Sunday, January 22, 2012

[Resensi Novel Young Adult] If I Stay by Gayle Forman


Mbrebes mili...
Read from January 18 to 21, 2012
Rating: 5 out of 5 star


Judul: If I Stay (Jika Aku Tetap Di Sini)
Penulis: Gayle Forman
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Editor: Dini Pandia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 200 hlm
Rilis: Oktober 2011 (cet. ke-3)
Harga: Rp35.000
ISBN: 978-979-22-6660-3

Summary
Mia Hall adalah seorang gadis yang beruntung. Dia punya Mum, Dad, dan si kecil Teddy yang menggemaskan. Tak hanya itu, Mia juga punya Adam Wilde, seorang rockstar yang sedang menanjak popularitasnya bareng band Shooting Star, yang sudah resmi menjadi pacarnya. Namun, sebuah kecelakaan tragis di suatu pagi yang dingin-musim-salju, merenggut kebahagiaannya. Dalam sekejap dia kehilangan Mum, Dad, dan Teddy. Bahkan, nyawanya pun dekat sekali jurang kematian.

Ketika raganya masih diusahakan untuk sembuh dari segala kerusakan yang ada, jiwa Mia berkelana. Dalam hitungan jam, Mia yang tak kasatmata menyusuri tiap sudut rumah sakit, menyaksikan orang-orang yang disayanginya menjadi panik, sedih, pasrah, dan tak percaya atas apa yang terjadi. Bahkan, hatinya pun seakan teriris sembilu ketika menyaksikan Adam berjuang untuk bisa masuk ke ruang perawatannya dan membuat janji yang akan mengubah segalanya.

Rasakan puncak kepiluan dari dua hati yang dipersatukan dengan dukungan sebuah keluarga yang harmonis namun dalam waktu singkat harus menghadapi cobaan hidup mahadahsyat dalam novel karya Gayle Forman berjudul If I Stay ini.

WOOOWWW! Kapan saya terakhir kali tiba-tiba menangis tanpa bisa saya cegah hanya dari membaca novel? Hmmm....sudah lama sekali rasanya. Dan, saya mengalaminya lagi ketika membaca novel ini. Serius! Padahal dalam dunia nyata saya sulit sekali untuk merasa sedih, lho. Aneh, memang. Mungkin, otak saya salah program. Dunno. Tapi, syukurlah, novel ini memang diciptakan dalam topografi berbukit-bukit. Jadi, ketika telah dihadirkan satu adegan yang begitu mnegharukan, dengan konsep flashback, penulis membawa pembaca ke masa lalu Mia yang menyenangkan. Sehingga ketika tak sengaja air mata mengalir, detik berikutnya rasa sedih tersapu kedamaian melihat masa lalu yang indah, dan air mata berhenti dengan segera.

Bagian inilah yang membuat bendungan mata saya tak mampu menahan luapan air mata yang tumpah:
Gramps.... dan berbisik.
“Tidak apa-apa,” katanya. “Kalau kau mau pergi. Semua orang ingin kau tinggal. Aku ingin kau tinggal lebih daripada apa pun yang kuinginkan di dunia ini.” Suaranya tersekat emosi. Dia berhenti, berdeham, menarik napas, dan melanjutkan. “Tapi itu kemauanku dan aku bisa mengerti mungkin itu bukan kemauanmu. Maka aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku mengerti jika kau pergi. Tidak apa-apa kalau kau harus meninggalkan kami. Tidak apa-apa jika kau ingin berhenti berjuang.”
Pada saat itu, saya teringat Bapak. Pada saat itu, saya teringat Ibu. Saya ingat betapa Bapak dengan pelan membisik kepada saya yang sedang tersedu malam sebelum Ibu saya dipanggil kembali padaNya, “Le, ndang lungguh sanding Makmu, wacakne dungo ben ora loro (Nak, sana duduk dekat Ibu, bacakan doa biar nggak sakit).” Itulah salah satu momen saya menumpahkan seluruh air mata. Saya sudah mencoba meminta padaNya untuk menyembuhkan Ibu, namun malam itu Bapak membuatku mengikhlaskan jikalau sekiranya Alloh hendak memanggil kembali Ibuku. Dan, Alloh memang memanggil Ibu saya, keesokan harinya.

