Monday, October 27, 2008

Resensi Novel Islami: tere liye - Bidadari-bidadari Surga


Janji Bidadari Surga...

Bidadari-Bidadari Surga bercerita tentang pengorbanan seorang kakak (Laisa) untuk adik-adiknya (Dalimunte, Ikanuri, Wibisana dan Yashinta) di Lembah Lahambay agar adik-adiknya dapat melanjutkan pendidikan mereka, meski ia harus bekerja di terik matahari setiap hari, mengolah gula aren setiap jam 4 pagi serta dimalam hari menganyam rotan, meski pada dasarnya keempat adik-adiknya tersebut berasal dari darah yang berbeda dengan dirinya.

Satu sisi Laisa digambarkan sebagai kakak yang galak dan tegas, mengejar-ngejar adiknya yang bolos sekolah dengan rotan dan ranting kayu. Di sisi lain, kontradiktif dengan fisiknya yang gempal, gendut, berkulit hitam, wajah yang tidak proporsional ditambah dengan rambut gimbal serta ukuran tubuhnya yang tidak normal, lebih pendek, Laisa sesungguhnya tipe kakak yang mendukung adik-adiknya, rela mengorbankan diri untuk keselamatan ‘dua anak nakal’ Ikanuri dan Wibisana dari siluman Gunung Kendeng, serta mati-matian mencari obat bagi kesembuhan adiknya Yashinta yang diserang demam panas hingga kejang pada suatu malam.
Judul: Bidadari-bidadari Surga
Pengarang: tere-liye
Penerbit: Republika
Genre: Roman, Keluarga, Islami
Tebal: vi+368 halaman
Harga (Toko): Rp47.500
Rilis: Juni 2008 (Cetakan Kedua)

Saya mengenal, maksudnya tahu dan baca karyanya (bukan bertemu muka dan bejabat tangan langsung), tere-liye ketika genre Metropop baru dirintis oleh Gramedia, lewat sebuah novel metropop bergaya laki-laki, The Gogons. Tidak terlalu mengesankan, namun nuansa macho-nya memberikan kesegaran tersendiri di tengah lautan metropop yang lebih bercita rasa perempuan. Selanjutnya, saya tak lagi menyimak sepak terjangnya dalam dunia kepenulisan, selain hanya beberapa kali mendengar namanya disebut karena dua novel islami-nya masuk kategori best seller dan menuai banyak pujian, Hafalan Shalat Delisa dan Moga Bunda Disayang Allah.

Bidadari-bidadari Surga (B2S)-nya menarik perhatian saya ketika tidak ada novel Metropop terbaru yang menyandera minat saya (membaca dan membeli). Awalnya saya ragu, sebab testimonial ‘berlebihan’ yang ada di cover belakangnya. Entahlah, saya masih selalu menganggap testimonial begitu hanya ‘iklan-sampah’ yang kadang menjebak dan men’curang’i pembaca (yang membeli), karena umumnya testimonial begitu hanya berisi pujian selangit. Sedangkan, satu rinsip sudah pasti, segala buatan manusia tidak ada yang sempurna, cacat pasti selalu ada Untunglah, sebagian testimonial tersebut benar adanya.

Astaga. B2S sukses membuat air menderas dari kedua pelupuk mata saya bahkan sejak dari bagian awal. Setangah malu saya dibuatnya. Betapa tidak, saya yang gemar menenteng buku kemana-mana dan membacanya dalam suasana bagaimanapun juga, berulang harus buka-tutup dan pura-pura melihat sesuatu ke arah lain untuk menghindari tatapan ‘ada-apa?’ dari orang-orang yang melihat saya berkaca-kaca. Malu, tapi tak bisa berhenti.

Saya acungkan jempol atas jerih payah tere-liye menghidupkan karakter kunci menjadi sosok yang demikian luar biasa menyentuh namun tetap manusiawi. Selain dari sudut fisik yang masih gagal saya wujudkan, tokoh yang diciptakannya tersebut dengan mudah dapat divisualisasi dalam keseharian. Kisah epik dramatik dari area domestik rumah tangga begini sejatinya demikian mudah dapat ditemukan dalam kehidupan kita.

