Thursday, July 26, 2012

[Resensi Novel Amore] Postcard from Neverland by Rina Suryakusuma


Perjuangan Cinta


Judul: Postcard from Neverland
Pengarang: Rina Suryakusuma
Editor: Novera Kresnawati
Co-Editor: Irna Permanasari
Sampul: Mracel A.W.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 280 hlm
Harga: Rp33.000
Rilis: Agustus 2010
ISBN: 978-979-22-5698-7

Ami Amarell Siswoyo mendapat anugerah kecantikan alami nan memikat. Namun, kecantikan itu justru membawa begitu banyak kesulitan bagi Ami, terutama ketika sang Ayah meninggal dunia, terpaksa Ami yang menggantikan perannya untuk menjadi tulang punggung keluarga bagi sang Ibu dan seorang adik perempuannya. Ami pun drop out dari kuliahnya dan bekerja apa saja demi menjalani hidup, dan dalam dunia kerja inilah hidupnya makin sengsara. Pelecehan demi pelecehan ia dapatkan, karena label cantik yang disandangnya.

Sampai ia bertemu Joshua Leinard tanpa sengaja. Didorong sahabat karibnya, Lusi, Ami mencoba peruntungan untuk bekerja di sebuah cafe hotel honteng lima yang baru akan dibuka. Kembali insiden tak menyenangkan menimpanya yang berakhir pada tawaran untuk bekerja sebagai kepala pelayan di rumah Josh. Dari sinilah, seluruh hidup Ami berubah. Tak hanya ia mendapat kecukupan finansial, namun ia juga berhasil bertemu dengan cinta sejatinya. Lantas, sanggupkah Ami mempertahankan cintanya? Cinta yang memilin begitu banyak jalinan perbedaan? Mampukah ia menghalau cibiran dan cemoohan orang demi memperjuangkan cintanya?

Simak liku-liku kehidupan Ami dalam novel Amore bertajuk Postcard from Neverland karya Rina Suryakusuma ini.


Membaca Postcard from Neverland, saya seolah diingatkan kembali dengan kisah cinta Cinderella yang demikian melegenda itu. Atau, film komedi romantis Maid in Manhattan yang dibintangi si cantik Jennifer Lopez. Tema novel ini memang klasik nan klise. Si cantik yang harus berjuang tak kenal lelah lalu berjumpa dengan pangeran tampan nan kaya raya, tentu tak lupa tambahkan beberapa tokoh antagonis, voila, cinta memenangkan seluruh pertarungan.

Saya mungkin cenderung terlalu menghakimi begitu mengakhiri membaca novel ini. Selain bumbu dasar yang begitu mirip kisah Cinderella, hubungan antarnegara, perempuan asli Indonesia dan laki-laki bule masih terlalu di awang-awang bagi saya, meskipun toh di Indonesia hal ini sudah biasa. Di Jakarta misalnya, tak jarang saya mendapati pasangan antarnegara ini di mall, angkutan umum, atau di jalan-jalan. Lagi-lagi, ini hanya persepsi pribadi saya belaka. Maklum, saya masih terlalu percaya bahwa orangtua selalu meminta menantu yang asalnya tak jauh-jauh, kadang malah diminta sesuku, lha kalau sudah beda negara, jelas tak masuk hitungan, kan?

Yang membuat saya betah membaca novel ini, dan justru menyukainya, adalah tentu kepiawaian mbak Rina dalam meracik kisah cinta yang klise itu menjadi segar untuk dibaca. Tak ketinggalan, beragam pesan terselip di sana-sini yang dapat memperkaya wawasan kehidupan kita, paling tidak bagi saya pribadi--sebagai pembaca. Salah satunya adalah pada bagian ketika Ami harus menerima perlakuan tak menyenangkan menjadi bahan pergunjingan di minimarket ketika Ami menemani Josh berbelanja. Saya merasa sepicik ibu-ibu di minimarket itu. Menduga bahwa cewek 'pengguide' (baca penggaet) cowok bule itu, tak lain tak bukan sekadar mencari peruntungan nasib. Bisa mencari harta, atau #justjoking, mengubah keturunan. Oh, #ShameOnMe.

