Showing posts with label Elfbooks. Show all posts
Showing posts with label Elfbooks. Show all posts

Thursday, March 28, 2013

[Resensi Kumcer] Love Journey by Delia Angela dan Lily Zhang


Bagaimana perjalanan cintamu?


Judul: Love Journey: Flash Fiction Collection
Pengarang: Delia Angela & Lily Zhang
Penyunting: Evi Mulyani
Tata Letak: Delia Angela
Desain Sampul: Dadan Erlangga
Penerbit: Elfbooks
Tebal: 146 hlm
Harga: Rp30.000
Rilis: November 2012
ISBN: 978-602-19335-2-7
 
Pastinya, setiap dari kita memiliki kisah perjalanan cinta masing-masing. Ketika mata beradu pandang, rasa saling bertautan, dan hati bertemu hati, saat itulah rajutan benang cinta mulai menyatukan dua insan yang terpanah asmara. Lalu, bagaimana kisah cintamu bermula? 

Apakah kamu bersua belahan jiwamu ketika secara tak sengaja kamu berkunjung ke toko buku kecil di ujung jalan sana, serupa film komedi romantis ala Julia Roberts dan Hugh Grant di Notting Hill? Apakah kamu sengaja membuntuti seseorang yang menarik minatmu sejak kali pertama kamu terpesona pada senyumnya? Apakah kamu menemukan letupan adrenalin setelah berdebat maya dengan seseorang yang ternyata adalah rivalmu dalam bisnis seperti kisah Meg Ryan dan Tom Hanks di You’ve Got Mail? Apa pun kisahmu, seharusnya perjalanan menujunya menjadi suatu pengalaman yang tak akan mungkin terlupakan. Benar, kan?

Love Journey karya Delia Angela dan Lily Zhang ini menggambarkan bagaimana cinta dipertemukan. Sengaja atau kebetulan, diliputi kesedihan atau kebahagiaan, berbalas atau bertepuk sebelah tangan, sampai cinta yang bertemu karena campur tangan orang lain. Kedua penulis, dengan gaya masing-masing menyuguhkan ragam kisah perjalanan cinta.

gambar dari sini: la-dilacious.blogspot.com

Terdapat kurang lebih 118 kisah pendek (flash fiction) gabungan dari kedua penulis. Jujur saja, saya bukan penikmat kumpulan cerita. Saya memang agak berat menuntaskan baca buku ini. well, ini memang hnaya subjektivitas selera saya belaka. Bagi saya, membaca kumpulan cerita itu melelahkan, karena pada masing-masing cerita kita disuguhi kondisi yang tak jarang mendaki bukit tinggi lalu menggelinding pada lereng curam hingga tercebur ke kedalaman lautan. Nah, bayangkan keadaan itu berulang-ulang terus pada 100-an cerita. Apa tidak lelah? Bagi saya pribadi, iya, itu sungguh melelahkan. Saya dipaksa mengontrol emosi pada masing-masingnya.

Okay, kembali ke Love Journey ini. Beberapa kisah lucu, kocak, dan bikin ngakak. Apalagi kalau yang pas banget sama kondisi diri sendiri. #makjleb. Sebagian lagi bikin miris, pengen gampar seseorang, sampai menghamburkan sumpah serapah. Tapi, nggak semua kisah memberikan sesuatu. Beberapa membuat saya bosan. Satu-dua malah saya pikir, “Ngapain sih cerita biasa pake banget gini ikut dimasukin di buku ini?”

Jika ditanya lebih suka tulisan siapa dari kedua penulis di buku ini, saya akan memilih tulisan Delia Angela sebagai tulisan yang mudah disukai. Gaya menulisnya santai, mengalir, diksi sederhana, dan dekat dengan realita keseharian sehingga menjadikan cerita-cerita mini perjalanan cinta racikannya mudah untuk dicerna. Sementara itu, tulisan Lily cenderung mengutamakan keindahan kata-kata. Dengan keterbatasan ruang bercerita, diksi yang indah menjadi penghalang untuk terhubung dengan kisah rekaannya. Bahkan, beberapa di antaranya terkesan tak bermakna (bagi saya pribadi) sangking kerasnya usaha untuk menciptakan kalimat-kalimat mendayu. 

