Saturday, June 1, 2013

[Author of The Month] Indah Hanaco


Author of the Month (AotM)

Hmm, saya nih serba angin-anginan. Dulu, pengin banget bikin rubrik Author of the Month (AotM) ini bisa di-posting secara rutin. Nyatanya, saya sendiri kesulitan mengatur waktu, meminta kesediaan penulis-penulis kece untuk bisa di-interview, dan menyediakan waktu seluang-luangnya membaca karya-karya mereka. Jadinya, rubrik ini masih mentok. Dan, baru menghadirkan satu feature saja, yaitu mengundang mbak Rina Suryakusuma (Lukisan Keempat, Lullaby, Jejak Kenangan, Postcard from Neverland) yang menjadi AotM tahun lalu.


Bulan Juni ini, saya menghidupkan kembali rubrik ini setelah secara sengaja menyelipkan beberapa pertanyaan kepada penulis yang jadi feature bulan ini yaitu Indah Hanaco, ketika menyusun artikel WOW-moment perdana beberapa waktu lalu. Sederet pertanyaan seputar keseharian dan dunia kepenulisan yang ditekuninya, saya tanyakan, dan siap saya tuliskan dalam artikel AotM selama bulan Juni 2013 ini. So, dengan bangga saya persembahkan Indah Hanaco sebagai Author of the Month Juni 2013.

Sepanjang bulan Juni 2013, saya akan mengusahakan membaca novel-novel karya Indah Hanaco, sebanyak yang mampu saya baca, mengingat karya Indah sudah cukup banyak. Silakan klik link ini untuk melihatnya di database goodreads.com.

Book of the Month (BotM)

Selain AotM, bulan Juni 2013 ini saya juga ingin memilih salah satu novel untuk dijadikan BotM. Setelah bulan Mei 2013 kemarin, novel perdana Tia Widiana berjudul Mahogany Hills yang masuk ke lini Novel Amore yang juga adalah juara pertama Lomba Penulisan Amore 2012 dipilih sebagai BotM, kali ini novel teranyar Winna Efendi berjudul Melbourne yang saya pilih sebagai BotM Juni 2013.

Apa sih kriteria BotM di blog ini? Nggak ada. Pemilihan ini hanya berdasar selera saya saja. Betapa saya sangat ingin membaca suatu buku sehingga saya berharap bisa menularkan kepada yang lain, memberitahukan kepada yang lain, bahwa buku itu bagus. Kan belum dibaca, kok udah bisa bilang bagus? Hmm, biasanya kriteria yang saya gunakan adalah faktor pengarangnya, faktor si novel ini meraih suatu penghargaan, atau si novel lagi hits banget di dunia buku. So, the choice is yours. Mau setuju atau tidak pada pilihan BotM di blog ini, adalah sepenuhnya di tanganmu. Saya hanya menyodorkan pilihan, siapa tahu kamu juga bisa suka seperti saya menyukai BotM pilihan saya.

Baiklah, saya baru mulai baca Melbourne dan sudah langsung terhanyut ke kota di Australia itu. Berikut adalah kaver dan sinopsis Melbourne di database goodreads:

Pembaca tersayang,

Kehangatan Melbourne membawa siapa pun untuk bahagia. Winna Efendi menceritakan potongan cerita cinta dari Benua Australia, semanis karya-karya sebelumnya: Ai, Refrain, Unforgettable, Remember When, dan Truth or Dare.

Seperti kali ini, Winna menulis tentang masa lalu, jatuh cinta, dan kehilangan.

Max dan Laura dulu pernah saling jatuh cinta, bertemu lagi dalam satu celah waktu. Cerita Max dan Laura pun bergulir di sebuah bar terpencil di daerah West Melbourne. Keduanya bertanya-tanya tentang perasaan satu sama lain. Bermain-main dengan keputusan, kenangan, dan kesempatan. Mempertaruhkan hati di atas harapan yang sebenarnya kurang pasti.

Setiap tempat punya cerita.

Dan bersama surat ini, kami kirimkan cerita dari Melbourne bersama pilihan lagu-lagu kenangan Max dan Laura.

Enjoy the journey,

EDITOR

Nah, berikut ini sedikit cuplikan Melbourne yang saya copy-paste dari blog resminya Winna Efendi:

Max

Sejak kecil, gue selalu terpesona pada cahaya. Kilatan petir, sebentuk garis perak yang membelah langit sesaat sebelum guntur menggelegar. Bintang jatuh. Kunang-kunang. Cahaya redup di ekor pesawat. Konstelasi yang membentuk peta langit. Mercu suar. Remang lampu di tepi jalan. Oranye gelap yang berubah kemerahan menjelang matahari terbenam.