malesinearlychildhood.blogspot.com

Dignity. Martabat. Harga diri. Itu pula yang saya tangkap tersirat dalam novel ini. "Kau boleh miskin harta, tapi tak boleh miskin jiwa", entah saya membacanya di mana, tapi itu pula yang saya dapatkan selepas rampung membaca Postcard from Neverland. Bolehlah miskin, tapi jangan mengobral diri dengan melakukan apa saja demi sesuap nasi. Ami tetap mempertahankan prinsipnya, bahwa ia mencintai Josh tanpa tendensi apa pun kecuali cinta itu sendiri. Maka, ketika Josh melamarnya sementara Ami masih menjadi pelayan, Ami memintanya bersabar. Ia ingin melanjutkan kuliahnya terlebih dahulu (dengan menolak bantuan biaya kuliah dari Josh) dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai, barulah mengusahakan untuk menyatukan cinta mereka. Ami bukan terhasut omongan orang, namun tak bisa dimungkiri, semua hal akan menjadi lebih mudah jika kedudukan Ami-Josh sudah setara, maksudnya tak lagi terikat hubungan pelayan-majikan.
Jujur saja, Ami tidak ingin dicap sebagai pagar makan tanaman. Pelayan kok merayu majikan? (97)
Sampai di pertengahan menjelang konflik 'panas' saya pun menunggu dengan sabar twist apa yang akan diciptakan oleh mbak Rina. Lagi-lagi, saya musti menyebut bahwa sejauh ini, Lullaby yang paling membuat saya terpana karena twist-nya. Sementara dalam Postcard ini, twist-nya hanya membuat gempa kecil saja, tak sampai bikin saya terguncang.

Bagian lain yang membuat saya agak sedikit mengerutkan kening adalah hadirnya karakter Dennis, anak lelaki Josh. Awalnya saya sangat antusias menantikan kehadirannya untuk membuat konflik menjadi kian meruncing. Memang makin runcing sih, tapi kok saya kurang merasakan sensasinya, ya? Malah saya sampai bingung mengekspresikan rasa, bagaimana coba seorang ayah mencemburui anaknya sendiri? Yah, bisa saja sih, tapi lagi-lagi, wawasan saya yang terkungkung tradisi menjadikan saya masih merasa aneh melihat ayah cemburu melihat anaknya 'dekat' dengan kekasihnya. Pada titik ini, saya berharap mbak Rina menampilkan konflik yang berbeda. Ummm, apa ya misalnya? ...Dennis sama sekali cuek dan memperlakukan Ami dengan lebih kasar lagi, sehingga Josh dalam dilema, "membela sang anak atau kekasihnya, mungkin? Bukankah di novel ini sudah begitu? Memang dalam novel ini sebagian sudah dibikin begitu, tapi karena ada unsur letupan asmara, jadinya balik-balik ke urusan percintaan lagi. Bukan konflik keluarga.

Tetapi cinta memang kekuatan terbesar yang diciptakan oleh Tuhan, bukan? Unsur inilah yang bisa menyebabkan segala tindakan dan perbuatan terjadi di muka bumi. KepadaNya pun kita diminta untuk memeberikan cinta. Maka, tak perlu lagi memperdebatkan segala macam perbedaan jika cinta sudah merasuk dalam jiwa. Saran saja mungkin untuk menambahkan lebih banyak problematika ke dalam novel ini sebagai pembuktian bahwa cinta Ami-Josh memang layak diperjuangkan. Pertentangan keluarga Ami, mungkin, atau karyawan Josh yang menyebarkan fitnah soal Ami. Bah, sinetron banget ya...hehehe....:)



Bagi saya, novel ini adalah novel survival, yang mengajarkan kita untuk bertahan hidup dengan tetap memegang teguh prinsip positif yang kita punya. Janganlah mengorbankan harga diri demi mencicipi sekelumit kemewahan. Percayalah, Tuhan itu ada. Selama kita berusaha, niscaya Dia Yang Di Atas akan memberikan jalan kemudahan bagi kita.

Overall saya menyukai novel ini. Banyak hal yang bisa saya dapatkan novel Amore ini. Masih ada typo di sana-sini, tapi sepertinya lebih sedikit ketimbang Lullaby atau Jejak Kenangan. Ujung cerita yang "mengharuskan si tokoh utama berpindah ke Amerika" serupa deja vu selepas membaca Jejak Kenangan yang juga diakhiri demikian, hanya berbeda negara bagian saja. Baiklah, 3 dari skala 5 bintang saya berikan untuk novel ini.

Selamat membaca, kawan!

0 comments:

Post a Comment