Monday, January 4, 2016

[Resensi Novel Romance] My Wedding Dress by Dy Lunaly


Kalau mau jujur, bukankah sebenarnya kita semua merupakan kumpulan masokhis, disadari ataupun tidak? Terlalu sering kita sengaja membuka kenangan menyakitkan atau menyedihkan dan menyesapnya kembali.
---Dy Lunaly, My Wedding Dress

First line:
Aku berkedip beberapa kali sebelum kembali menatap pantulan wajahku pada cermin di sudut ruangan.

Apa yang lebih mengerikan selain ditinggalkan calon suamimu tepat ketika sudah akan naik altar? Abby pernah merasakannya. Dia paham betul sakitnya.
 

Abby memutuskan untuk berputar haluan hidup setelah itu. Berhenti bekerja, menutup diri, mengabaikan dunia yang seolah menertawakannya. Ia berusaha menyembuhkan luka. Namun, setahun yang terasa berabad-abad ternyata belum cukup untuk mengobatinya. Sakit itu masih ada, bahkan menguat lebih memilukan.
 

Lalu, Abby sampai pada keputusan gila. Travelling mengenakan gaun pengantin! Meski tanpa mempelai pria, ia berusaha menikmati tiap detik perjalanannya. Berharap gaun putih itu bisa menyerap semua kesedihannya yang belum tuntas. Mengembalikan hatinya, agar siap untuk menerima cinta yang baru.

Judul: My Wedding Dress
Pengarang: Dy Lunaly
Penyunting: Starin Sani
Perancang sampul: Titin Apti Liastuti
Pemeriksa aksara: Fitriana STP & Septi Ws
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: vi + 270 hlm
Harga: Rp59.000
Rilis: Oktober 2015
ISBN: 978-602-291-106-7
Dibaca: akhir Desember 2015
Rating: 3 out of 5 star
Buku persembahan dari pengarangnya, tidak memengaruhi penulisan resensi.

Entah jodoh, entah kebetulan, oleh sebab saya tak bisa mengunjungi event Big Bad Wolf book fair di Kuala Lumpur akhir Desember 2015 kemarin, saya yang mendadak kangen melancong ke Malaysia atau Singapura, pas banget ketika menerima novel rilisan terbaru karya Dy ini. Apa pasal? Setting lokasi novel dalam cita rasa weddinglit ini ternyata di dua negara tersebut. Ahay, saya bisa sedikit bernostalgia selama membacanya.

Meet Cute:
Sebagaimana disebutkan di sinopsis novel ini, tokoh Gabriella "Abby" Karen Saraswati dirundung patah hati setelah gagal menikah. Oleh karena suatu alasan yang impulsif, Abby memutuskan untuk melakukan solo traveling ke Penang. Di salah satu negara bagian Malaysia inilah, Abby yang kebingungan mencari alat transportasi untuk kembali ke penginapannya bertemu dengan Wirasana "Wira" Peter Smit di halte bus Rapid Penang.


Ide cerita dan eksekusinya:
Saya menyukai ide cerita yang diangkat di dalam novel ini. Gaun pengantin dan traveling. Unik dan menarik. Meskipun demikian, saya tak merasai nuansa wedding yang kental mengingat novel ini dilabeli weddinglit. Well, memang ada dua momen pernikahan, sih, di sini, tapi... entahlah, nuansa pernikahannya tenggelam oleh acara jalan-jalannya. Mungkin, saya-nya saja, sih, yang mulai bosan dengan novel-novel berbalut traveling. Waktu baca Sunset Holiday-nya Nina Ardianti-Mahir Pradana, saya juga susah dapat feel-nya.

Sayangnya (lagi), gaya penulisan Dy yang lincah agak sedikit kurang orisinal dengan banyaknya adegan yang entah sudah pernah digunakan di buku atau film. Bukan pula ingin mendiskreditkan pengarang, tapi penjelasan soal critical eleven di halaman 153 tentu saja akan segera mengingatkan pembaca pada novel fenomenal karya Ika Natassa. Dan, beberapa adegan lainnya. Sedikit banyak --buat saya-- itu mengurangi kenikmatan membaca novel ini. Plus, terlalu banyak kebetulan, menurut saya. Apakah jalan cerita memang dimaksudkan untuk menciptakan momen-momen serendipity yang mudah? I dunno. Meskipun begitu, saya cukup dibuat surprise lho ketika mendapatkan snap-moment menjelang ending, saat mencocokkan suasana ruang tunggu bandara Soetta (sebelum keberangkatan) dan segala peristiwa yang terjadi di Penang. Everything happens for a reason. Hufft, bisa saja gitu, ya.

Omong-omong, Dy ini tipe yang suka memperkenalkan para tokohnya melalui dialog masing-masing dengan menyerukan nama lengkapnya, ya. Agak awkward, tapi bolehlah tanpa harus dinarasikan.

