Thursday, April 8, 2021

[Resensi Novel Sastra] Damar Kambang by Muna Masyari


First line:
Kau baru berusia empat tahun, ketika di rumah itu, aku padam secara tak terduga.
---hlm.13, BAB GUBENG

Damar Kambang menyingkap tirai kusam tradisi pernikahan Madura, di mana harkat dan martabat dijunjung tinggi melebihi segalanya. Cebbhing, gadis 14 tahun dari Desa Karang Penang, menjadi tumbal tradisi pernikahan itu. la terjebak dalam pergulatan hidup yang disebabkan oleh keputusan-keputusan sepihak orangtuanya. Diri Cebbhing kemudian tak ubahnya seperti medan karapan sapi, tempat berbagai kekuatan magis saling bertarung dan berbenturan.

"Dalam perkembangan sastra mutakhir, Muna Masyari adalah sebuah meteor yang datang tanpa diduga, sekonyong-konyong muncul dengan sinar yang memukau... Muna Masyari, secara tidak langsung dan tidak menggurui, mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali mengenai makna sebenarnya di balik budaya lokal, dalam hal ini budaya Madura. Inilah inti persoalan dalam novel Damar Kambang: apa dan siapa orang Madura itu sebenarnya." —Budi Darma, novelis dan cerpenis

"Muna Masyari tahu bahwa di kampungnya yang bertanah garam itu selalu ada perempuan yang menyimpan ketangguhan dan menjaga sumbu damar kambangnya terus menyalakan harapan." —Sanie B. Kuncoro, novelis dan cerpenis

Judul: Damar Kambang
Pengarang: Muna Masyari
Penyunting: Udji Kayang
Penata Letak: Teguh Tri Erdyan
Perancang Sampul: Teguh Tri Erdyan
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: vii + 200 hlm
Rilis: Desember 2020
My rating: 4 out of 5 star

Sebelumnya, secangkir terima kasih bertabur kembang melati saya persembahkan untuk Mbak Sanie B. Kuncoro yang sudah berkenan mengadakan giveaway kilat di Instagram hingga sekonyong-konyong saya ikut dan akhirnya bisa mencicipi pahit-getir kehidupan Chebbing di tanah garam dalam novel bersampul merah marun ini. Maturnuwun nggih, Mbak.

Antara abai atau lupa, saya membaca bab pertama dengan anggapan bahwa buku ini kumpulan cerpen. Sewaktu masuk bab kedua lalu berlanjut ke bab ketiga, barulah saya melongok lagi ke muka dan membaca judul yang tercetak di sampulnya: Damar Kambang: sebuah novel. Oke, ternyata ini novel. Bila tak berhati-hati, memang bab pertama terasa semacam bab lepasan yang tidak bersangkut-paut dengan bab berikutnya. Barulah nanti di hampir paruh bagian akhir novel, bab pertama ini akan disinggung dan menemukan tautannya kembali.

Ringkasan Damar Kambang:
Damar Kambang sejatinya berkisah tentang beberapa perempuan dan posisinya dalam struktur sosial masyarakat Madura terutama: Chebbing, Marinten, dan ibunya Kacong (saya terlewat, apakah diberikan nama atau tidak). Ketiganya mewakili tiga nasib yang berbeda, tetapi menyatu dalam satu takdir. Tragis, dramatis, dan penuh dengan unsur klenik.

Mungkin karena kedekatan dengan realitas bahwa saya wong etan (jawa timuran) yang meskipun secara bahasa dan adat-budaya agak berbeda dengan warga Madura, tetap saja sebagian di antaranya masih ada kemiripan. Ditambah lagi, saya memiliki kakak yang bekerja, menikah, dan menetap di Madura hingga saya kian tak sabar ingin membaca Damar Kambang ini.

Pun saya menyukai kisah tentang ritual budaya yang kental dengan segala perniknya, terutama unsur gaibnya alias klenik. Meskipun tak begitu memahami, sepertinya saya juga tumbuh dalam lingkup budaya Islam kejawen. Kami mengamalkan ibadah keagamaan diselipi dengan ritual kejawen, misalnya membakar kemenyan atau menyiapkan sesajen ketika menyelenggarakan syukuran dalam beragam kesempatan. Namun, sepertinya ritual semacam itu tak lagi kental di masa-masa sekarang, setidaknya di keluarga saya tak lagi menyimpan kemenyan di rumah (dan tentu tak lagi membakarnya).