Dari sekian cerita mini yang ada dalam Love Journey ini, berikut adalah beberapa judul yang menjadi favorit saya: Penyelamat? (hlm. 6), Kaki (hlm. 56), dan Best Man (98) karya Delia Angela serta Untaian Dendam (88) karya Lily Zhang. Menurut saya, dalam kerangka ruang terbatas yang dimiliki setiap cerita mini, twist di bagian akhir cerita memegang peranan kunci penentu bagus tidaknya cerita tersebut. Dan, keempat judul favorit saya itu memiliki twist keren di bagian ending-nya yang membuat saya sering salah tebak. Bagaimana dengan cerita lainnya? Kadang bagus, kadang biasa saja, namun yang cukup disayangkan sebagian besar cerita tidak meninggalkan kesan mendalam, paling tidak bagi saya.

Jika diizinkan untuk memberikan saran, sebaiknya penyajian buku ini dibagi ke dalam beberapa bagian, disesuaikan dengan kedekatan unsur cerita. Misalnya: bagian perjumpaan untuk menggambarkan kisah-kisah awal tertambatnya hati dalam simpul cinta, lalu dilanjutkan bab menumbuhkembangkan cinta itu sendiri, lalu diteruskan bab tentang luka karena cinta, dan sebagainya. Dengan demikian, perjalanan cinta akan lebih terasa. Tak dimungkiri memang beberapa cerita di buku ini hampir sama, hanya diubah setting lokasi dan tokohnya saja sedangkan esensinya sama. 

Baik, secara keseluruhan saya tetap merekomendasikan buku ini buat dibaca oleh siapa saja, khususnya yang gemar baca kumcer/flash fictionringan. Untuk saya, membacanya sekali saja sudah cukup. Oiya, di buku ini juga masih cukup banyak salah ketik (typo).

My rating: 2,5 out of 5 stars

Friday, December 21, 2012

[Resensi Novel Romance] Another Idol by Delia Angela


Menjelma Cinderella



Judul: Another Idol
Pengarang: Delia Angela
Penyunting: Evi Mulyani
Pewajah sampul: Dadan Erlangga
Penerbit: Elf Books
Tebal: 168 hlm
Harga: Rp33.000
Rilis: Agustus 2012 (cet. ke-1)
ISBN: 9786021933510



Hanya jodoh dengan sinyal kuatlah yang dapat mempertemukan dua pasang mata di antara ribuan orang.
(hlm. 145)

Im Joo Yeon sebal bukan kepalang. Bagaimana tidak, seluruh upayanya untuk berdandan habis-habisan demi bias-nya di Perfect Ten, Cho Jong Woon, berantakan gegara bando khusus yang ia siapkan untuk sang idola rusak akibat tersenggol fans P.Ten lain ketika mengantre menonton Super Perfect Show. Namun, semesta seolah berkonspirasi mempertemukan Joo Yeon dengan idola sejatinya. Tak hanya di atas panggung, tapi juga dalam kehidupan kesehariannya.

Joo Yeon jelas galau demi menyadari bahwa Jin Ho-lah yang memberikan geletar aneh di dadanya, bukan Jong Woon. Maka, dimulailah kisah mereka. Fans dan sang idola lain. Sampai suatu ketika, pers mulai mencium hubungan di antara keduanya. Ditambah lagi, adanya kenyataan bahwa Joo Yeon telah dijodohkan dengan Jun Su, anggota Perfect Ten yang lain. Apa yang musti dilakukan Joo Yeon? Apakah ia rela berjuang mendapatkan cinta sang idola? Bagaimana dengan reaksi management Perfect Ten, fans, dan juga media? Simak liku-liku intrik asmara segitiga antara Joo Yeon - Jin Ho - Jun Su dalam novel bersampul nuansa putih bertajuk Another Idol karya Delia Angela ini.


Yesung dan Donghae -- inspirasi sang Penulis


Sejatinya, saya tak begitu menyukai novel romance dengan benang merah fans-idola, karena cenderung terlalu fiksi. Maksud saya, khususnya bagi saya pribadi, fiksi pun tetap harus menyajikan realita yang mudah diangankan. Nah, cerita cinta yang melibatkan orang ternama, masih menjadi salah satu tema yang sulit saya bayangkan dapat terjadi begitu saja dalam kehidupan sehari-hari. Maka, keinginan saya untuk membaca novel ini maju-mundur tak keruan. Takut terjebak stigma yang sudah saya sematkan sejak awal. Ehm, nyatanya, not bad. Saya cukup menikmati membacanya.