Plot, setting, dan karakter:
Plotnya bergerak maju, namun di sepanjang pergerakannya banyak bagian yang mengingat masa lalu, lengkap dengan dialog dan suasana dan detail-detail kecil lainnya. Ingatan akan masa lalu itu biasanya ditulis miring (kursif) sehingga secara tak langsung memisahkan antara kejadian di masa sekarang dan masa lalu.

Setting waktu: modern. Setting lokasi: Jakarta, Penang (Malaysia), Singapura, dan Pulau Menjangan (Bali). Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwasanya novel ini menghadirkan nostalgia, saya memang sempat mengunjungi Penang dan Singapura. Sayangnya, saya tak berlama-lama di Penang, kurang dari 12 jam malah, hahaha. Jadi, saya memang sama sekali tak menikmati suasana kotanya. Keperluan saya hanya sekadar belanja buku lalu pulang. Segala macam mural, street art, dan tempat-tempat bersejarah tidak sempat saya kunjungi. Syukurlah, saya bisa membayangkannya dari deskripsi yang diberikan oleh pengarang.

Novel ini didukung dua tokoh utama yakni Abby, seorang arsitek yang banting setir menjadi wirausahawan online setelah kegagalan pernikahannya, dan Wira yang adalah travel-writer yang menikmati perjalanan sebagai hobi sekaligus profesinya. Di samping itu ada tokoh Gigi (adik perempuan Abby yang tampak lebih dewasa), Andre (objek patah hatinya Abby), Noura dan Jiyad (kawan Wira di Singapura), dan beberapa tokoh pendukung lainnya. Sejatinya saya menyukai interaksi anara Abby dan Wira, tapi berkat serendipity yang agak terlalu banyak membuat saya sulit merasai chemistry mereka. Belum lagi sifat Abby yang di saya kok terkesan kekanakan, ya? Hmm, si Abby ini sudah pernah kerja (arsitek mestinya jadi orang yang serius dan penuh perhitungan, kan?) dan juga sempat mau nikah. Dan, saya juga mencatat (dalam ingatan), Abby ini suka sekali berteriak-teriak pada Wira. Agak berlebihan dan mengganggu (buat saya, sih).

Oiya, PoV untuk novel ini adalah PoV orang pertama dari sudut pandang Abby.

Konflik:
Bumbu cerita berasal dari serpihan masa lalu--tragedi setahun sebelumnya, tepatnya-- yang menimpa Abby lalu ditambah potongan masalah yang juga sedang dihadapi oleh Wira. Ini pula yang jadi masalah buat saya, "Kenapa, sih, pengarang suka banget bikin alasan patah hati agar tokohnya ber-traveling?". Maaf, tapi saya gagal bersimpati pada alasan Abby dan Wira melakukan perjalanan. Alasan simpel yang terlalu dibesar-besarkan, buat saya.

Ujung konflik juga seperti dibegitukan saja. Hmm, bagaimana, ya? Sepertinya pengarang maunya bikin semua tokohnya mendapat jalan keluar. Enggak dipaksakan juga, sih, tapi semuanya tampak terlalu mudah untuk konflik yang dibuat sedemikian rumit. Bahkan, gong dari semua hal yang berkaitan dengan alasan Andre memutuskan batal menikahi Abby... huhuhu, enggak ada subplot lain sajakah? Subplot macam begitu saya rasa sudah terlalu biasa.

Lalu, tentang my wedding dress yang menjadi nyawa keseluruhan cerita ini... hmm, kurang "sakral" rasanya. Saya tak merasa diikat dengan erat oleh kenyataan bahwa gaun pengantin Abby itulah yang menciptakan, memperuncing, hingga memecahkan masalah yang dihadapi Abby. Seperti halnya pada kurang kuatnya chemistry Abby-Wira, saya juga kurang menghayati peran besar si gaun pada keseluruhan cerita.

Ending (jangan buka bila menganggap ini spoiler):


Kesimpulan:
Pada akhirnya, saya mesti bilang, perasaan saya agak sedikit campur aduk setelah merampungkan-baca novel ini. Namun, saya menyukai ide ceritanya: unik dan menarik, plus membuat saya bernostalgia ketika traveling ke Penang dan Singapura. Buat kamu yang sedang ingin membaca novel romance berlatar belakang traveling, silakan coba cicipi racikan anyar Dy Lunaly ini. Dijamin kamu pasti kepingin bisa traveling bareng pasangan atau menemukan pasangan saat traveling. *grin*

End line:
Pria favoritku.

1 comment:

  1. Walah.. sy jadi berpikir buat membacanya. Karena saya sedang mencari bacaan yang rekomendasi bagus dari pembaca lainnya.

    ReplyDelete