Sunday, August 5, 2012

[Kabar Buku] Berbagi Deleted Scene Truth or Dare by Winna Efendi


Hai, metropop-lover, sudah pada baca novel GagasDuet bertajuk Truth or Dare karya bersama Winna Efendi dan Yoana Dianika? Saya sih belum, tapi saya sudah berjanji pada diri sendiri bahwa saya akan selalu mengoleksi dan membaca karya-karya Winna Efendi. I really love her writing. Jadi, semoga di waktu depan yang tak lama lagi, saya bisa membaca novel ini juga.


Nah, ternyata ada beberapa bagian dari cerita yang ditulis oleh Winna Efendi yang tidak jadi dimasukkan ke dalam novel ini ketika proses editing. Nah, buat yang penasaran, berikut bagian deleted scene tersebut yang saya copy-paste dari blog resmi Winna Efendi:

Dari blog Winna: http://littleblackink.multiply.com
Bagian 1
Bagian 2

Kali ini aku akan share deleted scenes dari novel Truth or Dare sebelum dicetak. Ada beberapa adegan yang akhirnya dibuang karena keterbatasan halaman, atau karena pengulangan dan isinya kurang sesuai untuk keseluruhan novel. Chapter ini kuberi judul Where We Belong, dan dibuang karena awalnya topik SAT (semacam ujian reguler bagi siswa SMA yang ingin mendaftar kuliah) merupakan salah satu bagian integral dari novel Truth or Dare, tapi karena terlalu panjang dan ada perubahan plot, maka dihapus :)

Buat yang belum baca Truth or Dare, mungkin akan ada sedikit spoiler di sini.

Enjoy!


Bagian 1
At some point in life the world’s beauty becomes enough.
You don’t need to photograph, paint, or even remember it.
It is enough.
-Toni Morrison-


Aku menggaruk kepala untuk kesekian kalinya, berusaha berkonsentrasi pada selembar kertas penuh kata-kata di hadapanku dan memahami apa artinya. Seperti biasa, kesulitanku membaca membuat segala sesuatunya terasa lebih sulit.

Sejak kecil, aku selalu bermasalah dengan kata-kata; baik yang verbal maupun tertulis. Mom bilang, aku baru mulai berbicara di umur tiga tahun, itu pun terbata-bata dan sering salah ucap. Ketika anak-anak seusiaku mulai belajar membaca dan menulis, aku selalu tertinggal karena tidak mampu mencerna informasi sebaik mereka. Di pertengahan middle school, akhirnya aku didiagnosa dengan disleksia, yaitu semacam penyakit yang berkaitan dengan disfungsi salah satu area dalam otak. Disleksia membuat prosesi otakku lamban; aku sering kesulitan menjawab jika dihadapkan dengan uraian pertanyaan yang rumit, juga membutuhkan waktu lebih lama untuk mempelajari bentuk dan lafal kata. Akibatnya, nilai akademisku bisa dibilang jauh dari baik, dan aku sering dicap bodoh atau kurang mampu berkonsentrasi.

Walaupun begitu, aku berusaha sebisaku untuk tidak tertinggal jauh dari teman-teman sekelas. Aku sering tinggal lebih lama di kelas untuk mencatat, atau meminta Cat untuk mengulang bagian-bagian yang belum kumengerti. Tanpanya, mungkin aku akan memegang posisi akhir di kelas, atau lebih parah lagi, kembali tinggal kelas. Ada sesuatu yang sangat tidak mengenakkan dari kembali mengulang pelajaran bersama wajah-wajah baru, sedangkan teman-teman seangkatanku sudah lulus dan hanya akulah yang tertinggal di belakang.