Sosok Gramps, yang digambarkan oleh Gayle sebagai sosok pendiam dan pekerja keras ini, langsung membuat saya jatuh simpati pada beliau. Sudahlah, yang jelas, saya sesak napas ketika sampai di bagian ini (hlm. 152)

Saya membaca novel ini justru setelah membaca sekuelnya, karena buku keduanya saya dihadiahi oleh sahabat baru saya di group Blogger Buku Indonesia dalam proyek My Secret Santa (review buku kedua disepakati akan diposting secara bersamaan dengan semua member yang ikut serta program tersebut di akhir bulan Januari ini). Kalau tidak salah, saya pernah men-tweet soal saya yang tidak terhanyut ketika membaca Where She Went dan tak sampai merasakan kedalaman hati seorang Adam Wilde, dan Mery Riyansah menyarankan kepada saya untuk membaca buku pertamanya yang memang sudah saya niatkan. Dan, tak salah, saya memang terhanyut, bahkan tenggelam, dalam kisah mengharukan Mia Hall. Sebuah pengalaman yang sangat berkesan bagi saya.

Namun demikian, satu yang terlintas dalam benak saya. Ahhh.... film Ghost banget ini ceritanya, atau film Just Like Heaven banget, atau novel Memory and Destiny banget nih novelnya... tentang sosok-setengah-hantu-dengan-tubuh-terbaring-koma dan judgement saya memang tidak meleset jauh. Ini memang kisah seperti itu. Tapi, apa yang membuatnya istimewa? Tentu saja, kepiawaian penulisnya yang berhasil menyeret saya ke muara kesedihan yang begitu dalam namun tidak sampai menye-menye kayak sinetron.

Saya suka semua karakternya. Khususnya Teddy. Lagi-lagi saya sudah lama sekali tidak mendapati tokoh bocah cilik yang memang masih bocah di novel-novel yang saya baca. Ada sih sosok anak-anak namun kebanyakan sudah dicekokin sama kedewasaan karena keegoisan atau ketidaksanggupan penulisnya untuk menghadirkan tokoh anak kecil yang berjiwa anak-anak. Selebihnya, karakter tokoh-tokohnya di sini sangat kuat. Mia sang pecinta musik klasik dengan cello-nya, Adam sang rockstar, Dad yang mantan anggota group band punk, Henry dan Willow sebagai pasangan pencinta punk dan perawat. Saya bahkan tak mengenali Mia di sini seperti halnya Mia di Where She Went, dan saya suka Mia yang ada di sini. Di If I Stay dia terlihat tegar dan rapuh pada saat yang bersamaan (dan tepat) sementara di buku keduanya justru menjadi sosok peragu. Tapi, entahlah, memang kedua buku ini berbeda sudut pandang dan berbeda situasi sih ya.

Soal cover, saya lebih suka yang Where She Went. Meskipun keduanya sangat merepresentasikan pokok cerita, tetapi sampul Where She Went saya rasa lebih kuat untuk menggambarkan keseluruhan cerita ketimbang yang If I Stay. Lah, kenapa saya jadi membandingkan dua buku ini, ya? Hahaha, semprul! Yang jelas, saya rada kurang suka sama sampul yang If I Stay ini.




Soal typo, yeayyy... novel ini hampir bersih dari salah ketik/cetak. Awalnya saya pikir ameba (dari kata amoeba) dan pikap (sebutan untuk pick-up) itu salah ketik, ternyata di KBBI memang begitu cara penulisannya. Yang typo hanya di hlm. 130 (menembuat = membuat) dan hlm. 148 (Grams = harusnya Gramps).

Overall, sulit bagi saya untuk tidak menyukai novel ini. Salam buat Teddy dan Gramps. 5 bintang untuk If I Stay.

Selamat membaca, kawan!

8 comments:

  1. Wah, ada lagi yg tumbang karena jatuh cinta sama buku ini :D

    ReplyDelete
  2. eh bang Jul ini hadiah yg dari Secret Santa ya?

    ReplyDelete
  3. @Oky....hahaha...istilahnya itu lho...tp setuju sih, tumbang, hahaha

    @Sulis...bukan, Non...yg Secret Santa yang buku duanya, Where She Went...kan baru diposting akhir bulan, kan?

    ReplyDelete
  4. Ceritanya hampir mirip drama korea 49 Days, tapi kayaknya bagus, nih, masuk dalam daftar buku yang haris aku beli! Salam kenal mas

    ReplyDelete
  5. Entah kenapa, emosi Mia ataupun tokoh lain datar-datar aja.Bahkan Adam yang memesona(halah) di Where She Went, nampak biasa aja. Tapi saya suka semua cerita Mia tentang keluarganya.

    ReplyDelete
  6. Masss ijuuul ! Kyaaa Samaaa. Padahal aku pertama baca buku Where She Went lumayan, trus baca buku pertamanya malaaaah meweek -____-

    ReplyDelete
  7. Keren sih.. tp saya baca kok ga mewek yah? -_-

    ReplyDelete
  8. aaaaaa....
    makasih beraaaat ijul...
    jd penasaran akut ama novel ini.


    salam kenal yaaa

    ReplyDelete