[Resensi Novel Teenlit] Jurnal Jo 3: Episode Cinta by Ken Terate
LAWAN Bullying!!!
Sinopsis:
Wah, ada cowok baru di kelas Jo Wilisgiri: Izzy. Izzy bukan sekadar cowok, tapi selebriti! Cakep, terkenal, lucu, perfect! Semua cewek dibuat “demam” olehnya, termasuk Jo. Tapi masalahnya Jo nggak boleh “demam” gara-gara cowok lain karena dia sudah punya Rajiv yang ganteng dan baik hati.
Seiring waktu Jo sadar si cowok selebriti itu ternyata jail luar biasa. Sebut saja: menciptakan berbagai olok-olok ajaib sampai mengerek baju renang di tiang bendera. Hm, awalnya lucu sih, tapi lama-lama kok norak ya. Apalagi kalau kamu yang dikerjain. Please deh, lucunya di mana sih?
Parahnya, Sally—sahabat sejati Jo yang sangat memuja Izzy—justru dikerjai oleh Izzy sampai masa depannya terancam suram. Jo pengin menyelamatkannya, tapi Sally justru marah dan memusuhinya. Nabila, sahabat Jo yang lain, juga dikerjai tapi mati-matian melarang Jo buat mengadu.
Aduh, masalah seolah tak ada habisnya. Hubungan Jo dengan Rajiv gonjang-ganjing karena Mama melarang Jo pacaran. Selain itu ada proyek besar semester ini: bikin laporan soal kelestarian sungai. Gawat! Dalam proyek ini Jo sekelompok dengan Izzy dan Sally. Bisa-bisa Jo bakal nggak dapat nilai.
Puncaknya: Rajiv, satu-satunya sahabat waras Jo, harus kuliah di Amerika.
Wow! Benar-benar semester yang gila untuk Jo. Berantakan, galau, kacau-balau, tapi tetap seru, lucu, dan penuh cinta!
Judul: Jurnal Jo 3 - Episode Cinta
Pengarang: Ken Terate
Ilustrator kover: Erick E. Pramono
Penerbit: Gramedia
Tebal: 240 hlm
Rilis: Juni 2014
Harga: Rp50.000
ISBN: 978-602-03-0569-1
Asli, membaca karya-karya Ken Terate selalu mengaduk-aduk perasaan. Kesal, haru, bahagia, sedih, geregetan, semua jadi satu. Di satu bagian saya bisa cekikikan nggak keruan, di bagian lain saya akan mengelus dada sangking ikut terlarut dalam kisahnya.Singkat kata, Ken berhasil mempermainkan emosi saya selama proses pembacaan buku-bukunya. Tak terkecuali novel teenlit terbarunya yang merupakan buku ketiga dari serial Jurnal Jo yang ditulisnya, Jurnal Jo 3: Episode Cinta.
Masih tentang kehidupan Jo di masa pendidikan SMP-nya. Tahun ini ia sudah menjadi siswa kelas delapan dengan segala pernik kehidupan khas ABG tanggung. Jika di buku sebelumnya kehidupan Jo berwarna karena hadirnya gadget dan kehebohan seputar dunia maya, di buku ketiga ini Jo mulai disibukkan dengan urusan hati. Cinta monyet mulai menjangkiti jiwa remajanya. Cinta yang ternyata membuatnya demam dan salah tingkah.
Bagi saya, selain gaya menulisnya yang asyik dan bikin nagih, Ken Terate selalu tampil beda dari segi cerita. Iya, sih, tema anti-bullying memang bukan lagi tema baru. Beberapa novel lokal sudah mengangkat isu ini, tapi tetap saja, ini menjadi satu hal menarik yang dibahas sebagai konflik utama dalam novel ini, di luar konflik tentang cinta monyet ala remaja SMP.
Karakterisasi yang kuat membuat saya mudah terhanyut dalam plot yang disusun Ken. Sebagai tokoh utama, sejak awal tentu saja hati saya sudah condong untuk menyukai Jo, tapi dengan keterampilan yang begitu apik, Ken menghidupkan Jo ini dengan segala kelebihan dan kekurangan yang sangat manusiawi, yang terus-menerus membuat saya gemas. Ada kalanya saya sampai mengumpat pelan, memaki Jo "bego" ketika Jo berbuat ini dan itu yang tak sesuai dengan pendapat saya. Misalnya, Jo yang tak melawan langsung ketika ia diganggu Izzy. Atau, ketika Jo masih tetap melunak meskipun Sally atau Nadine mengolok-oloknya. Tapi, lalu saya bertanya pada diri sendiri, "Memangnya, waktu aku SMP aku berani ngelawan balik pas di-bully?" dan saya mengernyitkan dahi sebelum menggeleng kecil. Iya, sepertinya saya pun bersikap seperti Jo. Sebagai korban bullying saya cenderung "keep calm and be a champion". Maksudnya, peduli setan saya diganggu, yang penting saya tetap juara kelas di bidang akademik.
Secara singkat, buku ketiga dari serial Jo ini dibuka dengan konflik soal urusan desiran hatinya pada Rajiv, tetangganya yang kini sudah masuk SMA. Kalau hanya cinta monyet biasa mungkin masalah tak akan jadi rumit, namun cinta pertama Jo ini bukan cinta biasa. Pikiran Jo sudah mesti ruwet karena Rajiv yang berbeda dengan dirinya, beda suku-beda agama. Agak aneh memang, anak SMP sudah berpikir sampai sejauh itu, tapi bisa jadi di zaman seperti ini, kan? Kedewasaan sudah mulai menelusup tiga atau empat tahun lebih cepat dibanding masa remaja saya dulu, sepertinya.