Alurnya memang sederhana. Plotnya pun tak dipaksa pelik. Semua konflik seolah telah disiapkan pilihan jawaban penyelesaiannya. Tinggal para tokohnya, mau memilih solusi yang mana. Bagi pencinta K-Drama, akan dengan mudah jatuh cinta pada dialog dan adegan-adegannya. Bagi saya, ini menjadi sedikit kelemahan, karena saya justru membayangkan adegan-adegan K-Drama. Yah, sedikit mengalami gangguan saja karena saya menjadi sulit mendapatkan keaslian adegan Joo Yeon - Jin Ho.


My Sassy Girl Chunyang -- K.Drama favorit saya!

Gaya penulisan dan bahasa yang digunakan mudah dicerna. Penulis menuturkan kisah fans berat boyband Korea ini dengan gamblang dan runut serta mudah dimengerti. Seolah ada satu kamera yang secara konstan menyorot Joo Yeon dan kita --pembaca-- menyaksikan dengan instensitas stabil setiap gerak-geriknya. Dan, surpriseeee....ending-nya, ugh, bikin pengen nonjok tembok #eh. Tak pernah terbayangkan jika kisah cinta segitiga yang bikin ketar-ketir ini mendapat kejutan yang begitu 'wow' di akhir ceritanya.

Namun, sayang. Meski saya menikmati membaca novel ini, saya tetap terbelenggu stigma yang saya bangun sendiri. Apalagi, saya bukan tipe fans yang sebegitu ngototnya ingin dekat dengan idola dalam kehidupan nyata. Saya suka The Script, tak lantas saya sebegitu mati-matian mendapatkan tiket konsernya. Saya fans yang sekadar suka mendengar atau membaca karya sang idola. Maka, secara subjektif, kisah dalam novel ini kembali tak berhasil membawa saya melambung dalam kesukacitaan Joo Yeon yang 'secara kebetulan' beruntung terpilih menjadi fans yang punya kesempatan mengenal lebih dekat dan berkencan dengan sang idola.

Nah, ngomong-ngomong soal kebetulan. Saya masih terus memikirkan bagaimana cara Jin Ho menulis memo sebagai tiket masuk Joo Yeon ke back stage. Apakah secara khusus Jin Ho membawa-bawa pulpen dan kertas di atas panggung lalu tertarik dengan seorang groupies-nya lalu menulis memo tersebut? Hmmm, nggak kebayang! Atau apakah dari awal Jin Ho sudah menyiapkan memo tersebut, lalu nanti secara random dia akan memilih salah seorang gadis yang berkerumun di depan panggung? Well, kok ya kayak 'jual murah' gitu si artis, impossible. Nah, di sini saya masih terganggu adegan ini dan saya gagal menemukan titik paling logis darinya.

Jujur, saya terkadang memang butuh membaca novel --meski romance-- yang dipenuhi taburan kata-kata indah yang bermakna sehingga bisa menyentil otak dan saya bisa berseru "oohhhh" di dalam hati lantas saya tulis di mana-mana sebagai quote. Sedangkan novel ini, benar-benar menggunakan narasi seolah-olah ini diary si fans itu, yang ditulis dengan sederhana dan tanpa ornamen fiksi yang kental. Well, ini sekadar soal selera kok. Seperti yang sudah saya katakan, novel ini gampang dibaca dan dimengerti.

Oh, yang terakhir soal karakter. OMAGAD! Seistimewa apakah si Joo Yeon ini sampai-sampai dua anggota boyband paling kesohor di Korea saat ini bisa jatuh hati padanya? Meskipun surprise di bagian ending bisa menjadi justifikasi, belakangan ini saya memang mulai sedikit demanding, mbok ya kalo bikin karakter di novel ini janganlah super-beruntung begitu, kasihlah cela atau kesialan bagi karakternya biar lebih manusiawi dan hidup. Oh, di sini hidup Joo Yeon memang menjadi tak tenang karena diuber-uber media, well, ehmm...menjadi headline media karena punya hubungan dengan artis, bagi sebagian orang, rasanya bukan suatu cela ya...hihi. IMHO!

Baiklah, bagi kamu-kamu yang suka K-Drama atau K-Pop dan pernah membayangkan bagaimana rasanya bisa dekat, menyentuh, bahkan berkencan dengan sang idola, mungkin novel ini akan dengan mudah menghanyutkanmu. Bisa jadi kamu punya perasaan yang sama dengan Joo Yeon.

My rating:




Selamat membaca, kawan!

Monday, December 17, 2012

[Resensi Novel Romance] Kiss the Sky by Liz Lavender dan Raziel Raddian


Sampaikan rinduku pada langit...



Judul: Kiss the Sky
Pengarang: Liz Lavender & Raziel Raddian
Penyunting: Evi Mulyani & Delia Angela
Desain sampul: Dadan Erlangga
Penerbit: Elf Books
Tebal: 202 hlm
Harga: Rp38.500
Rilis: November 2012
ISBN: 9786021933534

Emma dan Hayden bertetangga dan bersahabat sejak kecil. Maka, benih cinta pun bermekaran di kebun hati masing-masing. Namun, takdir mengisahkan cerita yang lain. Hayden yang mencoba merengkuh cita-citanya menjadi seorang penerbang pesawat tempur harus menempuh akademi militer selama empat tahun, terpisah dari Emma yang tinggal dan bekerja di New York. Keduanya mencoba menjaga keutuhan cinta yang terpisah jarak, tapi jarak dan keadaan lah yang kemudian menumbuhkan benih keraguan di hati masing-masing.

Seteguh apa pun tekad dan setegar apa pun perasaan, gelombang cobaan demi cobaan yang menghantam biduk cinta mereka akhirnya menggoyahkan semuanya. Kelopak bunga asmara itu luruh satu demi satu. Mengguratkan luka pada sanubari terdalam. Mereka berjanji kepada langit. Hayden menjanjikan akan mengajak Emma terbang berdua. Di langit mereka. Masihkah janji itu merekatkan pondasi cinta mereka? Bagaimana dengan bangunan lain di sekitar mereka? Haruskah mereka tak mengacuhkannya?

Simak perjuangan Hayden dan Emma untuk menyatukan janji mereka untuk terbang di langit yang sama dalam novel duet karya Liz Lavender dan Raziel Raddian bertajuk Kiss the Sky ini.




Ketika membeli novel ini bersama beberapa novel terbitan Elf Books yang lain, saya menduga novel ini pun tak jauh dari negeri ginseng, Korea, nyatanya saya salah sangka. Korea hanya disebut sekali ketika terdapat adegan sarapan di sebuah restoran Korea. Selebihnya, novel ini bernuansa novel impor Amerika. Bahkan, seperti novel terjemahan. Tak hanya setting lokasi, karakternya pun asli mancanegara. Tak setitik pun unsur Indonesia ada di dalam novel ini. No problem sih..., meskipun saya tetap mengharapkan bahwa novel tulisan orang Indonesia harus tetap mengalirkan denyut lokalitas di dalamnya, meskipun lokasi ada di Kutub Utara sana, misalnya. Haha, just my subjectivity.

Kisahnya sungguh romantis. Kekasih tentara, bertempur di medan laga, sang pujaan hati setia menanti. Lalu kesepian, masuklah laki-laki sipil yang menggoda iman. Selintas pikir, saya mengasosiasikan novel ini dengan Dear John-nya Nicholas Sparks atau serial drama Army Wive’s meskipun dua-duanya saya sama sekali belum baca dan menontonnya. Jadi, tidak tahu, apakah benar ada kemiripan di sini. Saya hanya menduga. Maklum, kisah tentara-perempuan biasa ini rasa-rasanya menjadi kisah yang sudah sering diulas di Amerika sana, menurut saya. Hal tersebut, lagi-lagi membuat saya sedikit meragukan keaslian kisah cinta Emma-Hayden ini. Tapi, untunglah, saya belum membaca satu pun karya tulis berkisah hal itu sehingga saya membaca novel ini dengan lancar dan tanpa terganggu kilasan gambaran kisah yang lain.



Plotnya rapi. Jalan cerita juga mengalun sempurna. Saya bahkan sulit mengenali mana bagian yang ditulis oleh Liz dan mana bagian yang ditulis oleh Raziel. Itu bagus. Separuhnya karena belum mengenal gaya menulis keduanya dan baru novel inilah karya mereka yang saya baca, separuhnya lagi karena memang begitulah adanya novel ini. Sangat mudah dibaca dan dicerna. Meski tanda waktu sering melombat-lompat tak keruan, alur majunya membuat membaca novel ini menjadi nikmat. Haha, saya bukan pencinta alur mundur, soalnya.

