Wednesday, July 31, 2013

[Resensi Novel Indonesia] Mencari Tepi Langit oleh Fauzan Mukrim


Hang-out bareng wartawan...
Pernahkah kamu mendengar teori turbulensi? Bahwa kepak sayap kupu-kupu di Kirgistan dapat menyebabkan badai di Pantura? Artinya, semesta ini semuanya saling berhubungan, berkaitan satu sama lain. Bermula dari sebuah e-mail, Horizon Shanti mendapati dirinya bukanlah siapa-siapa, bahkan juga untuk dirinya sendiri. Sebuah ruang di otak kanannya memberi sinyal, Senja-laki-laki yang baru ditemuinya itu-bisa diandalkan.

Senja tak pernah mengenal Santi sebelumnya. Namun, saat Shanti datang kepadanya, ia pun berharap mendengar sebuah akhir cerita bahagia. Hanya satu jalan yang tak bisa kau tempuh, hanya tepian langit. Pencarian menemukan kehilangan itu pun dimulai. Pencarian yang mungkin membuat mereka menyesal karena memulainya.

"Ada banyak hal di kisah ini sehingga mungkin enggak banyak orang- selain wartawan- yang bisa bertahan di pelana ketika kuda itu berjingkrak liar."
-Bubin Lantang, penulis novel Kisah Langit Merah dan novel serial Anak-anak Mama Alin

Judul: Mencari Tepi Langit
Pengarang: Fauzan Mukrim
Editor: Gita Romadhona
Proofreader: Alit Tisna Palupi
Penata letak: Wahyu Suwarni
Desainer cover: Jeffri Fernando
Tebal: 284 hlm + viii
Harga: Rp37.500
Rilis: 2010 (cet ke-1)
ISBN: 978-979-780-411-4

Bersama dengan Kisah Langit Merah-nya Bubin Lantang, Mencari Tepi Langit karya Fauzan Mukrim ini sejatinya sudah sangat sering saya dengar diperbincangkan teman-teman kumpul Goodreads Indonesia, sejak kali pertama saya gabung dan sering ikutan ngopi-ngopi bareng, dulu. Namun demikian, sampai begitu lama saya belum tergerak juga untuk menyambar buku ini dari toko. Entahlah, setiap melihat kaver buku ini saya selalu teringat Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin-nya Tere Liye, yang mana buku itu masih saya hindari sampai batas waktu tak terbatas dengan alasan subjektif belaka, hahaha. Yah, saya pun manusia, terkadang bersikap absurd ya...tak mau membaca sebuah buku karena alasan tak logis sekalipun. Dan, Mencari Tepi Langit ini menjadi salah satu buku yang belum saya niatkan baca dengan alasan absurd tadi itu. Untunglah, ketika berkesempatan memilih untuk #KadoUntukBlogger dari Gagas Media saya akhirnya memilih buku ini, dan saya benar-benar merasa beruntung telah memilih Mencari Tepi Langit di antara 10 buku pilihan yang menjadi kado untuk saya.

Surprise adalah kesan pertama yang menyergap perasaan saya ketika membaca novel ini. Dan, karenanya saya beberapa waktu lalu secara impulsif nge-tweet pertanyaan tentang buku apa yang sepertinya saya rasa terlewat membaca, ketika hampir semua orang sudah baca, malah saya belum baca. Itu saya merujuk pada buku ini. Kenapa? Karena saya jatuh suka sejak bab pembukanya. Hah! Kenapa coba dari dulu saya tak menyegerakan membaca novel ini, ya? Tapi...ya daripada saya merutuki diri sendiri, toh sekarang saya punya kesempatan untuk membacanya juga. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, tho? Iyes!

http://www.solopos.com
Novel ini padat. Plot dan subplot saling bertumpang-tindih. Anehnya, saya malah suka. Biasanya saya cenderung malas membaca novel yang kebanyakan cabang begini, bikin pusing, hahaha. Tapi Mencari Tepi Langit tetap bisa saya nikmati secara optimal. Mungkin karena latar belakang salah satu tokoh utamanya yang seorang jurnalis itu sehingga seluruh isu yang biasanya menghiasi rubrik media massa, mulai dari politik, hukum, kriminal, ekonomi, bencana alam, hingga infotainment disajikan dengan porsi lumayan banyak. Yahhh, serasa sedang membaca kliping koran begitu. Lagi-lagi, anehnya saya nggak bosan. Memang aneh! Nggak biasanya! Iya sih, terkadang sang pengarang serasa sedang memperbarui laman wikipedia, tapi cara bertuturnya yang nikmat dengan diksi yang bagus membuat saya tetap bersemangat membaca lembar demi lembarnya hingga akhir, bahkan ketika sang pengarang (melalui penuturan tokohnya, tentu saja) mulai menjelaskan rentetan kejadian teror bom yang pernah melanda Indonesia beberapa tahun silam secara kronologis dengan disertai lokasi, waktu kejadian, dan jumlah korban, saya tetap tekun membaca novel ini. Bahkan, larut di dalamnya.