Setelah Laskar Pelangi, saya kira B2S-lah yang dapat secara natural mengangkat sebuah kisah perjuangan dahsyat dari kampung di daerah pedalaman, yang bahkan sebelumnya tidak ada listrik, menjejak tangga kesuksesan dalam pelbagai bidang, melalui jalur paling lazim yaitu pendidikan. Ada profesor yang melakukan penelitian untuk membuktikan soal kemungkinan bulan pernah terbelah, ada dua orang yang sangat ambisius dan mumpuni di bidang utak-atik otomotif yang berencana men-suplai spare part khusus mobil balap, ada pula peneliti biologi perempuan yang sedang bercengkerama dengan spesies alap-alap kawah (peregrin). Meskipun awalnya saya pesimis, runtut peristiwa yang disajikan novel bernuansa hijau ini cukup meyakinkan saya bahwa semuanya mungkin. Nothing is impossible, right?

Jalinan cerita, cara bertutur, tema, plot, setting, gaya flash back mixed by present (maju mundur)-nya sangat bagus dan kuat, penokohan, semuanya membuat saya jatuh cinta. Apalagi, sentilan ending yang tidak terduga (…loh kok gini?) membuat B2S ini begitu istimewa.

Namun, tiada gading yang tak retak. Tiada pula (buatan manusia) yang sempurna. Novel ini juga menyimpan beberapa kejanggalan yang menurut saya sedikit banyak mengganggu keliaran imajinasi saya yang kadung mabuk kepayang dengan pesona yang dimiliki novel ini. Pertama dan utama, ya ampuuuuuuuuuuuun Republika geto… loh, nyang nopel Ayat-ayat Cinta-nya Kang Abik katenye mega-bestseller-Asia kok ya masih sempet-sempetnya salah ngedit (ngetik) ya? Plis deh!

Sedangkan dari segi cerita, saya masih kurang menangkap esensi dari beberapa cerita yang agak ghoib (kalau tidak mau dibilang mistis atau takhayul) misalnya adegan ketika kakak-beradik Lembah Lahambay yang hampir dimangsa harimau penguasa Gunung Kendeng tapi tidak jadi, atau cerita soal adanya semacam sinar yang digambarkan sbagai ‘perwujudan’ karakter kunci ketika membangunkan adik bungsunya yang pingsan di areal Semeru. Bagaimana ya, susah saya menerimanya meskipun embel-embel ‘atas ijin Allah’ (kalau tidak salah sih) disertakan.

Kelemahan yang lain adalah peletakan cara memanggil karakter kunci yang kadang dipanggil Kak, kadang dipanggil Wak, di beberapa tempat agak berantakan. Kurang cocok, lebih tepatnya. Termasuk pula, ketidakkonsistenan dalam pengetikan, kadang istilah tak lazim dibuat miring tapi di tempat lain dibuat biasa. Oh iya, motto Safe The Planet itu benar, ya? Apa bukan, Save The Planet? Saya menafsir kira-kira dalam bahasa Indonesia artinya, Selamatkan Planet (Bumi), bukan? Ini, saya coba ketikkan kata 'safe the planet' pada google dan yang keluar adalah ini:

Terlepas dari beberapa kelemahan tersebut, saya sungguh dibuat haru biru oleh novel ini. Dan, benar sekali, novel ini cocok dipersembahkan kepada ibu, saudari perempuan, atau siapa saja (yang perempuan) ataupun lelaki (sebagai perenungan) karena novel ini benar-benar menggugah. B2S juga cukup ‘megah’ jika diangkat ke layar lebar, apalagi background Lembah Lahambay serta hamparan perkebunan strawberry-nya, pasti membuat layar bioskop terasa mendamaikan ketika dilihat.

Saturday, October 11, 2008

[Resensi Novel Terjemahan] Mary Carter - She'll Take It


Bagus sekaligus membosankan...

