Monday, January 31, 2011

Resensi Novel: Wiwien Wintarto - Grasshopper (2011 - #2)


SM*SH!!!

Rating: 2,5 out of 5 stars



Judul: Grasshoper
Penulis: Wiwien Wintarto
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
Tebal: 312 hlm
Harga: Rp49.800
Terbit: Desember 2010
ISBN: 978-979-27-8804-4

Prita Paramitha (Prita) belum menetapkan hatinya untuk menjadikan bulu tangkis sebagai fokus utama dalam skema masa depannya, meskipun ia baru saja memenangi Kejuaraan Daerah Junior di kota kelahirannya. Bersama Delia Saraswati (Saras), sahabat sekaligus rival yang dikalahkannya dalam Kejurda tersebut, Prita mengalami petualangan misterius yang ‘memaksa’ mereka mengikuti kejuaraan Badminton Super Series di Yogyakarta. Hanya sepotong nama Subur yang menjadi clue untuk menebak siapa orang di balik pelbagai fasilitas yang didapatnya selama ini. Tapi, itu pun tak cukup menyejukkan hati Prita sebelum ia bertemu muka langsung dengan orang tersebut.

Sementara misteri Subur belum terkuak, di tengah-tengah konsentrasinya menjalani pertandingan demi pertandingan, Prita diliputi kebingungan akan percikan api asmara yang dipantik oleh dua cowok yang sangat memengaruhinya saat itu. Bagaimana Prita meng-handle virus merah jambu yang menyergapnya sehingga ia tetap concern pada setiap pertandingan yang dilakoninya? Apakah pada akhirnya Prita menemukan pemilik buku panduan bermain badminton yang membantunya memahami bulu tangkis secara lebih mendalam? Lalu, sampai kapan misteri Subur dan segala fasilitas serta motivasi yang diberikan pada Prita akan tetap tersamarkan? Temukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut beserta segala ketegangan dan kejutan pada sebuah pertandingan bulu tangkis yang menakjubkan dalam novel terbaru karya Wiwien Wintarto ini.

Bulu tangkis lebih menarik minat saya ketimbang bermacam olahraga lainnya. Sejak kecil, saya menikmati pertandingan tepok bulu itu ketika ditayangkan di televisi. Nama-nama besar pemain bulu tangkis, baik dari dalam maupun luar negeri, pernah begitu lekat dalam ingatan saya. Sejak belum punya televisi sendiri, saya sering berlama-lama bertamu ke rumah tetangga jika ada jadwal pertandingan bulu tangkis kelas dunia yang ditayangkan stasiun televisi lokal kala itu. Saya benar-benar jatuh hati setangah mati pada bulu tangkis. Keseharian saya pun tak luput dengan bermain bulu tangkis. Meskipun hanya dengan menggunakan raket seharga Rp2.500-an dan jaring pembatas (net) dari anyaman rafia, saya menikmati bertanding bersama teman-teman masa kecil saya. Salah satu kenangan terindah dari zaman saya masih ingusan.

Selain jaminan nama penulisnya, tema bulu tangkis yang diangkatnya menjadi penarik utama saya untuk segera membaca novel ini sejak kali pertama tahu bahwa novel ini akan beredar. Dan, yeahhhh, feel badminton-nya benar-benar terasa sejak lembar pembukanya. Saya seolah-olah sedang menyaksikan (mendengarkan) siaran langsung sebuah pertandingan bulu tangkis. Bahkan, terkadang ikut deg-degan menantikan hasil akhirnya. Namun, kesengajaan penulis yang merangkai kisahnya dengan gaya cersil (cerita silat) sedikit banyak mengganggu kenikmatan saya melumat kisah perjuangan si grasshopper (belalang sembah) ini. Entahlah, dari awal saya berharap mendapatkan sajian pertandingan bulu tangkis biasa sebagaimana lumrahnya yang pernah saya tonton (atau dengar). Sedangkan, dalam novel ini, kisah menjadi sedikit lebih tidak masuk akal, kental nuansa silatnya, dan bahkan beberapa bagiannya cukup dijelaskan dalam satu kata, “ajaib”. Tak ayal, saya pun jadi ingat film Shaolin Soccer-nya Stephen Chow yang memadukan sepakbola dengan kung fu. Menarik tapi kurang logis, sehingga bagi saya pribadi yang berfantasi soal keindahan alami bulu tangkis tidak mendapatkannya.

Dari plotnya sendiri cukup menarik meskipun uhuk*kok-agak-sinetron-ya?*uhuk. Perjuangan from zero to hero-nya dibumbui taburan segala macam hal misterius yang sayangnya terlalu gamblang dibeberkan jawabannya sehingga kesan misteriusnya itu menjadi…hmm, agak hambar. Coba kalau misterinya itu dibuat terbongkar sedikit demi sedikit bukannya ujug-ujug ada orang yang cerita dari A-Z dalam waktu satu jam dan seluruh misteri itu, duarrr…terpecahkan. Terlalu biasa jadinya. Kurang njelimet. Yah, meskipun, dari segi genre tidak dimaksudkan untuk njelimet juga sih. Tapi, kalau ada potensi ke arah sana, why not, kan? Saya melihat, sebenarnya novel ini memiliki potensi untuk menjadi lebih menarik lagi.

Yang saya suka justru sisi cinta-cintaan yang ada di novel ini. Dengan porsi yang cukup, nuansa merah jambu ini menghadirkan konflik yang memadai untuk memperkuat sebuah kisah perjuangan yang ujungnya hanya terdiri atas dua pilihan, menang atau kalah (atau juga dapat dibuat seri/draw, biar terkesan happy ending). Walaupun hanya sekadar kisah cinta segitiga biasa namun penulis berhasil mengemasnya secara menggemaskan, dan tentu saja, dengan porsi yang tidak berlebihan sehingga latar bulu tangkisnya tetap terjaga intensitasnya.

Dari segi teknis cetakan, novel ini masih memiliki banyak kelemahan. Yang paling terlihat tentu saja inkonsistensi penulisan istilah-istilah asing-nya, terkadang dicetak miring dan terkadang tidak. Covernya not bad-lah. Jenis dan ukuran font, serta margin halaman cukup, tidak mengganggu ketika dibaca. Sedangkan beberapa kesalahan cetak masih ada, beberapa di antaranya:
(hlm. 3) = modelling, (hlm. 8, 119) = modeling, dua-duanya tidak ada yang dicetak miring, bisa dianggap kata serapan atau istilah asing, hanya sayangnya inkonsistensi dalam penggunaannya.
(hlm. 96) Darius Sinarthya ….saya iseng mengetikkan nama tersebut di Google dan yang nongol: Darius Sinathrya
(hlm. 257) merried = married?
(hlm. 286) set pertamai…..= pertama
(hlm. 298, sekadar konfirmasi nggak penting) ikut unas = ujian nasional? Oh, sekarang singkatannya itu unas, bukan lagi UAN/UN?

Pada akhirnya, saya memang bingung harus menentukan untuk menyukai atau tidak menyukai novel ini, karena pada sebagiannya saya puas dan pada sebagian yang lain tidak. Maka, saya memilih zona aman, memberikan penilaian di tengah-tengah. Sudah jelas, saya menyukai bagaimana penulis memainkan peran menggoyang-goyang imajinasi dengan alur dan konflik yang beragam, namun saya juga agak kurang puas dengan beberapa titik eksekusi yang dipilihnya. Dan, maaf, kali ini saya tidak begitu menyukai unsur ‘jayus’ yang menyelusup lewat kalimat serta dialog para tokohnya. Harus saya akui, saya adalah penganut paham ‘bedakan kalimat tulisan dan kalimat lisan’ jadi ketika penulis memutuskan untuk me’lisan’kan kalimat yang seharusnya bernapas ‘kalimat tulisan’ saya menjadi agak kurang menikmati (yang ini benar-benar karena unsur subjektivitas).

Okay, selamat membaca teman!

0 comments:

Post a Comment