Gue masih ingat suatu hari di mana kami sekeluarga memutuskan untuk camping di kebun belakang rumah, dengan tenda yang didirikan seadanya, dan sebentuk alat grill bekas yang kembali berasap setelah menganggur sekian tahun. Beberapa hari sebelumnya, gue baru saja mengalami kecelakaan kecil. Sepeda terantuk batu, dan gue yang sukses terjerembab di pinggir jalan, lalu berakhir di rumah sakit dengan gigi depan patah dan keretakan tulang siku. Di otak Max kecil versi sepuluh tahun, bagian terburuknya bukanlah keluar masuk ruang operasi untuk memperbaiki luka-luka di tubuh gue, tapi ketinggalan acara field trip sekolah yang sudah gue nantikan penuh harap selama berminggu-minggu. Ma dan Pa, begitu gue menyebut kedua orang tua gue, nggak bergeming dengan tangisan dan rengekan maupun pujian dan ratapan, bersikukuh dengan perintah supaya gue tetap di rumah selama sebulan penuh.

Nggak ada lagi lari-lari di lapangan, main sepak bola, manjat pohon mangga tetangga. Sebulan tanpa udara segar, ngebut sepeda dengan Ted dan Benny, jajan di luaran, kegiatan outdoor liburan musim panas… Lebih parahnya lagi, masuk sekolah hanya untuk menjadi pendengar pasif bagi kisah petualangan luar biasa teman-teman sekelas yang kamping di hutan, berinteraksi dengan alam dan makan roasted marshmallows di depan api unggun. Gue akan terpaksa harus puas hanya membolak-balik foto polaroid di mana nggak ada jejak gue sama-sekali. That’s gotta suck big time.

Tapi malamnya, Ma dan Pa menggiring gue ke kebun belakang. Di sana, sebuah tenda sederhana berbau apak telah dibangun, lengkap dengan rib-eye gosong masakan sendiri di atas piring kertas yang lembek karena berlumur minyak dan ketchup. Kata Pa, ini kejutan untuk menghibur gue yang murung. Kata Ma, ini hanya alasan kamuflase Pa yang juga rindu dengan aktivitas outdoor yang dulu ditekuninya semasa kuliah. Dulu, sebelum sebuah kecelakaan merenggut kemampuan berjalannya dengan baik.

Semalaman, kami main tebak-tebakan sambil menunggu hujan bintang yang diperkirakan akan muncul menjelang tengah malam. Membentuk bayang-bayang binatang dengan senter dan lipatan tangan. Menamai rasi bintang sebisa kami. Favorit gue adalah memandangi pesawat meninggalkan landasan, menghilang di balik gumpalan awan, sampai tiada sama sekali.

Rumah masa kecil gue dekat dengan bandara – sebuah keberuntungan, sekaligus kesialan. Ma kerap kali mengeluh bahwa keributannya bisa membangunkan orang mati sekali pun. Deru mesin kapal terbang yang pulang pergi tiap harinya memang cukup bising, terutama di saat gue sedang tidur dan tiba-tiba tersentak kaget akibat bunyi dan getaran barang-barang, menyerupai gempa berskala rendah. Pernah sekali, dalam kepanikan berusaha menyelamatkan diri, gue yang masih separuh tertidur menyambar selimut dan harta benda seadanya, lalu berlari keluar hanya mengenakan celana boxers, sampai akhirnya baru menyadari bahwa yang barusan terjadi bukanlah hari kiamat. Lama-kelamaan, gue terbiasa, bahkan mulai sering duduk sendirian di atap, merokok sambil memandangi kerlip lampu pesawat – menjauh, menjauh, lalu hilang seluruhnya. Hingga kini pun, setiap jauh dari rumah, yang gue kangenin adalah dengung mesin pesawat, dan jejak kecil di atas langit yang menunjukkan kepergian atau kepulangan seseorang.

Itulah awal mula sejarah gue dengan cahaya. Sejak saat itu, gue mulai mencari tahu lebih banyak tentangnya. Kekaguman gue akan ciptaan Tuhan yang satu itu nggak pernah habis. Gue mulai terobsesi; pada kaleidoskop, yang bentuknya berubah seiring dengan perputaran tabung dan cahaya yang terpantul olehnya, pada laser show, pada LED art, juga cahaya alam, seperti gerhana dan segala keindahan yang menyertai keajaibannya.

Buat gue, cahaya adalah konsep universal, tapi sebenarnya sangat pribadi. Setiap orang dapat melihatnya, merasakannya, tapi persepsi mereka mengenainya bervariasi, tergantung emosi dan pengalaman sang penglihat. Interpretasi seseorang terhadap cahaya berbeda-beda, begitu juga makna cahaya tersebut bagi mereka. A light is never just light. Cahaya, seredup apa pun, mampu mengiluminasi kegelapan, dan menjadi medium yang menghidupkan dunia. Bagi gue, cahaya adalah hal terindah di dunia ini.

Yet whenever I think of light, I’m always reminded of her.
 
*****
 
First chapter Melbourne selengkapnya, silakan kunjungi blog Winna Efendi di sini yaaa...

Selamat membaca, tweemans!

0 comments:

Post a Comment