[Resensi Novel Teenlit] TwinWar by Dwipatra
#8_2017
First line:
DUA tahun lebih sudah berlalu sejak Hisa pindah dari kamar ini.
---hlm. 7, Bab 1
Gara dan Hisa kembar identik. Penampilan kedua cowok itu persis sama. Karennya pun sama. Tapi minat dan kemampuan? Beda jauh! Gara berotak encer dan kemampuan akademiknya gemilang. Sementara itu, Hisa jago olahraga dan sederet trofi kejuaraan berhasil ia raih. Walaupun bersekolah di SMA berbeda, persaingan mereka tak pernah surut.
Dalam keluarga mereka, ada satu aturan yang tidak boleh mereka langgar. "Gara dan Hisa tidak boleh pacaran sebelum lulus SMA dan diterima masuk di perguruan tinggi." Kalau sampai aturan itu dilanggar, konsekuensi yang akan mereka terima tidak main-main.
Kisah ini bermula ketika Hisa mengetahui ada foto cewek di handphone Gara. Ya, diam-diam Gara memang berpacaran dengan Dinar. Mendapati rahasia Gara, Hisa seolah mendapat senjata ampuh untuk "menghancurkan" saudara kembarnya. Jadi, siapa bilang saudara kembar nggak bisa perang?
Dalam keluarga mereka, ada satu aturan yang tidak boleh mereka langgar. "Gara dan Hisa tidak boleh pacaran sebelum lulus SMA dan diterima masuk di perguruan tinggi." Kalau sampai aturan itu dilanggar, konsekuensi yang akan mereka terima tidak main-main.
Kisah ini bermula ketika Hisa mengetahui ada foto cewek di handphone Gara. Ya, diam-diam Gara memang berpacaran dengan Dinar. Mendapati rahasia Gara, Hisa seolah mendapat senjata ampuh untuk "menghancurkan" saudara kembarnya. Jadi, siapa bilang saudara kembar nggak bisa perang?
Judul: TwinWar
Pengarang: Dwipatra
Editor: Miranda Malonka
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 296 hlmn
Rilis: 4 Desember 2017
Harga: Rp69.000
ISBN: 9786020376790
My rating: 3 out 5 star
Well, pendapat saya untuk novel ini mungkin termasuk yang enggak populer, ya, mengingat sampai dengan sekarang rating untuk novel ini di Goodreads cukup bagus, 4.04. Saya pun agak bimbang antara 2,5 bintang menuju dua atau cenderung tiga, yang pada akhirnya dengan segala pertimbangan saya lebih condong membulatkan ke tiga bintang.
Membaca teenlit (di saat sekarang) serupa mengorek-ngorek kotak kenangan. Mencari sekelumit kesan yang tertinggal di masa ke-teenlit-an saya sendiri. Beberapa hal tak berubah, meskipun sebagian besarnya berubah. Tentu saja, teknologi mengubah segalanya, termasuk pola kehidupan individu dan sosial di bangku SMA dari waktu ke waktu.
Mengetahui TwinWar dinobatkan sebagai Juara 1 kompetisi GWP batch 3, membuat saya demikian penasaran. Well, saya memang pengejar segala yang berbau top-top-an. Saya mendengarkan lagu yang sedang hits dan menduduki tangga lagu teratas. Saya menonton film yang tengah merajai panggung box office. Dan saya pun tak ketinggalan membaca buku-buku pemenang penghargaan ini dan itu. Lebih ke menuntaskan rasa penasaran: benarkah mereka (lagu, film, buku) sebagus penilaian juri/orang-orang?
Jujur saja, saat ini saya hanya membaca teenlit karangan Ken Terate saja (dan sesekali karya Windhy Puspitadewi). Saya malas mencoba-coba. Paling maksimal, saya akan bertanya sana-sini dulu jika ada satu-dua judul teenlit yang sedang hits, yang belum tentu saya baca juga. Maka, ketika memutuskan mengunduh novel TwinWar di aplikasi ScoopPremium, saya punya ekspektasi setinggi langit(-langit kamar), bahwa saya (mungkin) punya cadangan nama selain Ken (dan Windhy) untuk bisa saya ikuti karya tulis teenlitnya.
Hasilnya: saya enggak yakin. TwinWar tak berhasil memenuhi harapan. Segala sanjungan yang diberikan untuk novel ini, hanya satu-dua saja yang saya aminkan. 'Lil bit disappointing, for me, at least. Bukan enggak bagus, tapi lebih ke "gagal" memenuhi ekspektasi.