Konflik seputar bullying muncul bersama dengan hadirnya tokoh baru, Izzy--cowok cakep pindahan dari Jakarta yang langsung ngetop tapi hobi bikin onar. Masuknya Izzy ke SMP-nya Jo ini membawa banyak masalah baru, baik di sekolah maupun yang berkaitan dengan hubungan Jo dan teman-teman dekat Jo selama ini. Semua itu dikemas dengan mulus oleh Ken menjadi drama-remaja-SMP yang tak membosankan. Well, pernik-perniknya sih biasa: tugas kelompok yang berantakan, teman yang akhirnya musuhan, campur tangan orang tua, tapi kesemuanya dibuat sedemikian wajar, sehingga enak dibaca.
Dan, saya menyukai pengemasan/layout novel ini. Terdapat subjudul di tiap chapter-nya yang juga membuatnya berbeda dari novel kebanyakan. Feel membaca saya menjadi lebih hidup. Begini contohnya:
Unsur kenikmatan novel ini memang sebagian besar terletak pada gaya menulis Ken yang mengesankan. Diksi oke, hiperbola tak lebai, sindiran yang tepat sasaran, hingga kalimat-kalimat #jleb yang serba ceplas-ceplos. Meskipun demikian, tak jarang saya menyuarakan ketidaksetujuan kepada Ken menggunakan beberapa frasa yang menurut saya terlalu kasar, misalnya ketika Jo menyebut ibunya sendiri "dodol" dan ayahnya "dudul" (hlm 120). Saya sadar ini bukan buku budi pekerti, dan saya pun sadar yang seperti itu bisa saja benar-benar terjadi, tapi menurut pendapat saya yang berpedoman bahwa buku bisa menjadi guru yang mengajarkan hal-hal baik, seyogianya kata-kata menjurus kasar itu diganti dengan yang lebih halus/elegan.
Beberapa typo masih ditemukan, sebagian cukup mengganggu misalnya:
(hlm 174) Kok aku bila lambat banget sih? = bila itu semestinya "bisa".
(hlm 232) peritistiwa = peristiwa
Sebagian besar, saya suka semua kalimat-kalimat buatan Ken Terate. Sungguh mencerahkan untuk yang membaca dan makin #jleb lagi karena ini tokohnya SMP hingga menyentil ego saya, "Ini anak SMP lho, masak kamu kalah sama anak SMP, sih."
Ketika Jo mulai gelisah karena perbedaan suku dan agamanya dengan Rajiv, cowok itu menasihatinya soal betapa membosankannya dunia jika semua hal sama (hlm 84):
Coba ya bayangkan kalau semua orang di dunia ini sama. Sama hobinya, sama makanannya, sama rumahnya. Eh, kamu ke Padang makan gudeg, ke China makan gudeg, ke Amerika gudeg lagi. Nggak seru!
Kalimat ini bikin nyesss (hlm 160)
"Karena bila hubungan ini membuatmu sedih, itu bukan cinta," kata Rajiv.
Yang ini juga, di adegan ketika Jo memberikan syal musim dingin untuk Rajiv dan cowok itu begitu bahagia menerimanya (hlm 229)
Betapa memberi ternyata bisa menyenangkan, bahkan bagi yang memberi.
Yang ini bikin saya keki. Kapan saya punya istri yang bisa saya taburi kalimat seromantis ini. Hikz. (hlm 230)
Jo: Dan salju, Raj. Kamu akan melihat salju. Aku hanya bisa melihat salju di freezer.
Rajiv: Aku lebih suka melihat salju di freezer, asal bersamamu.
Di bagian lain, Ken juga menyelipkan kalimat-kalimat bernada optimis yang menurut saya sangat bagus untuk memotivasi semua pembaca, tak hanya para remaja yang menjadi target pembaca novel ini. Misalnya tentang memilih tema untuk tugas sekolah yang paling dekat dengan kehidupan sendiri sehingga lebih bisa diresapi (hlm 168) atau soal menjadi pendengar yang baik bagi sahabat (hlm 201) atau kenyataan bahwa setiap manusia memiliki kelebihan-kekurangan dan jalan hidup masing-masing (hlm 215).
Saya selalu mengasosiasikan Jo sebagai seorang pembelajar yang masih banyak 'belum-tahu'nya, bahkan untuk beberapa istilah umum. Sangat manusiawi, menurut saya, toh ia masih SMP, kan? Namun menjadi agak sedikit tak masuk akal ketika ia justru tahu tentang Glee, serial televisi remaja laris Amerika, mengingat Glee sendiri tidak tayang di stasiun televisi Indonesia dan Jo digambarkan memiliki keterbatasan soal akses internet maupun televisi berbayar, jadi saya merasa agak miss di bagian ini (hlm 66).
Pada akhirnya, saya tetap merasa puas banget membaca novel teenlit terbaru Ken ini. Saya yang sudah ngefans gaya menulis Ken sejak novel debutnya tak pernah merasa rugi meluangkan waktu untuk merunut kata demi kata yang dirangkainya. Untuk itu saya sangat merekomendasikan buat para pembaca setia novel teenlit atau yang masih ragu tapi ingin mencoba-baca novel bergenre teenlit untuk mencicipi racikan Ken Terate ini.
Selamat membaca, kawan!
My rating: 4,5 out of 5 star.
Wah, jadi pengen baca...... Dan keren Bang resensinya.... Belajar ah,
ReplyDeletewah aku jadi pingin baca jurnal jo 3 episede cinta setelah jurnal jo episode jurnal jo online
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete