Friday, April 6, 2012

[Resensi Novel Amore] Lullaby by Rina Suryakusuma


Ikatan dua bersaudari kembar
Rating: 3 out of 5 star


Judul: Lullaby
Pengarang: Rina Suryakusuma
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 240 hlm
Harga: Rp35.000
Rilis: November 2011 (cet. 1)
ISBN: 978-979-22-7730-2

Audy dan Rose adalah dua saudari kembar, bungsu dari keluarga Andrew dan Madeline Capelle. Sejak kecil Audy mendapat perlakuan istimewa oleh karena suatu penyakit mematikan yang dideritanya, menyisihkan Rose dari curahan kasih sayang orangtua dan kakak-kakak mereka. Namun demikian, bagi Audy, Rose adalah segalanya. Rose adalah saudari, sahabat, juga belahan jiwanya. Audy berusaha selalu melibatkan Rose dalam setiap episode kehidupannya. Itu juga yang membuat Mardi, kekasih Audy, dirundung gusar mengajak Audy ke tahap hubungan lebih lanjut karena Rose selalu menjadi penghalang.

Tetapi, Audy tak bisa dipersalahkan. Saudara kembar dipercaya memiliki ikatan batin yang teramat kuat dan Audy tak bisa begitu saja mengabaikan Rose. Jika akhirnya ia harus menikah, Rose juga harus menikah. Meskipun, dilihat dari sikap Rose yang tak pernah mau bersosialisasi dan lebih banyak mengurung diri di apartemen mereka, rasanya ajakan Mardi untuk menikah tak akan terjadi dalam waktu dekat. Apa yang harus dilakukan Audy untuk meyakinkan Rose agar mau menjalin hati dengan seorang lelaki?

Satu pertanyaan besar yang harus ditemukan jawabannya di novel ini: apakah ini nyata atau sekadar imajinasi?

Saya selalu suka dengan diksi yang diracik Rina Suryakusuma. Dalam dan menyenangkan. Bgai saya, diksi menjadi salah satu faktor utama untuk menentukan kenikmatan membaca suatu karya tulis, plus konsistensinya. Saya paling sebal jika di awal-awal tulisan diksi-nya konsisten menggunakan kata tidak/tak tiba-tiba di tengah-tengah muncul kata “nggak” yang tidak memiliki maksud dan tujuan lain. Itu, saya kategorikan fatal. Inkonsisten.

Berikut beberapa bagian kalimat yang saya suka:
Bagaimana cara kamu bilang pada matahari supaya dia jangan terbit lagi? Bagaimana cara kau bilang pada orang yang mencintaimu sepenuh hati, supaya tidak usah kuatir lagi padamu? (hlm. 22)

Tawa adalah obat paling manjur untuk kesedihan. Cinta yang tulus ialah terapi paling sempurna untuk semua sakit dan duka yang ia rasakan. (hlm. 118)

Premis novel ini adalah kekuatan terbesarnya. Jika kamu seperti saya yang gampang tertipu, kamu pasti akan mendesah “OMIGOD!” ketika penulis menyajikan twist yang begitu mengejutkan di tengah hingga menjelang akhir. Saya sampai memaki diri sendiri yang tak bisa menebak plot dari sejak mula. Saya baru menemukan clue-nya hampir di pertengahan novel (halaman 165, tepatnya). Astagahh! Dua jempol buat Rina yang berhasil menghadirkan twist ini.

Sayangnya saya tak bisa menikmati gaya ‘feodal’ yang dipilih Rina untuk menghadirkan tokoh-tokohnya dengan terlampau seringnya penyebutan nama lengkap mereka. Saya kurang begitu terhubung. Ada jarak yang tercipta antara saya dan aktor-aktrisnya. Seolah-olah saya duduk di kursi terbawah pada sebuah pertunjukan di panggung setinggi tiga meter. Saya melihat tapi tidak terlibat. Hal itulah yang menghalangi saya dari terhanyut kisah ini.

Selain itu, cerita hanya disokong kisah Audy seorang. Tak banyak subplot yang dihadirkan untuk mendukung kisah bersaudari kembar ini sehingga ada saat-saat saya ingin menaruh novel ini begitu saja dan beralih membaca yang lain. Andai saja penulis memberikan tikungan-tikungan pada jalan cerita ini, saya yakin guncangan twist-nya akan lebih terasa.

Untuk departemen cetakan, berikut beberapa temuan typo yang saya dapat:
(hlm. 18) kekanak-kanakkan = kekanak-kanakan
(hlm. 20) beraktifitas = beraktivitas
(hlm. 28) La Grande = Le Grande = inkonsisten
(hlm. 33) Karena = karena (huruf K harusnya tidak kapital)
(hlm. 34) pertunjukkan = pertunjukan
(hlm. 72) Arman = Armant
(hlm. 77) Tenggorakan = Tenggorokan
(hlm. 78) bidak = biduk
(hlm. 80, 220) praktek = praktik
(hlm. 94) dr = Dr = Dokter = inkonsisten
(hlm. 125) ...di antara keluarganya, dan Rose Tapi Audy sadar,... (ambigu)
(hlm. 149) “Jam setengah tiga subuh.... (hanya terasa tidak pas penggunaannya, hampir tak pernah waktu subuh jatuh pada jam kurang dari pukul tiga pagi, di zona waktu mana pun, di Indonesia)
(hlm. 220) klat = kilat

Oh, dan ini sepertinya sudah menjadi ciri khas seorang Rina, lebih memilih menggunakan kata ‘kuatir’ dibanding ‘khawatir’, jadi ya, sudah, saya sih tetap menyarankan menggunakan kata yang dianggap baku di kamus yaitu ‘khawatir’.

But, overall, saya tetap menyukai membaca novel ini. Sebuah pengalaman mengejutkan yang menyenangkan. Tiga bintang untuk twist-nya.


Selamat membaca, kawan!

3 comments:

  1. Hai, thanks ya Jul, sudah mereview novel ini kembali :) Semoga ke depannya, akan lebih baik lagi :)
    Hahaa, kuatir dan khawatir, dua kata yang selalu berhasil bikin saya salah ya, akibat kebiasaan menggunakan kata ini sejak SMA :))

    ReplyDelete
  2. Hai Mas Ijuul..
    twistnya ga gampang ditebak ya? haha
    saya masih ngarep kalo buku ini harusnya lebih diperluas lagi hahaha :D

    ReplyDelete
  3. gw juga ada temen kembar, waktu salah satunya menikah, gak lama kemudian yang satu menikah, dulu waktu masih pada abege, yang satu tukang selingkuh, yang satu lebih parah, wakakakakakk

    any way...

    @bookworm: 30th means: dah cukup tua untuk berbuat kekanak-kanakan, hahahahahaa...

    single bukan berarti gak bececeran dimana-mana kan yah? *loh???! hahaaha

    ude disiapin, tapi belom ketemu aja. *ga menjawab pertanyaan, hahahahahaha

    ReplyDelete