Pertama, alasan pribadi: saya tak suka plot gontok-gontokan di awal lalu jadi akur di akhir. Hahaha. Lha terus kenapa masih nekat baca juga? Salahkan rasa penasaran saya. Lagian kenapa enggak suka plot begitu? Quite predictable, menurut saya. Makanya, sepanjang baca saya menunggu plot-twist, yang sayangnya enggak ada sampai akhir. Entah saya baca di review siapa, yang bilang novel ini emosional dan bikin nangis, saya pikir salah satu dari si kembar bakal ada yang dimatiin, dan saya memang sempat kepikiran juga sewaktu ada adegan di****li dan pi****n itu. Eh, ternyata enggak.
Untuk cerita soal saudara kembar, saya suka banget sama film The Parent Trap versi tahun 1998 yang dibintangi Lindsay Lohan (sewaktu kecil). Kisahnya sederhana, tapi ditulis dan dirangkai sedemikian memikat sehingga saya benar-benar jatuh cinta pada kisahnya. Premisnya: dua saudari kembar yang harus terpisah karena orangtua meraka bercerai, satu di Inggris (Annie) dan satu lagi di Amerika (Hallie). Keduanya kembar identik, cuma karena beda lingkungan dan pola pengasuhan, memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Namun, sama dengan film ini, saya pun agak kurang diyakinkan dengan body type Hisa-Gara ketika bertukar peran. Diceritakan Hisa adalah maniak olahraga (khususnya lari), sedangkan Gara cenderung kutu buku. Dari situ, bukankah tak cukup hanya sekadar mengubah gaya rambut untuk bisa mengelabui teman dekat? Paling tidak Hisa punya bodi tipe atlet yang lebih terbentuk ketimbang Gara, kan? Pun, dengan sikap tubuh. Atau saya ada miss pada bagian ini?
Kedua, alasan pribadi: saya tak suka gaya menulis yang mengajak pembaca bicara. Hahaha. Cuman personal taste saja. Untuk standar fiksi, saya paling benci tokoh yang suka ngomong sendiri dan narator yang seolah-olah mengobrol sama saya, menggunakan kata "kalian" atau "kamu" ketika mendeskripsikan suatu keadaan (saya lupa nge-bookmark contoh di naskah ini), tapi tahulah ya, yang saya maksud?
Ketiga, saya merasa pengarang sedang mengampanyekan "mari pacaran di SMA" di sini. Yaelah, biarin saja, sih, emang enggak boleh? Hahaha, ya bolehlah, hanya saja saya lebih menyukai hal-hal yang dibuat natural. Di novel ini (yang saya tangkap), "larangan pacaran" dianggap mengada-ada dan tidak efektif, jadi mestinya bebaskan saja para remaja SMA berpacaran. Saya agak konservatif menyoal pacaran ini.
Keempat, meskipun saya tak pernah tergabung di klub kompetitif apa pun selama SMA (saya hanya pernah ikut ekskul Pramuka), saya rasa agak sedikit janggal jika antaranggota klub memiliki rivalitas-menjurus-permusuhan seperti yang ditunjukkan Hisa dan Faisal. Dan, guru olahraga yang menjadi pembina klub itu pun seolah-olah membiarkan. Saya paling enggak suka bagian ini. Entahlah, sebagai pengamat olahraga abal-abal, saya kok merasa novel ini gagal menunjukkan semangat sportivitas. Apalagi ini masih pada piyik, lho, mestinya rivalitasnya tak semengerikan itu. Kalau digambarkan beda sekolah, mungkin masih masuk akal. Entahlah, saya pada posisi tak setuju konflik ini yang dipilih untuk mewarnai kisah salah satu dari si kembar.
Kelima, saya pun sempat membaca di salah satu review yang menyebut TwinWar bisa jadi jembatan untuk para remaja lelaki menyukai membaca (terutama teenlit) karena tema dan nuansanya yang maskulin. Hmmm, setuju-tak-setuju. Hahaha. Saya rasa tetap kurang jantan. Namun, saya setuju saja sih, bahwa TwinWar dan logo baru teenlit yang lebih netral, bisa saja jadi pemicu (kembali) booming-nya novel teenlit, termasuk di kalangan remaja cowok.
Keenam, semua orang harus happy. Hmmm, saya masih berharap ada yang unik nan berbobot dari TwinWar ini. Sayang, setiap konflik yang ada seolah-olah "dipaksakan" harus selesai secara tuntas, dan harus damai. Selain minim plot twist, tak ada yang "meledak" di mana pun di novel ini. Sempat kaget saja tidak.