Saya, Melanie Zeitgar, dalam keadaan sehat jasmani dan rohani bersumpah dengan segenap hati bahwa saya tidak akan mengklepto lagi. Tidak akan lagi!*

*Terkecuali jika: Putus cinta, berat badan naik, kehilangan pekerjaan, audisi yang payah, audisi yang bagus banget ketika kau tidak mendapat panggilan lagi, tagihan-tagihan kartu kredit yang menggunung, gigi berlubang atau perut lapar, trauma akibat menggunakan menu otomatis pada telepon, mendapat kunjungan mengejutkan dari Mom, tidak ada telepon dari CSUSI (Cinta Sejatiku untuk Saat Ini), dan jika terjadi serangan kejadian-kejadian tragis yang mengakibatkan stres di masa mendatang. Amin.

Temui Melanie Zeitgar. Seorang aktris ambisius yang menjadi seorang pekerja temporer. Ratu Cerdas Tangkas, jago membalas kalimat lawan bicaranya. Dan seorang kleptomaniak tulen. Untuk Mel, mencuri itu seperti halnya cinta: ia mengetahui apa yang ia inginkan begitu melihatnya. Sayangnya, Mel melihat itu di mana-mana: Sabun-sabun yang indah. Kaus-kaus kaki. Lipstik. Cashmere sweater. Tampon. Kondom. Permen. Make up. Vibrator biasa.

Peraturan utama Melanie — dalam kehidupan, percintaan, dan pengkleptoan — adalah ini: Jangan Pernah Tertangkap. Tapi ada kalanya, pengklepto yang terhebat pun punya hari cuti. Sekarang, ketika setiap bagian dalam kehidupannya berubah drastis dan tak terkendali, Melanie menemukan seorang pria yang hatinya tersedia bagi Mel untuk diambil... jika ia cukup berani membayar harganya....
Judul: She’ll Take It! – Berdoa Dulu Sebelum Mengutil
Pengarang: Mary Carter
Penerjemah: Lianita Simamora
Penerbit: Gagas Media
Genre: Romance-Comedy, ChickLit
Tebal: 426+x halaman
Harga (Toko): Rp41.000
Rilis: 2007 (cetakan ketiga)

Hmm… sedap sekali. Tapi, agak sedikit mual. Yeah, saya terpukau begitu menyelesaikan ChickLit debutan Mary Carter ini. Terperangah. Ternganga. Terpesona. Terpikat. Sekaligus, bosan. Sungguh kontras memang, tapi itulah yang sebenar-benarnya saya rasakan. Cerita yang fantastis tetapi kelewat bertele-tele.

Stop. Sebelum saya meracuni siapa pun juga. Bertele-tele yang saya maksud di sini dalam artian positif, kok. Bagus, bukannya jelek. Sebuah improvisasi yang kereeeen meskipun bagi saya kelewat berputar-putar. Mirip film India. Kalau kita melihat film India, lihat deh, sedikit-sedikit pasti nyanyi, sedikit-sedikit pasti nari, tidak peduli lagi sedih atau senang. Pokoknya nyanyi dan nari. Tapi, justru itulah uniknya film India. Ciri khas. Coba saja bayangkan film India tanpa nyanyi dan nari (sudah ada sih film India yang tanpa nyanyi dan nari), kayaknya kurang afdhol, kan?

Begitu juga dengan ChickLit yang topik utamanya membicarakan seputar kleptomania ini. Detil panjang-lebarnya yang hampir saja ‘membunuh’ minat saya untuk merampungkan membacanya, sebenarnya adalah bumbu utama yang tidak bisa dihilangkan dari novel setebal hampir 500 halaman ini. Saya berjanji, akan membaca ulang secara lengkap, dan semoga kebosanan yang menyerang saya ketika membaca untuk kali pertama tidak lagi muncul. I hope.

Entahlah, saya selalu suka dengan karya terjemahan. Maka, sudah sepantasnya saya acungkan jempol, dua sekaligus, bagi peng-alih bahasanya. Mereka jenius sekali (ini pujian yang tulus dari seseorang yang sudah belajar bahasa Inggris bertahun-tahun tapi masih juga payah!), bisa menerjemahkan karya dalam bahasa asing ke dalam bahasa Indonsia dengan pilihan kalimat yang gokil. Bagus banget. Cool, deh!