Selain drama romantis nan mengharukan, novel ini juga mencoba memasukkan unsur laga melalui drama perang-udara, intrik politik, dan bisnis kotor. Namun sayang, menurut saya agak nanggung dan kurang kuat. Semacam tempelan biar kesannya novel ini kompleks. Saya masih butuh diyakinkan bagaimana gembong narkoba yang sedemikian kesohor bisa roboh oleh tiga orang biasa saja. Saya pun masih butuh diyakinkan bagaimana seorang calon senator tak memiliki tim kampanye yang solid. Maklum, saya penyuka serial Brothers and Sisters yang mana dalam satu penggal kisahnya ada yang bercerita soal itu, dan di serial itu saya benar-benar terkesima melihat perjuangan mencapai kursi senator. Di novel ini, hmmm, sedikit pun saya tak merasakan gegap gempitanya seseorang yang mencalonkan diri sebagai seorang senator.

Atau, lagi-lagi, kisah itu sekadar tempelan, karena toh yang ditonjolkan dalam novel ini adalah liku-liku asmara Emma-Hayden? Nah, kalau itu alasannya ya lain soal berarti. Tempelan ya tempelan, memang mudah lepas dan tak meninggalkan kesan. Weits, itu hanya menurut saya ya.

Terkhusus, saya suka gaya penulisan keduanya. Banyak kata-kata bagus yang bertebaran hampir di seluruh halaman. Ending-nya juga bikin surprise meski sudah bisa ditebak. Yang sedikit saya sesalkan juga adalah mudahnya semua penyelesaian bagi permasalahan Emma-Hayden. Tapi, lagi-lagi saya ragu, jangan-jangan saya nih yang belum percaya pada pepatah ini, “Kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit?” Yah, well, sesuatu yang begitu dramatis seharusnya mendapatkan kejutan-kejutan yang lebih dramatis lagi, bukan hal-hal yang so predictable begitu.

Oiya, ini contoh kalimat yang saya suka. Sudah pernah saya tweet juga sih.

“Suatu saat aku akan mengajakmu terbang bersamaku, Em.”
“Hanya berdua?”
“Iya. Berdua. Ke langit kita.”
(hlm. 31)



Atau yang ini:

Hayden... masihkah kau tiupkan ciuman-ciumanmu di ranting-ranting udara saat kau terbang? Agar aku bisa memetiknya, ketika langit yang kau lalui kini berada di atasku.
(hlm. 161)
Hmm, namun demikian, typo masih bertebaran di beberapa bagian novel ini. bahkan, menuju bagian akhir, makin sering typo-nya, entah yang meriksa sudah tak sabar menunggu ending-nya atau geregetan karena bosan, sehingga tak lagi awas? Entahlah. Berikut beberapa di antaranya:
(hlm. 40) mempercayai = memercayai = kata ini digunakan secara tidak konsisten.
(hlm. 43) penasehat = penasihat
(hlm. 46) orangtua = orang tua = kata ini digunakan secara tidak konsisten.
(hlm. 80) disaat = di saat (dipisah).
(hlm. 82) resiko = risiko
(hlm. 93) disampingnya = di sampingnya (dipisah).
(hlm. 102, 126) apapun = apa pun (hlm. 124) = kata ini digunakan secara tidak konsisten.
(hlm. 106) becanda = bercanda.
(hlm. 123) disitu = di situ (dipisah).
(hlm. 129) disini = di sini (dipisah).
(hlm. 139) di masukkan = dimasukkan (digabung).
(hlm. 164) anggota keluarga keluarga Fontana = duplikasi kata ‘keluarga’
(hlm. 183) cafetaria = cafeteria.
Selain itu, ada juga adegan yang agak mengganggu yaitu ketika flashback masa kecil Hayden dan kakaknya Frederick. Tak ada tokoh masa kini yang meminta suguhan rekaman itu, tiba-tiba saja adegan itu ditampilkan, sepertinya sih untuk mendukung gagasan mengapa hubungan kakak-beradik itu bisa sampai seperti sekarang ini. Namun, saya butuh sebab mengapa gambaran itu ditayangkan. Tidak sekonyong-konyong ditampilkan terus selesai begitu saja. Sudah begitu ada adegan seorang ibu yang memarahi anaknya dengan menggunakan kata “fitnah”. Hmm, menurut saya sih kata itu tidak cocok untuk anak-anak. Kata “menuduh” cenderung lebih gampang.