Ketujuh, ehmmm, masih cukup banyak typo bertebaran di sana-sini. Oh, saya baca versi digitalnya, sih, enggak tahu apakah versi fisiknya bakal sama atau lebih rapi ketimbang digitalnya. Typo minor doang, tapi tetap mengganggu buat saya.
Di sisi lain, TwinWar memang ditulis dengan gaya lugas dan selipan humor di sana-sini (meskipun buat saya tetap kurang nendang) serta diksi sederhana yang membuat rajutan kisahnya mengalir lancar. Well, sebagai penggila quote, saya agak kecewa karena tak menemui banyak kalimat yang memorable dan cocok dipasang sebagai caption di Instagram (sepanjang enggak dilarang). #eaaa
Uhmm, saya sudah mengunduh ketiga naskah pemenang GWP. Kemarin sempat kepingin memulai-baca Seventeen Once Again, yang kayaknya lebih lincah gaya penceritaannya, tapi... enggak dulu, kayaknya. Saya salip One of Us is Lying aja dulu, deh.
End line:
"Gar, lo sadar nggak, kalau lagi dijadiin lap keringet sama Hisa?"
---hlm. 288, Bab Epilog
Membaca teenlit (di saat sekarang) serupa mengorek-ngorek kotak kenangan. Mencari sekelumit kesan yang tertinggal di masa ke-teenlit-an saya sendiri. Beberapa hal tak berubah, meskipun sebagian besarnya berubah. Tentu saja, teknologi mengubah segalanya, termasuk pola kehidupan individu dan sosial di bangku SMA dari waktu ke waktu.
Mengetahui TwinWar dinobatkan sebagai Juara 1 kompetisi GWP batch 3, membuat saya demikian penasaran. Well, saya memang pengejar segala yang berbau top-top-an. Saya mendengarkan lagu yang sedang hits dan menduduki tangga lagu teratas. Saya menonton film yang tengah merajai panggung box office. Dan saya pun tak ketinggalan membaca buku-buku pemenang penghargaan ini dan itu. Lebih ke menuntaskan rasa penasaran: benarkah mereka (lagu, film, buku) sebagus penilaian juri/orang-orang?
Jujur saja, saat ini saya hanya membaca teenlit karangan Ken Terate saja (dan sesekali karya Windhy Puspitadewi). Saya malas mencoba-coba. Paling maksimal, saya akan bertanya sana-sini dulu jika ada satu-dua judul teenlit yang sedang hits, yang belum tentu saya baca juga. Maka, ketika memutuskan mengunduh novel TwinWar di aplikasi ScoopPremium, saya punya ekspektasi setinggi langit(-langit kamar), bahwa saya (mungkin) punya cadangan nama selain Ken (dan Windhy) untuk bisa saya ikuti karya tulis teenlitnya.
Hasilnya: saya enggak yakin. TwinWar tak berhasil memenuhi harapan. Segala sanjungan yang diberikan untuk novel ini, hanya satu-dua saja yang saya aminkan. 'Lil bit disappointing, for me, at least. Bukan enggak bagus, tapi lebih ke "gagal" memenuhi ekspektasi.
Pertama, alasan pribadi: saya tak suka plot gontok-gontokan di awal lalu jadi akur di akhir. Hahaha. Lha terus kenapa masih nekat baca juga? Salahkan rasa penasaran saya. Lagian kenapa enggak suka plot begitu? Quite predictable, menurut saya. Makanya, sepanjang baca saya menunggu plot-twist, yang sayangnya enggak ada sampai akhir. Entah saya baca di review siapa, yang bilang novel ini emosional dan bikin nangis, saya pikir salah satu dari si kembar bakal ada yang dimatiin, dan saya memang sempat kepikiran juga sewaktu ada adegan di****li dan pi****n itu. Eh, ternyata enggak.
Untuk cerita soal saudara kembar, saya suka banget sama film The Parent Trap versi tahun 1998 yang dibintangi Lindsay Lohan (sewaktu kecil). Kisahnya sederhana, tapi ditulis dan dirangkai sedemikian memikat sehingga saya benar-benar jatuh cinta pada kisahnya. Premisnya: dua saudari kembar yang harus terpisah karena orangtua meraka bercerai, satu di Inggris (Annie) dan satu lagi di Amerika (Hallie). Keduanya kembar identik, cuma karena beda lingkungan dan pola pengasuhan, memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Namun, sama dengan film ini, saya pun agak kurang diyakinkan dengan body type Hisa-Gara ketika bertukar peran. Diceritakan Hisa adalah maniak olahraga (khususnya lari), sedangkan Gara cenderung kutu buku. Dari situ, bukankah tak cukup hanya sekadar mengubah gaya rambut untuk bisa mengelabui teman dekat? Paling tidak Hisa punya bodi tipe atlet yang lebih terbentuk ketimbang Gara, kan? Pun, dengan sikap tubuh. Atau saya ada miss pada bagian ini?