Tahun ini, sebagian besar murid-murid kelas sebelas mengambil SAT, sejenis ujian standar untuk pendaftaran universitas. Ujiannya sendiri terdiri dari tiga bagian – Critical Reading, Mathematics, dan Writing, ketiganya bukan area terbaikku. Aku dan Cat telah mendaftar untuk mengambil ujiannya di bulan Mei, sehingga belakangan ini kami lebih sering menghabiskan waktu luang sepulang sekolah untuk belajar bersama. Kadang-kadang, aku punya perasaan Cat hanya melakukannya demi aku yang memang membutuhkan waktu lebih lama untuk belajar, karena aku yakin dia bisa meraih skor tinggi dengan mata tertutup sekali pun. That’s how smart she is. Kalau mau, Cat bisa saja jadi juara pertama di kelas, tapi dia lebih suka mengalihkan tenaganya untuk hal-hal lain yang menurutnya lebih penting.

Sore ini kami kembali berkumpul di rumah Cat, mencoba menjawab pertanyaan demi pertanyaan sulit dari buku latihan SAT, ditemani Luna Blu yang menggelung malas di sebelah kakiku.

“Sebuah bank menawarkan 5.3% bunga tabungan per bulan. Seandainya kita menabung lima ratus dolar, berapa jumlah tabungannya setelah empat tahun?”

Tunggu, aku ingat pertanyaan ini, yang membutuhkan pangkat atau semacamnya. Aku mencoret-coret sebuah formula dasar di atas kertas, mencoba menemukan solusinya. Cat menunggu dengan sabar di sebelahku, kertasnya sendiri sudah terisi jawaban yang aku yakin sudah pasti benar. Julian juga dengan tekun ikut menuliskan jawaban yang dipecahkannya tanpa banyak kesulitan. Sebagai murid pertukaran pelajar, sebenarnya dia tidak perlu mengikuti SAT tahun ini. Tapi Julian suka belajar, dan demi cita-citanya masuk Harvard atau kampus-kampus Ivy League sejenis, dia rela menggunakan waktu santainya untuk belajar bersama kami.

500 x 1.053⁴

Aku meneliti jawabanku dengan tak yakin, lalu menatap Cat dan Julian untuk meminta pertolongan. Cat menggeleng, mencoret bagian yang salah dengan pena merahnya sambil menuliskan perhitungan yang benar di sampingnya.

“Sebelumnya, kita harus menyamakan satuan waktu periode menabung dengan periode bunganya,” jelasnya, menunjuk angka-angka di atas kertas. “Jadi formula yang benar adalah, jumlah uang dikali besarnya bunga pangkat empat puluh delapan bulan. Seperti ini.”

500 x 1.053⁴⁸

Huh? Aku berusaha mengerti apa yang dimaksud Cat, tapi otakku sedang tidak bisa diajak bekerjasama. Cat sepertinya melihat ekspresi bingungku, karena dia lalu menyingkirkan tumpukan kertas di atas meja seraya bangkit berdiri.

“Sudah, sudah,” katanya. “Kita terlalu lama belajar, otakku sudah hangus terpanggang rasanya. Lebih baik kita break sebentar. Gimana kalau kita makan es krim dulu?”

Aku menghela napas, lega karena bisa mengambil rehat sejenak sebelum mulai berperang lagi dengan angka dan huruf. “Setuju!”

Great. Sebentar, ya.” Cat menghilang di balik pintu kamarnya, meninggalkan aku dan Julian di sana untuk mengambil camilan dari kulkas. Menjelang awal musim panas, Cat biasanya menyetok es krim vanili dan junk food banyak-banyak di kabinet dapurnya. Kadang saking banyaknya, aku sering menemukan sekantung M&M’s yang sudah separuh dimakan di laci meja belajarnya, atau sepotong cokelat yang belum dihabiskan di lemari kamarnya.

Aku suka kamar Cat. Ukurannya tak terlampau luas, hanya sekitar lima belas kaki. Dindingnya dicat putih bersih, dengan satu sisi kosong yang memuat grafiti keren bertuliskan nama Catherine. Grafiti itu dibuatnya saat makeover kamar dua tahun lalu, menggunakan cat biru dan kuning yang kelihatan kontras dan mencolok. Grafiti itu adalah bagian favoritku dari kamar Cat, selain mozaik yang terdiri dari puluhan foto berukuran kecil. Cat selalu menambahkan foto-foto baru ke dalam mozaiknya; yang terbaru adalah fotonya bersama Ethan dan Chase, kedua abang tirinya, fotonya bersama Julian saat spring dance, dan fotoku yang sedang membawa papan bertuliskan charity for community. Di samping kanan didirikan sebuah instalasi berupa rak buku besar, yang memuat novel-novel science fiction favorit Cat dan buku-buku lainnya.