Baiklah, dengan dua sisi tersebut, baik dan kurang, saya tetap memberikan tiga bintang untuk novel ini. Pada suatu ketika saya benar-benar dibawa hanyut kisahnya, meski kemudian saya sadar airnya hanya selutut sehingga saya sampai tak larut.

Good job, guys!

Selamat membaca, kawan.

Tuesday, December 4, 2012

Book of The Month: Elf on December


Merupakan suatu kebanggaan bagi saya ketika ada penulis, editor, penerbit, atau distributor yang mengajak kerja sama untuk berbagi informasi tentang buku karya mereka. Hal tersebut menjadi kian mendebarkan ketika mneyadari siapa lah saya. Seorang blogger yang karena kecintaannya pada buku, membuat saya berusaha tekun mengabarkan hal-hal menarik dalam dunia perbukuan tanah air. Oh, tidak seluas itu. Saya mengambil peran hanya di ranah buku-buku bertema cinta dalam jenis fiksi. Orang barat sana mengategorikannya ke dalam romance novel. Terkhusus lagi, saya lebih menyukai membaca novel-novel metropop.

Bulan Desember 2012 ini, saya dengan suka cita menerima tawaran dari Penerbit Elf Books, salah satu penerbit baru yang secara militan ikut meramaikan dunia perbukuan tanah air. Dalam lirikan sekilas dari akun twitter resminya, saya secara lancang menyimpulkan bahwa Penerbit Elf Books ini lebih banyak menerbitkan buku-buku bernuansa Korea. Oh, tidak, saya tak akan mengupas profil Penerbit Elf Books saat ini. Dalam suatu waktu di bulan Desember ini, saya berharap dapat menampilkan secara utuh apa dan bagaimana Penerbit ini bertumbuh dan berkembang.


Baiklah. Untuk menyemarakkan kembali blog ini sekaligus sebagai ajang berkenalan secara lebih dekat dengan buku-buku dan para penulis yang aktif di Penerbit Elf Books, pada Desember 2012 ini, saya akan menampilkan beragam postingan berupa resensi, artikel, profil penulis, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Penerbit Elf Books.

Oh-oh, jangan khawatir. Saya tetap mencoba bermain aman kok. Saya tidak akan meminta Penerbit Elf Books untuk menyediakan buku yang akan saya resensi. Buku tetap saya beli sendiri demi kenyamanan pribadi, karena saya tak pernah bisa menduga apakah resensi saya akan terpengaruh atau tidak jika buku yang saya resensi adalah buku yang diberikan oleh penulis/penerbitnya. So, mencegah lebih baik, kan? Maka, saya memilih untuk membeli sendiri novel-novel terbitan Elf Books agar dapat lebih objektif dalam memberikan opini nantinya. Semoga. Amiin.

Ini beberapa novel terbitan Elf Books yang saya rencanakan akan saya baca dan saya resensi di blog ini:

1. Another Idol by Delia Angela


2. Love Journey by Delia Angela dan Lily Zhang


3. Kiss the Sky by Liz Lavender dan Raziel Raddian


Untuk sementara, tiga novel itu yang telah masuk dalam jadwal membaca saya. Sebenarnya tambah satu lagi yaitu Perfect Ten, namun berhubung ketika berbelanja kemarin tidak menemukan novel tersebut, maka belum dimasukkan dalam rencana saat ini. Jika nanti masih ada waktu dan ketemu novelnya, akan ditambahkan segera.

Oiya, buat kamu, metropop lover, yang juga berminat berkenalan dengan buku-buku terbitan Elf Books, yukkk baca bareng. Saya akan selalu update bacaan di twitter @fiksimetropop dengan tagar #ElfonDecember.

Untuk informasi lebih lengkap tentang Penerbit Elf Books, silakan kunjungi tautan berikut ini:
www.elfbooks.net
twitter: @elfbooks
facebook: Elf Books

Selamat membaca! Dan, tunggu kejutan menjelang akhir bulan Desember 2012 nanti yaaaaa....