Saturday, January 17, 2015

[Resensi Novel Young Adult] Voice by Ghyna Amanda Putri


Tak cukup hanya sekadar premis yang 'cantik'...
2015-#1
“... ada yang bisa kami bantu?” “Nggg... gini, Mas...”

Dipanggil “Mas” lagi? Kalau bukan “Mas” ya “Om”, paling bagus “Bapak”. Serbasalah memang kalau punya suara kelewat ganteng. Tiap kali menerima telepon, Kirana pasti dikira laki-laki, padahal dia jelas cewek tulen.

Walau kadang membuat orang salah mengira, suara itu pula yang membawa Kirana memasuki industri yang tak pernah dibayangkannya: menjadi voice actor dan mengisi suara untuk karakter utama lelaki dalam cerita animasi. Entah ini termasuk kesempatan emas atau malah malapetaka, karena kemudian Kirana harus berpasangan dengan seorang cowok yang punya suara lembut dan bening bernama Akira.

Memang, Kirana dan Akira awalnya selalu berdebat, tapi akhirnya mereka bisa juga bersama-sama menyingkirkan batu sandungan dan menjadi voice actor yang dapat menghidupkan karakter dalam layar, walau dengan suara yang tertukar; Kirana dengan suara gantengnya, dan Akira dengan suara lembutnya.

Judul: Voice
Pengarang: Ghyna Amanda Putri
Kover: Eduard Iwan Mangopang
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 192 hlm
Harga: Rp40.000 (beli di Gramedia Plaza Semanggi)
Rilis: 2014
ISBN: 9786020309477
Rating: 2,5 out of 5 star

Harus saya bilang bahwa sinopsis di sampul belakang novel inilah yang membuat saya sangat bersemangat untuk segera mencicipi naskah kesekian hasil racikan Ghyna Amanda ini. Well, ini menjadi buku Ghyna pertama sekaligus novel berlini Young Adult by GPU pertama yang saya baca. Kalau tak salah, saya sempat mengintip-baca Heartsease yang saya beli secara impulsif dalam suatu pesta buku dengan diskon besar-besaran, dan jujur saja saya belum begitu menikmati gaya menulis Ghyna.

Setelah berkali-kali terjebak dilema beli-enggak-beli-enggak, akhirnya Voice terbeli juga dan langsung saya baca. Hmm, overall tidak sebagus yang saya harapkan, tapi saya bisa merasai gaya menulis Ghyna sebenarnya asyik banget. Rajutan plotnya luwes meski kelewat simpel. Memang tak lantas saya menyebut diri sebagai pencinta drama atau konflik, tapi menurut saya konflik utama di Voice ini masih nanggung alias kurang tergali secara optimal.

Pokok cerita adalah takdir yang mempertemukan Kirana dan Akira yang mesti berukar peran melalui suara mereka. Kirana yang perempuan ternyata memiliki suara "ganteng" yang lebih cocok dimiliki seorang laki-laki, sedangkan Akira justru sebaliknya. Cowok keturunan Jepang itu malah punya suara lemah lembut seperti putri keraton. Menarik, kan? Buat saya menarik. Tapi... entahlah, saya merasa penulis kurang fokus pada inti utamanya itu dan tampak susah payah membangun hubungan asmara antara Kirana dan Akira.


Saya sudah membayangkan kekagetan orang-orang di sekeliling Kirana-Akira ketika akhirnya mereka mendapat peran yang tertukar itu. Tapi, nyatanya adem ayem saja. Atau mestinya memang tidak ada yang perlu dikagetkan dari situasi tersebut? Memang, sih, ada satu bagian yang menggambarkan betapa tertukarnya peran itu menjadi sebuah kesalahpahaman, yaitu ketika Kirana-Akira mendatangi studio rekaman karena dipanggil dalam kapasitas terpilih untuk berperan di sebuah film animasi hasil lomba/audisi online.

Omong-omong soal lomba/audisi online untuk studio rekaman besar dalam proyek pembuatan film animasi kerja sama Indonesia-Jepang, apakah akan segegabah sebagaimana terjadi di Bab 3 novel ini? I don't think so. Tapi, anggaplah terjadi kecelakaan (atau justru keajaiban) sehingga si studio cenderung abai, tapi untuk lomba/audisi seharusnya peserta membuat syarat melampirkan data pribadi di surel, kan? Anggap saja alamat surel Kirana sangat mencerminkan dirinya, misal KiranaPutri@gmail.com dan Akira yang super-confident itu tak melampirkan keterangan pribadi yang gamblang di surelnya, sehingga pihak studio dengan percaya diri memanggil Kirana Putri tepat sesuai namanya. Lalu apa alasan Kirana sampai salah mengirimkan sampel suaranya yang seharusnya dikirimkan ke temannya (Indra) alih-alih ke studio rekaman (Studio Rahmana) yang memproduksi film animasi tersebut? Hmm, anggap saja alamat surel si studio dan Indra mirip atau bahkan sama. Hiyap, kita hidup dari beragam asumsi, karena penulis tak memberikan penjelasan yang cukup akan takdir awal pertukaran peran Kirana-Akira itu.