Iseng, aku mengulurkan sebelah tangan untuk meraba bagian belakang ensiklopedia milik Cat yang tersusun rapi di sana, dan mendapati sebatang Snickers ukuran mini di baliknya. Aku tersenyum geli – Cat selalu penuh kejutan. Kamarnya penuh ranjau makanan manis; yang perlu kau lakukan hanya lebih jeli mencari.

Samar-samar kudengar Cat sedang berargumen dengan ibunya mengenai pekerjaan rumah, sepertinya belum ada tanda-tanda akan segera kembali. Aku memutuskan untuk mengalihkan perhatian pada sebongkah kamus raksasa di atas meja, berusaha menghafalkan definisi kata mulai dari kategori huruf A. Menurut Cat, memperluas vocabulary dengan memahami arti kata-kata sulit akan sangat membantu saat mengerjakan bagian Critical Reading nantinya.

Abhor. Membenci.
Adversity. Kesulitan.
Alacrity. Dengan cepat dan antusias.
Arid. Sangat kering.
Assiduous. Tekun dan kerja keras.

Belum sampai lima kata, pandanganku mulai berkunang-kunang dan aku kepayahan mengingat arti dari masing-masing kata. Aku ingat terakhir kali Julian melemparkan pertanyaan-pertanyaan berbau vocabulary, aku kewalahan menjawabnya dan malah membalik-balikkan artinya.

“Hei, Julian. Bantu aku..”

Saat aku menoleh, aku menemukannya sedang terlelap, kedua lengan tertelungkup di atas meja. Beberapa jam berkutat dengan angka sepertinya telah membuatnya kecapekan sampai jatuh tertidur sepulas ini. Topi baseball yang biasa dikenakannya tergeletak di atas lantai, sehingga rambut hitamnya yang cepak mencuat-cuat ke berbagai arah. Kedua matanya terpejam rapat, memperlihatkan kelopak tebal dengan satu tahi lalat di sudut kanan; sebuah detil mengenainya yang tidak aku ketahui sebelumnya. Bibirnya membentuk separuh senyum, menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Entah mengapa, melihatnya seperti ini mengingatkanku akan adik perempuannya Juliet, dan foto mereka berdua yang ditunjukkan Julian waktu itu.

Untuk beberapa saat, aku tak berani bergerak, hanya diam memandangnya seperti ini. Aku takut dengan satu gerakan, satu helaan nafas, dia akan terbangun dan mendapatiku sedang mengamatinya. Aku takut ketika dia bertemu pandang denganku, dia akan dapat membaca emosi yang terpancar bola mataku.

Tapi aku sangat ingin menyentuhnya. Merasakan kehangatan kulitnya, meninggalkan sebuah jejak di sana, walau sangat singkat dan dia tidak akan pernah tahu. Tidak akan ada yang tahu. Aku ingin menyentuhnya dan membiarkan satu momen ini menjadi milikku seorang, tanpa Cat maupun orang lain di dalamnya.

Dengan sangat perlahan, aku memberanikan diri untuk mengulurkan sebelah tanganku, berhenti beberapa inci dari wajahnya. Sedikit lagi, ujung jariku akan menyentuh pipinya. Dengan tangan gemetar, aku berusaha mengumpulkan seluruh keberanianku untuk membuat kontak fisik.

Dia milik Cat.

Sesuatu melintas dalam pikiran, membuatku mengurungkan niat untuk bertindak lebih jauh. Secepat keinginan itu tiba, secepat itu pula ia padam. Tanganku terkulai, dan aku membiarkannya tetap gemetar di sisi-sisi tubuhku.

Julian masih tertidur, kini mulai mendengkur halus. Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak berhak melakukannya. Ada sebuah lingkaran kasat mata dengan Cat dan Julian di dalamnya, sedangkan aku berdiri di luar. Aku tidak dapat melangkah masuk, karena lingkaran itu tidak diciptakan untukku. Apa pun yang kulakukan, aku akan selalu berada di luar garis – melihat ke dalam.

