, untuk mengetahui siapakah Hazel dan Diaz, silakan comot novel ini dari toko buku dan mulai membacanya. Dan, tentu saja, untuk mengetahui pula pada siapakah Tara akhirnya melabuhkan bahtera cintanya, Raffi atau Hazel?

Beberapa hal janggal yang seharusnya tertangkap pada proses editing:

(hlm: 16) …dengan intonasi yang tak kalah firmnya, sedikit pun tak bergeming. Harusnya tidak perlu ditambahkan kata tak sebelum kata bergeming. Yang lucu, pada halaman 133, penggunaan kata ini benar. Inkonsistensi.

(hlm: 20) …launching bulletin. Lagi dan lagi, masalah konsistensi. Pertanyaan: mengapa pada halaman yang sama kata ini digunakan dalam bahasa Inggris sekaligus bahasa Indonesia secara berbarengan? Opini: variasi diksi yang kurang oke.

(hlm: 41) …came corder. Apa ini, apakah maksudnya camcorder (video camera recorder)?

Gigabyte (hlm: 61), display (hlm: 91), Home (hlm: 92), shift (hlm: 83, 111), dan masih banyak lagi yang lain. Harusnya dicetak miring?

(hlm: 70-71) korsvet ditulis dengan dua tampilan berbeda, miring dan tidak. Lagi-lagi masalah inkonsistensi.

(hlm: 89) …ice green tea atau iced green tea. Inkonsisten.

(hlm: 138) IP Adress. Harusnya IP Address.

(hlm: 216) di dapatnya harusnya digabung, didapatnya. Dimata harusnya dipisah, di mata.

Kata yang paling sering inkonsisten: cappuccino (kadang miring, kadang tidak)

Overused: penggambaran karakter Tara yang langsing (gadis langsing tersebut..bla..bla..bla), Hazel yang jangkung (sosok jangkung tersebut…bla…bla…bla…). Apa tidak bisa mencari citra diri lain untuk menjelaskan dua tokoh tersebut?

Sinopsis (dari blog resmi Riawani Elyta)
Bread Time, sebuah bakery di Kota Batam yang dikelola dua pengusaha muda Tara dan Raffi yang masih terikat hubungan keluarga. Disaat Bread Time semakin berkembang, Hazel, seorang pemuda yang ahli dalam pengerjaan grafis bergabung dalam usaha bakery tersebut. Latar belakangnya yang misterius ditambah lagi sebuah kekacauan yang nyaris menghancurkan nama baik Bread Time yang susah payah dibangun Raffi dan Tara, mengarahkan kecurigaan Raffi pada keterlibatan Hazel yang akhirnya membuat pria misterius itu harus terdepak dari Bread Time.

Sebuah tragedi dan rahasia masa lalu, perlahan menyeruak dan secara pelan-pelan menemukan jejak kebenaran dan benang merah dengan semua yang dialami dan terpaksa harus dijalani Hazel selama bertahun-tahun. Jejak kebenaran yang membuka wajah aslinya sebagai seorang mahasiswa drop out dan mantan aktivis rohis di masa lalu bernama Ahmadiaz Syah Reza.

Namun ia justru dihadapkan pada situasi sulit – terbelit oleh hutang yang terus berbunga membuatnya terpaksa terlibat dalam sindikat illegal trading – yang tragisnya pula, telah menggiringnya pada suatu kecelakaan maut. Kecelakaan ini jua yang menjadi titik terungkapnya sebuah rahasia lain tentang keterikatan yang pernah nyaris terjalin antara dirinya dan Tara di masa lalu, tanpa pernah disadari oleh keduanya. Namun raibnya sosok Hazel tak mengurangi porsi pria itu yang telah menorehkan tempat tersendiri di hati Tara.

Tahun yang terus bergulir, telah menggiring Bread Time menjadi salah satu ikon kesuksesan kuliner di Batam. Saat yang bersamaan, pernikahan Tara dan Raffi telah di depan mata. Namun sebuah liburan akhir tahun telah menyeret Tara pada perjumpaan tak terduganya dengan sosok pria – satu-satunya pria – yang pernah menempati ruang hatinya secara utuh

Kisah fiksi yang berlatar belakang pada fenomena lokal khas daerah perbatasan, yaitu tindak kriminal yang berhubungan dengan illegal trading dan luasnya keran impor penyelundupan melalui jalur perdagangan tak resmi, juga budaya masyarakatnya yang sangat heterogen sehingga mengaburkan nilai-nilai kearifan lokal.

Sebuah novel yang mencoba bertutur dengan cara mengolaborasikan unsur thriller, entrepreneurship, romantisme, cyber crime dan humanis dengan tetap berpijak pada koridor Islam yang santun. Dilatarbelakangi issue illegal trading, penyelundupan, juga maraknya akan kasus penggunaan lemak haram dalam pencampuran bahan makanan.

Telah beredar di toko-toko buku nasional atau hub. marketing Indiva : 081329768314)


-------------------------------------------------------------------------

tambahan info bagi pecinta kopi (me)

A cappuccino is an Italian coffee drink prepared with espresso, hot milk, and steamed-milk foam.

The name cappuccino comes from the Capuchin friars, possibly referring to the colour of their habits or to the aspect of their tonsured (white) heads, surrounded by a ring of brown hair.

A cappuccino is traditionally served in a porcelain cup, which has far better heat-retention characteristics than glass or paper. The foam on top of the cappuccino acts as an insulator and helps retain the heat of the liquid, allowing it to stay hot longer. The foam may optionally have powder (commonly cocoa, cinnamon or nutmeg) sprinkled on top.

source: wikipedia