Kembali ke pokok permasalahan, dikarenakan penulis tak sepenuhnya menggarap konflik utama dengan baik, cerita dari Bab 3 itu hingga ke halaman terakhir berlalu tanpa kesan apa-apa, cenderung datar dan membosankan. Permasalahan yang dikembangkan datang dari ketidaksiapan Kirana untuk mencoba hal baru dalam hidupnya. Gesekan dengan voice actor lain sampai dengan keputusan Kirana untuk keluar dari proyek pembuatan film itu secara sepihak. What a child!

Saya sendiri gemas pada tokoh Kirana, seperti gemasnya Alena, salah satu lawan main Kirana di proyek itu. Dan, ini agak janggal, atau saya yang mungkin kelewatan. Kirana bukannya sudah berhenti dari pekerjaan dia sebelumnya, sebagai online customer service (hlm 80)? Lalu, kenapa dia yang datang terlambat ke studio untuk latihan beralasan "karena pekerjaan"? (hlm 82---hlm 122) Pekerjaan sebagai mahasiswakah? Kalau enggak salah dibilang masih belum mulai kuliah. Apakah pekerjaan mengisi suara game untuk proyek Indra? Enggak juga, karena Kirana sendiri lupa dengan proyek Indra itu (hlm 128).

Dari karakterisasinya sebenarnya cukup seru. Kirana dan Akira tentu menjadi magnet utama karena tertukarnya peran keduanya dan upaya membangun chemistry demi menghidupkan tokoh Satria (Kirana) dan Putri Viona (Akira) dalam proyek film animasi berjudul The Princess and The Raven itu.
"Kalau bukan kamu yang mengisi suara Satria, aku nggak akan pernah mau jadi Putri Viona."
(hlm 125)

Yang ini, saya banget, hahaha...
"Aku bukan tipe orang yang bisa kerja sama dengan orang lain, tapi aku juga nggak mau gagal karena orang itu."
(hlm 161)

Karakter lain yang cukup mencuri perhatian adalah Nauval, seorang voice actor cilik yang akan memerankan si burung gagak dan Lintang, adik tiri Kirana.

Yeah, bukan pengalaman yang menyenangkan ketika memulai untuk membaca karya-karya Ghyna atau novel-novel berlini Young Adult terbitan GPU. Tapi, saya cukup terpuaskan dengan gaya menulis Ghyna yang mengalir lancar. Saya masih berminat untuk membaca karya Ghyna yang lain. Pun, dengan lini novel Young Adult by GPU yang baru "resmi" diperkenalkan akhir tahun 2014 kemarin. Seperti halnya Metropop yang sukses menyaingi Chicklit untuk pasar lokal, saya berharap semoga novel-novel berlini Young Adult by GPU ini juga sesukses novel-novel Young Adult di luar negeri sana. Aaamiin.

Kalimat-kalimat yang saya suka dari novel ini:
"Nggak ada usaha yang cukup, Kir... nggak pernah ada. Tapi setidaknya, hargai usahamu."
(hlm 113)
"Masalah tidak akan selesai jika tidak dihadapi."
(hlm 153)
"Iya, cuma basah... setidaknya masih bisa kering. Seperti langit mendung yang akhirnya kembali cerah, dan wajahmu yang akhirnya kembali tersenyum."
(hlm 167)
"Menjadi seorang voice actor bukan hanya berbicara atau membaca dialog, tapi menghidupkan sebuah karakter, dan membuat penonton dapat mengerti pesan yang disampaikannya."
(hlm 175)

Catatan typo:
(hlm 14--27) apapun = apa pun ---> ini tidak konsisten, sih, di banyak halaman ada yang sudah benar ada yang masih salah
(hlm 34) berkuncir = berkucir (KBBI)
(hlm 60) Pak Ramdani = Pak Ramdan
(hlm 68) terbersit = tebersit
(hlm 70) bagaimana pun = bagaimanapun (disambung)
(hlm 74) orang tuanya = orang-tuanya (selingkung GPU)
(hlm 99) Bu Lara = Mbak Lara
(hlm 105) jahil = jail (bermakna nakal, bukan jahat)
(hlm 138) coklat = cokelat ---> ini tidak konsisten, sih, di banyak halaman ada yang sudah benar ada yang masih salah
(hlm 184) waktu satu tahu saja = waktu satu tahun saja

Selain itu, saya pikir kalimat di halaman 173 ini:
Padahal hanya film animasi yang durasinya kurang dari dua jam, tapi untuk bisa menyelesaikan karya besar ini, diperlukan kerja sama dari banyak orang.
Kata "hanya" itu agak riskan dan semestinya bisa dicarikan alternatif kata yang lain.

Oke, selamat membaca, tweemans. 

0 comments:

Post a Comment