Kalau untuk kritik positif, rasanya 4,5 bintang dari 5 bintang yang biasanya disiapkan dalam kasus resensi, saya berikan untuk ChickLit ini. Saya sampai sebal dibuat kalang kabut oleh Melanie, tokoh utama dalam novel ini. Karakternya ajaib, konsisten, dan tak tergoyahkan hingga akhir cerita. Unik. Nggak nyangka. Susah deh diungkapkan dengan kata-kata, sangking oke penokohannya.

Kritik negatifnya, teteup! Kesalahan teknis, entah penrbit entah penyunting entah pengetik naskah, masiiiiiiiiiiiih ada yang salah ketik/double. Plis deh!

Dari segi tulisan, susah nyari cela-nya. Namun, yang masih sedikit mengganjal adalah kemahiran Melanie dalam meng-klepto barang-barang kadang kurang terekspos secara maksimal sehingga saya kurang menghayati keterampilan penuh talenta itu. Entahlah, apakah memang sengaja tidak didetilkan (biar tidak dianggap mengajari cara mengutil yang mantap) ataukah memang sulit mendeskripsikannya. Dan paling, detil panjang-lebar yang membuat saya bosan apalagi gaya flashback yang digunakan Mary membingungkan saya. Misalkan saja, Melanie sedang di meja makan, terus ada kejadian tidak enak, pikirannya langsung melayang pada kenangan masa kecilnya. Kejadian begitu, sering sekali dibuat oleh Mary. Saya yang kurang sabaran menjadi cepat sekali bosan. Selebihnya, TOP BGT dah! Kocak. Seru.

Summary

Melanie Zeitgar adalah seorang aktris yang masih juga belum beruntung mendapat peran apapun dari berbagai audisi yang pernah diikutinya. Maka demi mendapatkan uang ia rela bekerja temporer dalam bidang apa saja, mulai dari menjadi tugas pengarsipan hingga tukang scanner barang di sebuah supermarket, yang selalu mendatangkan sial. Mel tinggal seapartemen dengan Kim, sahabat sekaligus model yang cantik dan seksi yang selalu menimbulkan rasa minder pada Mel, dan juga berteman dengan Tommy, seorang model pria tampan yang homo.

Mel tergila-gila pada Ray, seorang vokalis band yang adalah mantan pacar dari musuh bebuyutannya, Trina. Mel rela melakukan apa saja untuk mencuri perhatian Ray dan menjauhkannya dari jangkauan Trina. Ketika menjadi petugas pengarsipan, Mel bertemu dengan Greg Parks, partner dalam firma hukum tempat Mel bekerja. Mel mengingkari getar perasannya apalagi saat itu ia memang sedang kasmaran pada Ray.

Namun, dari semua hal yang aneh itu, Mel punya rahasia besar yang tidak diketahui oleh siapapun, bahkan orangtua dan sahabatnya, kecuali alarm sensor dan kamera pengintai di toko-toko/supermarket. Yeah, Mel adalah seorang kleptomaniak. Pengutil. Tapi, Mel tidak sembarangan dalam mengutil, ia selalu punya alasan setiap melakukan aksinya. Ia pun selalu membuat perjanjian-perjanjian, langsung dengan para Santo, sebelum melaksanakan aksinya.

Lalu, bagaimana aksi Mel tersebut? Apakah ia berhasil menaklukkan hati Ray? Apa yang dilakukan Mel pada keluarga, terutama Mom dan Zach, kakaknya yang selalu mencampuri hidupnya? Bagaimana dengan Trina? Kemudian, apakah selamanya rahasia Mel akan tetap terjaga? Apa hubungannya dengan pengakuannya bahwa ia adalah seniman pembuat jam? Siapakah Greg Parks sesungguhnya? Bagaimanakah nasib persahabatannya dengan Kim dan Tommy? Nah, temukan jawabannya dalam novel yang juga mendapat banyak pujian dari sesama penulis ChickLit ini.