Melihat dirinya.

**

Bagian 2

Kali ini merupakan chapter dari bagian epilogue, mengenai Heather dan Alice :) i actually love this chapter a lot, dan merasa sayang membuangnya dari keseluruhan novel. But I do what I have to do.

Here goes, enjoy!


Aku sedang membereskan tagihan-tagihan lama yang menumpuk di laci meja kasir ketika seseorang masuk ke toko dan berhenti di aisle yang menjual produk-produk kewanitaan. Dia berdiri dengan postur tak yakin, sebelah kakinya mengetuk-ngetuk lantai dan tangannya terjulur untuk mengambil sesuatu tapi tak jadi. Dia mengenakan jeans selutut dan kaus tipis yang tampak kurang sesuai untuk cuaca musim gugur, rambut emasnya yang bergelombang jatuh terurai di punggung. Aku dapat mengenali figur itu dengan mudah – Heather Mills.

Dia masih terlihat seperti dulu. Rambut panjang yang berkilau, mata biru cemerlang, wajah yang sempurna. Untuk sesaat aku terpaku memperhatikannya, kemudian dia menoleh dan bertatapan mata denganku, cukup lama hingga akhirnya seulas senyum terukir di wajahnya. Aku balas tersenyum tentatif.

Kabar terakhir mengenai Heather adalah, dia kuliah di salah satu universitas lokal Maine, tapi dropout menjelang tahun kedua. Pacarnya Dustin mendapat beasiswa penuh untuk football di Michigan, dan memutuskan untuk mengambilnya begitu lulus sekolah. Mereka sempat berpacaran jarak jauh selama setahun penuh, sampai akhirnya putus di tengah jalan. Entahlah, setidaknya itu kabar yang beredar.

Dia memutuskan untuk tidak membeli barang yang tadi hampir diambilnya, lalu berjalan ke arah kasir. Aku masih memegang kumpulan tagihan di tangan, tidak yakin apa yang harus kukatakan padanya. Haruskah aku menganggapnya seperti pembeli? Menyapanya dengan ucapan khas welcome to Holden Pharmacy, how can I help you today? Kurasa tidak.

“Hai, Alice.” Dia yang memecahkan keheningan duluan.

“Hai.. Heather.”

“Temanmu?” Thomas, yang sedang membawa kotak kardus berisi batch parasetamol terbaru, mengempaskan barang-barangnya di dekatku sambil mengelap keringat. Aku dan Heather berpandangan; sama-sama tidak tahu bagaimana harus menjawab. Teman bukanlah kata yang tepat untuk mendefinisikan hubungan kami. “Ambillah break sebentar,” Thomas berkata lagi. “Aku akan mengambil alih di sini. Sekalian belikan kebab di restoran Turki itu ya, aku belum makan dari tadi.”

Aku melirik Heather, yang kelihatan sama salah tingkahnya, tapi lalu aku menjawab, “Oke. Aku akan segera kembali.”

Kami berdua melangkah keluar. Dia masih tak berkata apa-apa, tapi saat aku mulai berjalan ke arah yang berlawanan untuk membeli titipan Thomas, Heather menyentuh lenganku. Aku berbalik, agak terkejut. Heather tidak suka menyentuh orang-orang yang tidak disukainya, kecuali jika dia ingin mendorong atau melemparkan barang ke arahnya.

“Apa kabar, Alice?”

“Baik.”

Dia tersenyum kecut. “Kau masih membenciku, ya?”

“Aku tak pernah membencimu.”

Kali ini dia tertawa. “Really? Setelah apa yang kulakukan padamu?”

Aku mengedikkan bahu. “Aku tidak menyalahkanmu.”

Kami berdiri di jalan; Heather dengan kedua tangan di dalam saku, dan aku yang memainkan benang kusut dari sweatermerahku. “Hei.. mau minum kopi?”

Aku mendongak. “Baiklah.”