Membaca Damar Kambang membawa saya menelusuri kembali masa-masa itu. Saya mencoba mengingat ritual pernikahan di kampung saya dulu dan membandingkannya dengan yang ada di novel ini. Dari judulnya, saya pun mengira-ngira novel ini tentang apa. Awalnya saya sulit mengartikan “damar” (malah kepikiran rotan?), sedangkan “kambang” saya langsung terpikir “mengambang di permukaan air”. Setelah dipikir-pikir lagi, barulah saya nemu padanannya dari yang saya pahami selama ini yakni “dimar” (atau ublik) = pelita. Dan, memang benar, itu maknanya. Damar kambang adalah semacam lampu/pelita yang dibuat dengan mengambangkan apinya di permukaan minyak. Dalam novel ini (budaya Madura), damar kambang dibuat dari pelepah daun pisang dan gumpalan kapas. Sampulnya juga merepresentasikan si damar kambang itu.

Damar Kambang mengajak kita menjejak tanah garam, Madura, dan menyaksikan beberapa adat dalam ritual perkawinan, kelahiran, hingga keseharian masyarakatnya. Kita juga dikenalkan dengan beberapa istilah/budaya Madura, misalnya carok, belater, gubeng, mokka’ blabar, moter dolang, dan toron tana (disediakan glosarium di akhir).

Dari segi cerita, juga cukup memeras emosi. Dari nasib Marinten yang berubah setelah suami kalah taruhan, pernikahan Chebbing yang dramatis, hingga terungkap rahasia yang terpendam dari masa lalu ibu Kacong. Sebagai pembaca, saya sulit tak merasa iba dan ikut tertekan menghadapi beragam rentetan pergulatan nasib itu. Entah, jika di posisi mereka, apakah saya akan sanggup menerima dan menjalaninya.

Kesan pertama dari membaca Damar Kambang, jalinan kalimatnya sangat rapi, telaten, dengan diksi yang cantik, tapi tetap sederhana dan mudah dicerna. Hanya saja, karena gaya penuturannya menggunakan tiga sudut dari PoV orang pertama (aku) untuk ketiga tokoh utama (Marinten, Chebbing, dan ibu Kacong), bersiap-siaplah untuk kedandapan (bingung) ketika mendadak dari aku-nya Chebbing di bab sebelumnya, bergeser jadi aku-nya ibu Kacong di bab selanjutnya. Yah, masih untung aku-nya tidak bercampur di dalam satu bab, sih.

Selain PoV dari tiga sudut itu, masih ada PoV orang ketiga dari (yang menurut saya) penceritaan “si damar kambang” yang dikursif (miring). Ada pula saat-saat kita membaca dari penuturan narator untuk adegan-adegan yang tidak melibatkan secara langsung tiga tokoh utama atau si damar kambang. Mulus-mulus saja sih pergantiannya, hanya saja untuk yang tak terbiasa (seperti saya), mesti agak lebih sigap biar nggak keteteran.

Secara umum, saya menikmati dan menyukai Damar Kambang. Kisah perempuan yang kental dengan bumbu budaya Madura dan segala unsur kleniknya begitu nikmat untuk dilahap, meskipun saya merasa penyelesaian akhir agak terburu-buru. Tak heran jika novel ini tipis saja. Silakan masukkan novel ini ke daftar bacaan, jika belum, untuk kamu yang ingin menambah khazanah kebudayaan nusantara.

Selamat membaca, kawan!

via GIPHY

End line:
Sebagai damar kambang yang sudah menyala sempurna di rumahmu, aku hanya bisa berharap dadamu cukup tangguh untuk mempertahankanku, untuk terus mempertahankanku, dari angin dan mulut penyihir....
---hlm.197, BAB: MENUAI BUAH BERDURI

0 comments:

Post a Comment