Beberapa pujian pada novel ini:

“Minggir, Shopaholic! (seri Shopaholic milik Sophie Kinsela) dengan keterampilan tangan yang luar biasa lucu, She’ll Take It adalah satu-satunya di Amerika yang merekam rentetan petualangan seorang musuh masyarakat yang memiliki gangguan kejiwaan. Menikmati buku ini adalah sebuah kejahatan!’
- LIZ IRELAND, penulis How I Stole Her Husband –

“Pedih dan kocak luar biasa, ini adalah bacaan yang sangat memuaskan.”
- EUGENIE SEIFER OLSON, penulis Babe in Toyland – 

Tuesday, September 16, 2008

Top 10 my favorite novels



1: Cewek Matre by Alberthiene Endah (Gramedia)
2: Harry Potter - all series by J.K. Rowling - Indonesian Version (Gramedia)
3: Supernova by Dewi 'Dee' Lestari (Truedee Books)
4: A Very Yuppy Wedding by Ika Natassa (Gramedia)
5: Twilight Saga by Stephenie Meyer - Indonesian Version (Gramedia)
6: L by Kristy Nelwan (Grasindo)
7: Kana di Negeri Kiwi by Rosemary Kesauly (Gramedia)
8: Jodoh Monica by Alberthiene Endah (Gramedia)
9: Natsuka by Destika (Grasindo)
10: My Friends My Dreams and Marshmallow Cokelat by Ken Terate (Gramedia)

My days became wonderful because of them

Monday, September 15, 2008

Resensi Novel Metropop: Kristy Nelwan - L: L for Last Love??


Mencari cinta terakhir...

Ava Torino, twenty-something-girl, yang bekerja sebagai produser di sebuah stasiun televisi lokal di Bandung, agak berbeda dengan perempuan pada umumnya. Ava not really into romantic or love things. Ia menganggap pacaran adalah sesuatu yang seharusnya fun. Dan, biar semakin fun, ia nekad meneruskan ide gilanya semasa kuliah dulu: berganti-ganti pacar, sampai ke-26 alfabet tergenapi sebagai huruf awal nama-nama sang pacar.

Dengan ke-adventurous-annya, tidak sulit bagi Ava untuk memenuhi rencana gilanya itu. Namun, tanpa disangka, cowok yang paling sulit ditemukan justru yang namanya berawal huruf L. Maka, cara berpikirnya yang logis memutuskan, siapa pun dia, si L akan menjadi the Last Love-nya. Sayang, Ava tidak menyadari betapa rahasia semesta ini terlalu besar untuk ditaklukkan oleh logika pikirannya... hingga terjadilah peristiwa itu....

Judul: L
Pengarang: Kristy Nelwan
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo)
Genre: Romance, Metropop
Rilis: Agustus 2008
Tebal: 394+viii
Harga (Toko): Rp59.000
My rating: 4 out of 5 star

Keragaman cerita sejatinya hanya dapat tumbuh dari kreativitas penulis. Belakangan, novel-novel dewasa metropolitan yang sebagian besar tergabung dalam genre Metropop atau ChickLit seolah hampir sama rata. Tema berputar di ranah yang itu-itu saja. Bumbu-bumbu penyedap yang dua tahun silam mungkin terasa memesona kini sedikit kehilangan pamor, karena seringnya digunakan sebagai dekorasi novel yang hampir tiap bulan selalu terbit.


Kristy menawarkan tema yang hampir sama, tapi dikemas dengan sangat cantik. Memadukan pelbagai bumbu, yang uniknya malah tidak terasa kebanyakan bumbu. Pas. Lengkap, tapi tidak berlebihan. Lajang sukses, petualangan asmara berantai, jungkir balik mengurus persiapan pernikahan, hingga tragedi cinta berakhir dramatis disajikan dalam alur cerita yang mengalir bebas hambatan dan seperti tiada cela.