Kami membeli minuman dari The Gothic, salah satu kedai kopi favoritku, masing-masing memegang cangkir styrofoamdengan cairan kopi panas yang mengepul. Perasaan ini aneh – duduk di tepi trotoar bersama gadis paling populer Belfast Area High School, mantan cheerleader yang menyandang predikat prom queen di pesta senior kami. Gadis yang dulu sering mengacak-acak isi lokerku, menyabotase persahabatanku dengan Cat, mengataiku dengan julukan-julukan yang membuatku terkenal di seantero sekolah – si Bau, si Dungu, dan masih banyak lagi. Lucunya, aku tak pernah benar-benar membencinya. Dia adalah Heather, dan Heather akan selalu tetap seperti itu.

“Kau masih menghubungi Catherine?” Dia bertanya, pelan-pelan menyisip kopinya.

Aku menggeleng. “Kau?”

“Hanya pernah melihatnya di Facebook. Sudah bertahun-tahun sejak kami bicara.” Heather menoleh, ekspresinya tulus.

“Alice, I’m sorry. Kau dan aku sama-sama tahu akulah yang dulu membuat hidupmu seperti neraka.”

“Sudah kubilang, aku nggak menyalahkanmu.”

Dia menggeleng. “Aku sering memikirkannya.. memikirkanmu. Kurasa aku hanya cemburu, you know. Aku yang lebih dulu berteman dengan Catherine, tapi dia malah memilihmu. Dulu.. kami bersahabat. Tapi sejak dia dekat denganmu, segalanya berubah.”

Aku tidak tahu itu. Setahuku, Cat selalu menganggap Heather terlalu diva.

“Aku tahu apa yang kukatakan sekarang tidak akan mengubah apa-apa, tapi kuharap kau paham.” Dia menghabiskan sisa minumannya, kemudian melempar wadahnya ke tempat sampah – masuk dengan sempurna. “Cowok yang di toko farmasi tadi pacarmu? He’s hot.” Aku menyangkal dengan muka merah padam, tapi Heather hanya tertawa. “Jangan bilang kau masih suka sama cowok Asia itu – siapa namanya, Julian?”

Heather tahu? Apa perasaanku sedemikian kentaranya?

Don’t worry, aku akan menjaga rahasiamu.” Heather bangkit dan membersihkan debu dari celananya. “Nah, sekarang aku pergi dulu. I’ll see you around, Alice, okay?”

Saat dia bangkit, barulah aku melihat sesuatu yang berbeda dari bentuk tubuhnya; perutnya tak lagi rata, memperlihatkan sedikit jendulan samar yang tak akan jelas terlihat jika kita tidak benar-benar memperhatikannya.

Bentuknya tersembunyi di balik karet celana jeans dan kaus longgarnya, tapi aku yakin aku tak salah lihat. Aku mengamati wajah Heather, mengerti apa yang sedang dicarinya di toko farmasi barusan, dan mengapa dia ragu mengambilnya. Untuk sesaat, aku ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya aku hanya mengatakan, “Take care of yourself, Heather.”

Dia tersenyum dan memberikan lambaian singkat sebelum menghilang di tikungan jalan.
**

Artikel adalah milik dan kepunyaan Winna Efendi. Posting artikel ini telah dimintakan izin kepada Winna Efendi.

Terima kasih, Winna...dan tetap produktif menulis yaaaa....:)

2 comments:

  1. whoaaa deleted scene nya bagus-bagus ><
    deleted scenenya aja udah bagus apalagi yang udah ke publish ya!! masuk daftar baca deh XD
    thanks for shared, have agreat weekend :)

    ReplyDelete
  2. oh my God, that's spoiler! dan aku malah melanjutkan aja membaca, dan makin terhanyut, dan ga sadar kalo uda abis! aaaaaaaaaaaa, aku jd mau beli novelnya. awalnya sih ga tertarik gara2 ada review di goodreads yg bikin aku berpikir ulang. tapi-tapi-tapi, sekarang saya mau beli!

    PS: kak ijul, tuh avatar keren banget! siapa yg gambarin???

    ReplyDelete