Kedua, alasan pribadi: saya tak suka gaya menulis yang mengajak pembaca bicara. Hahaha. Cuman personal taste saja. Untuk standar fiksi, saya paling benci tokoh yang suka ngomong sendiri dan narator yang seolah-olah mengobrol sama saya, menggunakan kata "kalian" atau "kamu" ketika mendeskripsikan suatu keadaan (saya lupa nge-bookmark contoh di naskah ini), tapi tahulah ya, yang saya maksud?
Ketiga, saya merasa pengarang sedang mengampanyekan "mari pacaran di SMA" di sini. Yaelah, biarin saja, sih, emang enggak boleh? Hahaha, ya bolehlah, hanya saja saya lebih menyukai hal-hal yang dibuat natural. Di novel ini (yang saya tangkap), "larangan pacaran" dianggap mengada-ada dan tidak efektif, jadi mestinya bebaskan saja para remaja SMA berpacaran. Saya agak konservatif menyoal pacaran ini.
Keempat, meskipun saya tak pernah tergabung di klub kompetitif apa pun selama SMA (saya hanya pernah ikut ekskul Pramuka), saya rasa agak sedikit janggal jika antaranggota klub memiliki rivalitas-menjurus-permusuhan seperti yang ditunjukkan Hisa dan Faisal. Dan, guru olahraga yang menjadi pembina klub itu pun seolah-olah membiarkan. Saya paling enggak suka bagian ini. Entahlah, sebagai pengamat olahraga abal-abal, saya kok merasa novel ini gagal menunjukkan semangat sportivitas. Apalagi ini masih pada piyik, lho, mestinya rivalitasnya tak semengerikan itu. Kalau digambarkan beda sekolah, mungkin masih masuk akal. Entahlah, saya pada posisi tak setuju konflik ini yang dipilih untuk mewarnai kisah salah satu dari si kembar.
Kelima, saya pun sempat membaca di salah satu review yang menyebut TwinWar bisa jadi jembatan untuk para remaja lelaki menyukai membaca (terutama teenlit) karena tema dan nuansanya yang maskulin. Hmmm, setuju-tak-setuju. Hahaha. Saya rasa tetap kurang jantan. Namun, saya setuju saja sih, bahwa TwinWar dan logo baru teenlit yang lebih netral, bisa saja jadi pemicu (kembali) booming-nya novel teenlit, termasuk di kalangan remaja cowok.
Keenam, semua orang harus happy. Hmmm, saya masih berharap ada yang unik nan berbobot dari TwinWar ini. Sayang, setiap konflik yang ada seolah-olah "dipaksakan" harus selesai secara tuntas, dan harus damai. Selain minim plot twist, tak ada yang "meledak" di mana pun di novel ini. Sempat kaget saja tidak.
Ketujuh, ehmmm, masih cukup banyak typo bertebaran di sana-sini. Oh, saya baca versi digitalnya, sih, enggak tahu apakah versi fisiknya bakal sama atau lebih rapi ketimbang digitalnya. Typo minor doang, tapi tetap mengganggu buat saya.
Di sisi lain, TwinWar memang ditulis dengan gaya lugas dan selipan humor di sana-sini (meskipun buat saya tetap kurang nendang) serta diksi sederhana yang membuat rajutan kisahnya mengalir lancar. Well, sebagai penggila quote, saya agak kecewa karena tak menemui banyak kalimat yang memorable dan cocok dipasang sebagai caption di Instagram (sepanjang enggak dilarang). #eaaa
Uhmm, saya sudah mengunduh ketiga naskah pemenang GWP. Kemarin sempat kepingin memulai-baca Seventeen Once Again, yang kayaknya lebih lincah gaya penceritaannya, tapi... enggak dulu, kayaknya. Saya salip One of Us is Lying aja dulu, deh.
End line:
"Gar, lo sadar nggak, kalau lagi dijadiin lap keringet sama Hisa?"
---hlm. 288, Bab Epilog
0 comments:
Post a Comment