Namun, bagi saya pribadi, kemulusan gaya mendongeng Kristy justru menyengat sisi ‘keyakinan’ saya. Yah, keputusan Kristy untuk turut serta mengangkat sisi religius (agamis) dalam novelnya ini, sukses menyentil ‘emosi’ saya. Pada titik tersebut bahkan saya sempat ingin berhenti membaca. Namun, prinsip ‘beli buku harus dibaca tuntas’ yang baru saya terapkan memaksa saya untuk meredam gejolak yang membara di dada dan bertahan untuk membaca novel ini hingga halaman terakhir, yang tidak juga dapat saya tepati. Jujur, satu bab terakhir saya tidak berselera lagi meneruskannya.


Sisi itulah yang menjadi kritik terbesar saya. Keberanian Kristy menyandingkan dua agama berbeda dalam bungkus pemahamannya yang sangat berbeda dengan pemahaman saya, membuat saya naik darah. Bukan untuk menyinggung SARA, tapi saya sangat menyesalkan keputusan Kristy membawa-bawa tema ini ke dalam novelnya. Seandainya, ia membawakannya tanpa perlu menyandingkan dua agama berbeda itu, misalnya hanya mengambil salah satunya saja, saya tidak akan segeram ini. Sekali lagi, saya merasa selipan tema ini justru menghancurkan rangkaian cerita yang menurut saya almost perfect untuk ukuran novel metropolis kontemporer.

Sisi agamis ini, bagi saya, menjadi titik singgung paling ‘sulit’ untuk dapat saya nikmati. Karakter dua tokoh terdekat si karakter utama, dengan dua agama berbeda, justru mengoyak-oyak keyakinan saya. Apalagi, si tokoh yang beragama sama dengan saya ‘dimatikan’ dengan cara yang… astaga, sangat menyinggung saya. Sekali lagi, mohon maaf, tiada niat menyinggung SARA, tapi ini murni pembelaan hati nurani saya. Jika Anda memiliki suatu keyakinan yang begitu besar tidak mungkin juga Anda tidak akan tersinggung, bukan?

Well, saya memang tipe orang yang sulit bersikap netral dalam beberapa hal. Salah satu yang paling utama adalah pada tema pluralisme dan istilah ‘semua agama sama’. Khusus untuk istilah semua agama sama, selalu timbul pertanyaan besar dalam benak saya, kalau begitu mengapa di satu agama memakan sesuatu (katakanlah babi) dihukumi haram, tapi di agama lain diperbolehkan? Itu namanya ‘beda’, kan?


Kembali ke novel ini, di luar sisi agamis yang saya sesalkan, sebenarnya saya sudah memasukkan novel kedua Kristy ini sebagai salah satu dari sepuluh novel favorit saya sampai dengan saat ini. Dari tema, gaya bercerita, alur, karakter para tokoh, sampai dengan pemilihan bahasanya saya suka. Seperti yang sudah saya bilang, novel ini lengkap namun tidak berlebihan.

Kritik lain, mengapa ya sampai sekarang masiiih saja ada salah ketik? Meskipun tidak banyak, tetapi tetap saja ada. They’re big publisher for God's sake. Sudah sepantasnya mereka lebih teliti lagi sehingga kesalahan teknis begini tidak lagi terjadi. Saya berharap hal ini lebih mendapat perhatian dari penerbit, tidak hanya penerbit besar tapi juga penerbit kecil atau yang baru merintis usaha. Di novel ini juga saya sempat mandeg, ketika si karakter utama cerita soal salah satu film favorit saya sepanjang masa, When Harry Met Sally yang dibintangi Meg Ryan dan Billy Cristal, tapi kok ditulisnya When Harry Meet Sally, ya? Meet sama Met beda penggunaan, kan? Atau saya yang salah, coba deh cek di sini, data ini saya dapat dari wikipedia.org.

Jempol dua saya acungkan untuk novel ini dalam hal tema, karakter, dan ending yang tidak terduga. Sedangkan kritik tajam, absolutely, pada sisi religius yang disertakan. 

Saturday, September 6, 2008

an Intro....



Another blog of mine. But, I am interested to review some-books which I have. Maybe, mostly, romantic-comedy-shallow love. Especially, Metropop by Gramedia, Chicklit, Teenlit or something like that.
.
.
.
.
Coming soon.......immediately

I grab those pictures from Gramedia.com