Tuesday, June 23, 2015

[Resensi Novel Teenlit] Minoel by Ken Terate


Jangan jadi IDIOT karena cinta...


Kata orang, cinta butuh pengorbanan. Kata orang, cinta berarti memberi. Itulah yang dipercaya Minoel saat Akang menawarkan cinta dan mimpi indah. Minoel melayang ke awang-awang. Akhirnya ada juga cowok yang mencintai dirinya yang cacat.

Minoel menerima cinta Akang. Meskipun itu berarti dia tidak bisa ikut kegiatan hadrah dan pramuka lagi. Meski itu berarti dia tidak bisa sering-sering main dan gosip bareng Lilis dan Yola lagi.

Namun, Akang berubah. Lelaki itu mulai bertingkah kasar dan tak masuk akal. Inilah ujian cinta Minoel. Akang mau menerimanya yang serba kekurangan, miskin, bodoh, dan cacat. Sudah seharusnya dia menerima kelakuan Akang yang buruk, kan? Toh buruknya hanya kadang-kadang.

Yola dan Lilis terus membela dan mengingatkan Minoel bahwa Akang tidak baik untuknya, dan Minoel terus mengabaikan teman-temannya. Tapi, ketika Akang mulai menuntut Minoel menyerahkan diri sepenuhnya, Minoel mulai bertanya apakah cinta memang butuh pengorbanan SEBESAR itu? Lebih jauh lagi, apakah itu benar-benar cinta?

Judul: Minoel
Pengarang: Ken Terate
Pewajah sampul: Erick Pramono
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 272 hlm
Harga: Rp55.000 (beli di Gramedia Gandaria City)
Rilis: Mei 2015
ISBN: 9786020316802

https://www.goodreads.com/book/show/25579184-minoel?ac=1

Disadari atau tidak, salah satu tugas seorang pengarang adalah menyediakan sepasang sepatu untuk bisa dicoba dikenakan oleh pembacanya. Mau tak mau, pembaca mesti rela melepaskan sepatunya sendiri terlebih dahulu dan mencoba sepatu yang disediakan si pengarang tersebut. Harus ada kerelaan, kalau tidak maka sedari awal pembaca sejatinya sudah menolak menerima gagasan apa pun yang akan disampaikan pengarang dalam bukunya.

Kali ini, lewat Minoel, Ken Terate menawarkan sepasang sepatu milik Minoel untuk saya coba kenakan agar saya bisa menyelami suasana batin Minoel, seorang gadis SMA yang dikisahkan difabel (pincang), melarat, orangtua pemarah, dan lingkungan yang serbaberat. Beragam konflik mesti ikut saya rasai dan dari situlah saya ikut terlibat secara emosional dalam kisah ini. Mencoba memahami dan meresapi setiap adegan kehidupan remaja penuh liku ini.


Temanya memang jarang diangkat oleh penulis lokal, apalagi di genre-lini ini, tapi bukannya enggak pernah. Keberanian Ken mengangkat tema ini dengan latar belakang daerah Gunungkidul yang masih dalam banyak stigma terbelakang dan tertinggal (termasuk saya), patut diacungi jempol. Nuansa kedaerahan berhasil dikemas sebagai penguat konflik dan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Hebatnya, nuansa itu tetap membuat novel ini dapat dibaca oleh siapa pun, dari daerah mana pun (menurut saya, sih, begitu).

Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) hampir sama dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), sama-sama terjadi kekerasan dalam hubungan, baik yang menimbulkan luka fisik maupun luka psikis. Biasanya tindak kekerasan terjadi karena salah satu pihak lebih lemah dibanding yang lain. Ini tidak hanya menyangkut soal KDP atau KDRT tapi juga tindak kekerasan pada umumnya. Minoel adalah gambaran yang tepat sebagai sosok yang lemah dalam hubungan berjudul pacaran dalam buku ini. Ia adalah gadis yang merasa serbakurang tapi beruntung bisa dipacari Akang. Oleh karenanya, ia bersedia menyerahkan semua-muanya pada kekasihnya itu. Sampai pada satu titik, datanglah dilema utama dalam hubungan di luar pernikahan, SEX. Apakah berhubungan intim menjadi syarat sah pacaran? Itulah titik puncak pemasrahan diri Minoel pada Akang. Dilema berat yang mengguncangkan dirinya. Apa pilihan yang akhirnya diambil oleh Minoel? Silakan baca sendiri novel ini untuk mengetahui jawabannya, ya. 


Karakter para tokohnya pun tersaji dengan sangat kuat, baik tokoh protagonis maupun antagonisnya. Setiap celah dieksplorasi dengan saksama untuk mendukung alur cerita. Pada banyak bagian, saya gemas bukan main dengan "idiotnya" Minoel yang mabuk kepayang pada Akang yang sudah jelas-jelas buruk perangainya. Mohon untuk tidak emosi lalu tak menyelesaikan membaca novel ini, ya. Kalau kamu hanya berhenti sampai tengah, maka kamu tak bisa mengambil apa-apa. Yang ada hanya emosi belaka. Tapi, bertahanlah hingga halaman terakhirnya. Di sana, kamu bisa menentukan pilihan apa yang baik diambil untuk mengatasi permasalahan yang diceritakan terjadi pada Minoel. Soal kamu setuju atau tidak, itu lain soal. Yang pasti, kamu baru bisa men-judge-nya sehabis membaca tuntas keseluruhan halamannya.

Buat saya, ceritanya cukup berhasil mengalir sesuai dengan "niatan" dan tujuan penulisan naskahnya. Tak hanya kisah Minoel-Akang saja yang tersaji, subplot dari dua sahabat dengan masing-masing latar belakang keduanya dihadirkan dengan cukup baik. Ken (sepertinya berhasil) melakukan riset yang memadai untuk memperkuat kisah Minoel. Saya pun seolah-olah ikut menjadi warga di daerah tersebut. Meski tak digambarkan dengan mendetail, beberapa objek wisata pantai yang disebutkan dalam cerita ini sukses membuat saya penasaran. Saya jadi kepingin mengunjungi pantai di Gunungkidul.

Pantai Indrayanti, foto dari sini: http://www.yukpiknik.com/destinasi/pantai-di-gunung-kidul/
Pantai Jungwok, foto dari sini: http://www.yukpiknik.com/destinasi/pantai-di-gunung-kidul/

Meskipun bertema (agak) berat, sejatinya buku ini tetap ringan dengan bahasa khas remaja bercampur unsur daerah Yogyakarta, tepatnya Gunungkidul. Jadi, yang masih remaja (teenager) saya menyarankan untuk membaca novel ini, yang lebih dewasa pun enggak papa lho, baca ini. Mungkin kalau adik-adik yang masih remaja butuh bertanya-tanya, silakan bertanya pada orang yang lebih dewasa (tidak harus yang lebih tua, hahaha). Paling tidak, diskusikanlah, jangan dipendam sendiri. Berbagi masalah, dalam batas kewajaran tertentu, dipercaya bisa meringankan beban masalah itu. Cobalah.

Overall, seperti bisa, saya selalu jatuh cinta pada gaya menulis Ken Terate. Entah objektif atau tidak, 4 dari 5 bintang saya berikan untuk Minoel ini. Selamat membaca, tweemans.

0 comments:

Post a Comment