Friday, November 20, 2009

Resensi Novel Islami: Ifa Avianty - Jodoh Dari Surga


Ribetnya menyadari cinta



Judul: Jodoh dari Surga
Pengarang: Ifa Avianty
Penerbit: QultumMedia
Genre: Romance-Comedy, Islamic Novel
Tebal: vi+138 halaman
Harga (Toko): Rp17.500
Rilis: 2007 (Cetakan Kedua)

Catatan: Novel ini udah gua baca lamaaaaaaaaa banget, tapi kelupaan belum di-share resensinya. Nah, sambil nunggu beberapa buku gua tulis review-nya, kayaknya ga ada salahnya gua upload yang ini dulu. Secara, masih demam Facebook on Love-nya Ifa, qiqiqiqiqiqi…

Saya lupa apa yang mendorong saya untuk membeli novel ‘tipis’ ini. Mungkin harganya yang ‘murah-banget’ menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi keputusan saya. Tapi, paling tidak satu yang saya ingat, gaya bahasa Ifa memang memikat saya dari awal saya meng’observasi’ novel ini sebelum deal dengan kasir dan membayarnya.

Untuk ukuran sebuah novel berlabel Islamic Novel, novel ini cukup ciamik dalam hal tata bahasa, sesuai dengan selera saya. Tidak terlalu membingungkan, mengalun sempurna dalam modernisasi kota besar, meskipun membuatnya menjadi terlalu ‘dangkal’ tergabung dalam lingkup novel bertema Islam. Ciri Islam hanya ditempelkan pada cerita tokohnya yang sering digambarkan salih-salihat, pintar mengaji, atau lontaran salam pada setiap kesempatan, plus aksesoris ‘kerudung’ dan jilbab pada tokoh wanitanya. Bisa bayangin nggak seorang cewek berjilbab, terus maen piano dalam sebuah resital piano akbar? Gue nggak bisa nih.

Cerita yang dibangun Ifa sebenarnya sangat menarik karena dibuat dengan tumpukan konflik yang bergulung-gulung bak benang kusut yang susah diuraikan. Hidup serasa berwarna dengan ragam masalah pelik yang menghampiri tiap-tiap tokohnya. Dari mulai perjodohan yang terpaksa hingga isu poligami. Namun, daya tahan saya untuk menerima gunungan konflik ini ternyata tidak terlalu bagus. Saya malah mati bosan di tengah masalah-masalahnya. Kisah tragis salah satu karakter kuncinya pun tak mampu membangkitkan rasa iba yang biasanya gampang sekali hadir dalam setiap kesempatan saya membaca novel dengan tokoh kunci hidup bergelimang sengsara. Waktu baca Bidadari-bidadari Surganya tere-liye aja gue nangis bombay hampir sampai akhir novel. Huhuhuhuhu....

Keribetan yang diciptakan Ifa nyatanya gampang sekali terurai di hampir pengujung novel, yang membuat saya mengerenyit heran. Mengapa masalahnya jadi mudah sekali ya? Mungkin kendala sedikitnya halaman membuat jalan cerita tidak dibuat dengan ending yang memadai dan terkesan dipaksakan untuk selesai. Keinginan penulis untuk mengakhiri segalanya dengan emosional justru terasa mengada-ada, menurut saya. Yah, cuman gini doank? sungut saya.

Kelemahan lain yang menyertai novel ini adalah point of view karakter yang digunakan sedikit kedodoran. Sudut pandang orang pertama ‘aku’ sedianya dihadirkan dengan independensi tiap tokohnya, seluruh tokoh menggunakan kata ganti orang pertama. Saya memang pengagum cerita dengan ciri khas begitu tetapi khusus untuk novel Ifa ini, penggunaan kata ganti orang pertama untuk hampir seluruh tokohnya malah membuat plot menjadi berantakan. Bahkan yang sangat saya sesalkan adalah tokoh ‘pinggiran’ yang sebelumnya tidak punya peran besar tiba-tiba ikut ‘berbincang’ dan mengambil porsi dalam jalinan cerita. Hal tersebut, menurut saya, kurang bagus dan sedikit ‘menghancurkan’ cerita yang telah dibangun sebelumnya. Kekurangan lain yang agak terlihat nyata adalah penggunaan kata ganti orang pertama ini cenderung lemah karena antara satu karakter dengan karakter lain ‘terasa’ sama saja. Tidak teraba perbedaan pada masing-masing tokoh. Nggak mungkin kan semua orang sama?

Yeah, maaf kalau saya sepertinya jago ‘kritik’ sekali, padahal membuat cerita sendiri saja saya tidak bisa. Namun, rasanya saya punya hak, karena saya toh sebagai pembaca memiliki kesempatan untuk berkomentar atas setiap karya yang saya ‘beli’ kan? But, like I said before, saya suka gaya bahasa yang digunakan Ifa. Chic. Simple. And, lovely.

Berikut secuplik dari novel ini, disajikan pratinjau terbatas oleh books.google.
Klik di sini.

0 comments:

Post a Comment