[Resensi Novel Young Adult Contemporary] YELLOWFACE by R.F. Kuang
First line:
PADA malam aku menyaksikan Athena Liu tewas, kami sedang merayakan perjanjian pembuatan film TV-nya dengan Netflix.
—hlm.7, BAB 1
Ketika Athena mendadak meninggal, June mencuri manuskrip Athena lalu menyerahkannya ke penerbit sebagai karyanya.
Penerbit membuat citra baru bagi June, lengkap dengan foto yang ambigu memgenai etnik dirinya.
Di luar dugaan, buku itu sukses besar.
Namun, June tidak bisa lolos dari bayangan Athena, dan bukti-bukti bermunculan, mengancam kesuksesan June.
Saat berpacu untuk menutupi rahasianya, June jadi tahu seberapa jauh ia berani bertindak untuk mempertahankan apa yang menurutnya layak ia dapatkan.
Judul: Yellowface
Pengarang: R. F. Kuang
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Penyunting: Rosi L. Simamora
Penyelearas Aksara: Karin Rusli
Perancang Sampul: Marcel A.W.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 336 hlm
Rilis: 27 September 2019
My rating: 4 out of 5 star
Sejatinya saya sudah kepingin baca buku ini sejak lama. R. F. Kuang saat ini jadi salah satu pengarang dengan magnet terkuat yang terus menarik saya untuk membaca setiap karya yang diterbitkannya. Well, saya baru baca dua dari tiga buku trilogi Poppy War dan belum baca Babel, sih, tapi tetap saja… Kuang saat ini jadi jaminan mutu buku bagus.
Alhamdulillah, ternyata Yellowface, one of the newest Kuang’s writing and most awaited books in 2023 (sekaligus akhirnya menyabet gelar Goodreads Choice Award kategori Fiction), akhirnya diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Bersyukur, sudah ada buku ini di katalog Perpustakaan Cikini, sehingga saya bisa meminjamnya.
Ringkasan:
Yellowface dikisahkan melalui POV orang pertama oleh June “Juniper Song” Hayward, seorang aspiring writer yang terjebak di antara rasa iri dan frustrasi karena karier kepenulisannya tak kunjung moncer, di mana novel debut yang dikerjakannya sepenuh hati, gagal memikat pembaca hingga cepat terlupakan. Di sisi lain, ada Athena Liu, gadis Asia-Amerika seangkatannya yang langsung melejit sejak debut novelnya. Celakanya (atau untungnya?), pada suatu malam, ketika sehabis nongkrong Athena mengundang June mampir ke apartemennya, Athena meninggal akibat insiden yang tak terduga. Dan, entah kesambet apa, dalam keadaan serbakacau, June malah membawa manuskrip karya terakhir Athena yang kisahnya begitu luar biasa. Dari situlah, segala konflik dan ketegangan terbangun hingga akhir buku.
Aspek seru yang membuat saya betah membaca buku ini tentu saja dunia perbukuannya. Meskipun berbeda dengan kondisi di Indonesia, melihat lebih detail tahapan sebuah buku bisa terbit di Amerika sana juga tetap menyenangkan, dan menambah wawasan, tentu saja. Tak berselang lama setelah membaca Yellowface, saya menonton video dari salah satu booktuber yang saya ikuti channel-nya (@christy-anne-jones), tentang perjalanannya mendapatkan literary agent untuk menerbitkan buku-bukunya. Dan, ya, apa yang dikisahkan di Yellowface sedikit banyak tervalidasi. Karenanya saya cukup bisa merasai bagaimana frustrasinya June mendapati novel debut yang dirawatnya sejak masih berupa draft tak mendapat sambutan yang pantas dari kalangan pembaca.
Terlebih di saat yang bersamaan, ada Athena yang diakuinya memang cerdas nan berbakat dan sekaligus memiliki privilese di dunia perbukuan yang sedang mengagung-agungkan diversity karena memiliki darah Asia, melejit ke puncak popularitas yang didamba June. Segala kemudahan dunia literasi seakan tak henti menghampiri Athena. Dari puncak tangga buku laris, kesepakatan adaptasi buku ke film dan serial televisi, hingga beragam penghargaan perbukuan. Frustasinya makin membara dibakar api iri.
Namun, sejatinya June bukanlah tokoh antagonis yang sejak awal memiliki niatan jahat hendak merebut segala yang dimiliki Athena. Dia hanya kebetulan mendapat kesempatan dalam kesempitan. Saya cukup teryakinkan mengapa June sampai melakukan apa yang dikisahkan dalam Yellowface, meskipun ada satu bagian khusus yang agak kurang digambarkan mengapa tiba-tiba June sudah membaca manuskrip terakhir Athena yang dibawanya sejak malam tragis itu, yang kayaknya belum ada seminggu dari malam meninggalnya Athena secara mendadak itu.
Dan, seperti halnya pencuri amatiran yang takut tindakannya ketahuan, June mencoba beragam cara agar apa yang dia lakukan tak sampai terbongkar. Meskipun pada awalnya June mencecap kenikmatan sebagai penulis laris, malam-malamnya tak lagi hening yang mendamaikan. Setiap waktu, dia merasa seseorang akan mengetahui dan membocorkan apa yang telah dia lakukan dengan manuskrip Athena tersebut. Dan, benar saja, apa yang dia takutkan mulai muncul satu demi satu, siap menghancurkan mimpi yang baru saja hendak diwujudkannya.
Dalam Yellowface pun tervalidasi apa yang juga sempat saya alami. Betapa sulitnya menulis cerita dari ketiadaan, sedangkan ketika mendapat kesempatan mengedit sebuah naskah, dengan lancar saya bisa menambahkan aneka imajinasi ke dalamnya hingga menjadi satu cerita yang–menurut saya–utuh dan indah. Oleh karenanya, saya pun kembali memaklumi perasaan June ketika dia masih sulit keluar dari bayang-bayang Athena demi membuktikan diri bahwa dia pengarang dengan ide gemilang ciptaannya sendiri.
Pada akhirnya, memang ending-nya tak memenuhi sebagian besar ekspektasi awal dan membuat saya termangu cukup lama. Namun, jika ditanya, harus ditutup seperti apa kisahnya, saya pun tak tahu harus bagaimana. Berharap June tak ketahuan sampai akhir? Berharap June akhirnya mengakui apa yang dilakukannya dan menerbitkan ulang buku itu dengan namanya dan Athena bersanding bersama di sampulnya? Atau… bagaimana?
Saya jadi salah satu dari ratusan ribu pembaca yang menyukai buku ini. Terlepas dari segala kontroversi dan hal-hal lain yang menyeruak setelah buku ini terbit, ikut deg-degan bersama June menjadi pengalaman menyenangkan selama membaca Yellowface. Selamat membaca, kawan.
End line:
Dan pada saatnya nanti, ini akan menjadi kisahku lagi.
—hlm.333, BAB 24
0 comments:
Post a Comment