Monday, February 15, 2016

[Resensi Novel Romance] Yesterday in Bandung by Rinrin Indrianie, Ariestanabirah, Delisa Novarina, Puji P. Rahayu, dan NR Ristianti



First line:
Lamat, entah dari mana, suara Lennon sampai ke telinga saya.
--Prolog

Yesterday, all my troubles seemed so far away (Yesterday, The Beatles)

Seperti lima nada membentuk satu harmoni lagu, mereka memiliki masalah dan masa lalu yang bersinggungan. Shaki, gadis Palembang dengan masalah korupsi sang ayah. Zain, pemuda desa yang gila harta dan terjebak pergaulan hitam. Tania, gadis riang yang masa lalunya kelam. Dandi, Pemuda tampan yang lari dari bayang-bayang masa lalu. Aline, pemilik kos yang menyimpan banyak misteri.

Hidup di tempat tinggal yang sama membuat mereka menyadari bahwa semua punya cerita di hari kemarin, untuk dibagi di hari ini.

Editor's Note:
Salah satu dari tiga pemenang outline terpilih pada Workshop Novel Februari 2015

Judul: Yesterday in Bandung
Pengarang: Rinrin Indrianie, Ariestanabirah, Delisa Novarina, Puji P. Rahayu, & NR Ristianti
Penyunting: Pradita Seti Rahayu
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tebal: 260 hlm
Harga: Rp 54.800
Rilis: 6 Januari 2016
ISBN: 978-602-02-7861-2
Rating: 3 out of 5 star
Buku persembahan pengarang, tidak memengaruhi resensi.

ide cerita dan eksekusinya:
Lima tokoh disatukan dalam sebuah frame ber-setting rumah indekos plus salah satunya adalah induk semang mereka. Berbeda latar belakang, berbeda masalah, namun mesti berinteraksi dalam satu lingkungan tempat tinggal yang sama. Idenya bagus. Tentu saja, kalau tidak, tak mungkin menjadi salah satu pemenang outline terpilih Workshop Novel yang diselenggarakan oleh Elex (sepertinya). 

Sayangnya, oleh karena sudut pandang orang pertama yang digunakan pada kelima tokoh utamanya, saya merasai perbedaan besar baik dari gaya menulis maupun kualitas tulisan masing-masing pengarangnya yang gagal nge-blend (meskipun saya tak tahu pasti siapa menulis bagian apa, saya cukup yakin per tokohnya ditulis oleh pengarang yang berbeda). Akibatnya, tak semua tokohnya berhasil dieksekusi dengan baik. Bahkan, beberapa di antaranya terkesan dihidupkan agak terlalu terburu-buru. Hal lain yang patut disayangkan, adanya aura "egoisme" pada masing-masing tokoh sehingga novel ini terkesan menyerupai kumpulan cerita bukannya novel utuh, menurut saya.

sumber: Twitter @Ariestanabirah
meet cute:
Berhubung di dalam novel ini ada 5 tokoh, agak kurang efisien kalau saya tuliskan pertemuan manis masing-masing tokohnya, ya. Jadi, silakan baca sendiri. Setidaknya, yang bisa saya bilang, rumah indekos milik Aline (dan mendiang ibunya) adalah tempat segala rasa (termasuk rasa suka berbumbu asmara) menguar begitu kuat.

plot, setting, dan karakter:
Plot-nya maju-mundur untuk membuka tabir kelam masing-maisng tokohnya. Cerita di masa silam yang membentuk pribadi kelima tokohnya, membutuhkan kita untuk memutar waktu kembali ke masa lalu. Cukup smooth, dengan hampir semua tokohnya mendapat porsi yang pas ketika membeberkan rahasia-rahasia mereka.

Setting waktu modern-masa kini, sedangkan setting lokasi seperti terpakai dalam judulnya, mostly di Bandung, lebih tepatnya lagi di kosan "Pondok Aline". Namun demikian, putaran kenangan masing-masing akan mengembalikan ke tempat asal beberapa tokohnya. Bandung dan Yogyakarta (serta Malang) sepertinya bakalan selalu cocok jadi setting lokasi kisah-kisah romantis yang unforgettable, ya.

Dari segi karakter, sebagaimana telah saya sebutkan di depan, karena menggunakan sudut pandang orang pertama maka kelima tokoh utamanya mendapat porsi sama besar dalam penceritaannya. Singkatnya, silakan baca sinopsis novelnya, ya, hehehe. Sudah tergambar di situ, kok.

Oke, buat saya, Aline adalah tokoh yang paling matang di novel ini, baik dari segi karakter, konflik yang dialami, maupun gaya penulisannya. Setiap bagian Aline bercerita saya selalu terhanyut. Sangat berharap, Aline bisa bertransformasi menjadi satu novel tersendiri. Beneran! Berikutnya saya suka Shaki. Meskipun beberapa kali tampak agak lemah dalam pembangunan karakternya, tapi saya masih bisa menikmatinya dengan enak. Yang standar karakter Dandi, sedangkan karakter Zain dan Tania, too much drama. Entah kenapa saya tak bisa menikmati apa pun dari keduanya, baik dari segi konflik maupun karakternya. Sekali lagi, too much

konflik:
Semua tokoh punya konflik. Berhubung kelimanya tinggal di satu tempat, terkadang konflik dirajut sedemikian rupa sehingga konflik salah satu tokoh bisa jadi subkonflik tokoh lain. Ciamik.

Untuk Shaki, dilekatkan konflik utama tentang perang batinnya demi mendapati ayahnya dituduh koruptor yang kasusnya tengah ditangani KPK. Dari gadis serbapunya, Shaki harus susah payah bertahan hidup di perantauan.
Untuk Zain, mendapat porsi konflik yang kurang lebih sama dengan Shaki, merantau ke Bandung untuk kuliah dengan dibayangi kondisi keluarganya yang sedang terpuruk. Pada satu titik, Zain merasa terpaksa menjual nuraninya untuk takluk dan menjadi budak materi.
Untuk Tania, disematkan masa lalu kelam terkait harga dirinya. Cinta yang terlalu menggebu dan naif membuatnya berantakan, tapi dia berusaha tegar.
Untuk Dandi, memiliki sejarah luka karena cinta yang hingga kini belum terobati. Lambat laun, dia mulai bisa membuka hatinya lagi, namun sepertinya dia akan kembali terluka.
Untuk Aline, diberikan konlik yang serbarumit. Tak hanya soal jomlo di usia tak lagi muda (ada alasannya), namun juga geletar rasa aneh yang semestinya tak pernah ada.

Well, Aline sudah menjerat minat saya dari awal, jadi konflik pada Aline-lah yang membuat saya trenyuh dan berkaca-kaca. DUA jempol!

ending (SPOILER alert!):


catatan:
Novel ini disusun per bab untuk masing-masing tokohnya dengan penyebutan nama tokohnya terlebih dahulu lalu diikuti dengan judul bab serta dilengkapi dengan penggalan lirik lagu dari beragam genre, disesuaikan dengan kesukaan masing-masing tokohnya. Sedangkan lagu Yesterday-nya The Beatles saya perkirakan diambil sebagai bagian dari judul novel ini.



Beberapa judul lagu dan film disebut, sedangkan judul buku The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared (karya Jonas Jonasson) disebut untuk memperkuat karakter Aline.

Untuk typo dan salah format (contoh: harusnya dikursif malah enggak, atau sebaliknya) atau kurang tanda baca masih cukup banyak dan terkadang hanya di bagian-bagian tertentu. Yang unik, setiap bagian Aline kenapa mendekati sempurna, ya? Termasuk dalam urusan typo ini. Hmm, berharap tim editing lebih cermat lagi dalam mengemas naskah ini.

kesimpulan:
Sebagai sebuah karya hasil kolaborasi, novel ini gagal tampil secara utuh, bahkan cenderung terasa seperti kumpulan cerita. Gaya menulis dan ide yang beragam tampak kurang nge-blend, sehingga terkadang terdapat satu bagian yang sangat bagus lalu berubah menjadi sangat kacau di bagian lainnya. Termasuk konflik, dari yang memuaskan sampai dengan yang lebay. Tapi, jempol tetap patut saya acungkan untuk lima kepala yang sudah bersusah payah menggabungkan lima masa lalu yang terbungkus sejuknya hawa Bandung dalam novel dengan sampul didominasi warna merah ini.

Untuk kamu yang pernah atau kepingin tinggal di Bandung dan berharap merasai nuansa Bandung yang ngangenin, silakan comot Yesterday in Bandung ini dan bacalah.

End line:
Meski aku tak tahu bahasa apa yang dia ucapkan tapi instingku memahaminya, "Ya, aku juga."

3 comments:

  1. Dear Mas Ijul, terima kasih banyak resensinya untuk Yesterday in Bandung yah :)

    ReplyDelete
  2. Wah, terima kasih Bang Ijul atas resensinya.
    Sepertinya saya memang harus banyak belajar dari penulis lainnya. *sebut saja yang nulis tentang Mbak Alline.* Heu. :D

    ReplyDelete