Yap, saya ini memang pembaca yang gampang dilumerkan dengan gaya bertutur dan pilihan kata yang bagus. Mungkin inti cerita sudah basi, tapi jika pengarang bisa memberikan dua hal itu, saya pasti anteng membacanya. Yeah, tokoh wartawan di dalam cerita kan bukan hal yang baru, tho? Bumbu bencana alam mahadahsyat tsunami Aceh juga tidak hanya di novel ini saja. Tapi, sekali lagi, saya tetap terpaku mengikuti perjalanan nasib yang coba diguratkan sang pengarang pada tokoh-tokoh rekaannya dalam Mencari Tepi Langit ini.

http://nydailynews.com
Jalinan cerita ini berpusat pada tiga tokoh utama, Horizon Santi (perempuan yang setelah bertahun-tahun merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga, ternyata harus menerima kenyataan bahwa ia adalah seorang anak pungut), Senja Senantiasa (pemuda Bugis yang dulunya bengal kini menjadi salah sau wartawan idealis yang secara tak sengaja menerima ajakan pertemuan dengan Santi dan mulai terlibat jauh dalam kehidupannya), dan Wiring Bittarae (pemuda Bugis lainnya yang mengawali dan mengakhiri keseluruhan cerita di dalam novel ini).

Hal lain yang saya suka dari novel ini adalah... tokoh Senja yang laki banget. Well, setelah Zona (tokoh rekaan Dewie Sekar dalam trilogi Zona), Harris Risjad (tokoh rekaan Ika Natassa dalam Antologi Rasa) dan Edvan (tokoh rekaan Moemoe Rizal dalam Bangkok), akhirnya saya bertemu lagi tokoh rekaan yang saya acungi jempol nuansa kelelakiannya. Yah, ini sih subjektif aja ya. Tapi, saya memang jarang menemukan nuansa tokoh laki-laki yang laki banget dalam novel-novel yang kebanyakan saya baca. Dan, tak hanya itu, kehadiran Senja di sini diimbangi dengan tokoh Santi yang juga kuat sebagai seorang perempuan. Fiuhhh, selama ini saya penasaran dengan orang yang bertugas membersihkan sampah-sampah bekas perjalanan di pesawat, dan dari tokoh Santi inilah saya sedikit paham bagaimana profesi itu dilakukan. Wawasan saya bertambah lagi. Puji Tuhan.

Saya pun puas dibuat ngakak, ngelus dada, sampai dengan merenung dalam-dalam demi mengikuti liku-liku perjalanan Senja-Santi. Tak jarang saya mesti menghela napas dalam dan menyusut air mata yang sudah bersiap melompat dari kelopak mata. Sebagian kisah kehidupan yang dipaparkan di sini meruapkan keharuan yang teramat sangat. Bahkan, ketika disampaikan melalui sebuah ironi.

Yang mungkin agak mengganggu saya di novel ini adalah perpindahan porsi penceritaan antartokohnya. Untuk Senja dan Santi, saya tak masalah. Yang saya baru bisa "ohh...ini tuh si itu tho.." menjelang akhir novel adalah porsi Wiring yang disebut sebagai "anak muda" di bagian-bagian awal. Sebelumnya saya pikir itu porsinya Senja juga, tapi ternyata bukan. Bikin dahi mengernyit sih. Selain itu juga ada beberapa potongan kisah (subplot) yang dibiarkan terbuka, salah satunya terkait rencana teror peledakan Kedubes AS yang ditengarai Senja melibatkan adiknya, Tisong. Potongan kisah itu tak ada kabarnya hingga novel tuntas.

Laporan typo:
(hlm. 17) konstuksi = konstruksi
(hlm. 18) Central Intellligence Agency = ..Intelligence...
(hlm. 65) pecinta = pencinta
(hlm. 71) perseneling = persneling
(hlm. 101) ---agak aneh di antara narasi yang baku ada kalimat macam ini---: Yang gak sempat melarikan diri dipukul pake popor...
(hlm. 163) hafal di keluar kepala = hafal di luar kepala
(hlm. 169) nyelutuk = nyeletuk
(hlm. 183) Selain, itu atas saran... = Selain itu, atas saran...
(hlm. 189) ngganggap = nganggap
(hlm. 245) ideliasnya = idealisnya
(hlm. 268) terindimidasi = terintimidasi
(hlm. 274) impunitas = imunitas

Hmm, ending-nya sebagian dibuat tuntas, sebagian lagi dibiarkan menggantung tak jelas. Bikin gemes. Tapi, ya, saya sih tak masalah karena saya sendiri sudah punya tafsiran pribadi atas akhir bagi kedua tokoh utamanya. Maka, secara keseluruhan saya tetap menyukai novel ini. Berharap dapat membaca karya Fauzan yang lain. Well done!

Rating: 3,5 out of 5 stars.

Reviu ini merupakan feedback untuk event #unforgotTEN dalam bentuk #KadoUntukBlogger persembahan Penerbit Gagas Media.


3 comments:

  1. Wah aku juga baru kelar baca novel ini Mas Ijul. Udah lama pengen baca tp blm mood juga, hahhaha. Dan setelah baca ngerasa nyesel bgt knp gak dari dulu bacanya!
    Dan ya, Senja-nya laki bangeeeet!
    Tapi aku masih nggak ngerti bagian (bukan) epilog yg nyeritain Wiring itu.. Soal dia dan adiknya?

    ReplyDelete
  2. Ini Mas Ijul nyeritainnya bener-bener bikin penasaran jadi pengin baca sendiri, deh, hahaha. Mas Ijuuull... pinjeeemmm! :D

    dinoy

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete