Saturday, December 20, 2014

[Buku diFILMkan] Resensi Film: Supernova - Ksatria, Putri & Bintang Jatuh


Intinya, sih, saya mesti baca ulang novel pertama dari serial laris Supernova karya Dewi "Dee" Lestari ini, karena pada akhirnya saya bingung, inti dari kisah Supernova itu sendiri, apa? #jeglerrr *oon banget*


Yang saya ingat, kali pertama beli novel ini (edisi ekonomi, yang tulisannya kecil, rapet, dan marginnya mepet banget itu) pada kisaran tahun 2002 atau 2003 di Balikpapan. Dan, setelah selesai membacanya, saya menahbiskan novel ini menjadi salah satu dari sepuluh buku favorit saya sepanjang masa. Selama proses pembacaan, saya tak henti-hentinya dibuat melongo dan terkagum-kagum. Untuk kali pertama sepanjang pengalaman membaca, termasuk buku diktat sekolah atau kuliah, saya menyukai membaca footnote alias catatan kaki. Saya sampai kecewa jika ada halaman yang enggak ada catatan kakinya. Aneh, ya? Saya, sih, enggak merasa aneh, hehehe.




Indah. Megah. Mewah.

Saya rasa, tiga kata itu tepat sekali untuk mengilustrasikan gambar yang dipersembahan Rizal Mantovani untuk film ini. Setelah menikmati suguhan Pulau Sumba yang menawan dari film Pendekar Tongkat Emas, saya pun sangat puas menerima hidangan potret cantik setting lokasi film Supernova ini. Pun, dengan beberapa bagiannya yang dibuat animasi serta efek grafis dari komputer, sudah sangat lumayan untuk ukuran film Indonesia.


Dari segi cast, selain pertanyaan terkait aktor-aktris yang over-used di banyak film, tak sedikit yang meragukan performa akting Raline Shah (Rana), Paula Verhoeven (Diva), dan Hamish Daud (Dhimas). Yah, bisa dibilang mereka memang tampak lemah di antara yang lain, kecuali Hamish yang menunjukkan peningkatan kualitas dari penampilan perdananya di Hanya Isyarat. Tapi, Raline Shah cantiknya kebangetan, ya, di film ini. Astaga, kayaknya enggak ada scene dia belekan atau apa, gitu. What a perfect look. Untuk cast yang lain sudah sangat memuaskan kok, paling tidak buat saya, terutama Arifin Putra. Makin hari kualitas aktingnya makin gemilang. Dari sini saya memutuskan akan selalu menonton film yang ada Arifin Putra-nya, deh, hehehe.


Gara-gara memori saya akan detail cerita Supernova ini sudah hampir memudar, kelemahan utama (di saya) adalah mengikuti alur ceritanya. Sepertinya gagal, karena saya masih sulit terkoneksi langsung dengan ceritanya. Selain soal kisah perselingkuhan, apa sih "isi" dari cerita ini? Itu yang berusaha saya gali hingga ke ending, dan tetap gagal. Saya pasrah sajalah, menikmati gambar-gambar ciamik yang diracik Rizal Mantovani saja. Persoalan kisah mbulet antara Ferre - Rana, Rana - Arwin, atau Ferre - Diva hanya bisa diselesaikan dengan membaca ulang novelnya. #ngek





Hal lain yang bikin saya betah menonton film berdurasi total kurang lebih 136 menit ini adalah tata suaranya yang begitu menggelegar dan sangat pas menyertai adegan demi adegannya. Lengkingan vokal Giring Nidji juga kembali membawa daya magis yang berhasil membuat film ini makin gampang melekat di ingatan, seperti pada Laskar Pelangi atau Tenggelamnya Kapal Van der Wick. Yang bikin kaget adalah penulis skenarionya. Dhonny Dhirgantoro, sang penulis novel 5cm (yang juga sudah difilmkan), didapuk sebagai penulis skenarionya. Hohoho. Saya enggak nyangka.

Banyak yang komplain soal dialognya yang kaku dan sangat setia pada bukunya. Buat saya, sih, enggak masalah. Saya justru menyukai ketika para tokoh di dalam novel ini sudah mengobrol panjang lebar dengan segala istilah sains itu. Justru lumayan cerdas dialog-dialognya, kalau buat saya. Meskipun ada dialog pada bagian yang menye-menye juga, tapi setidaknya banyak dialog lain yang tampak begitu "pintar" dan quotable. Dan, saya suka itu.

Bagian favorit saya di buku adalah ketika menjelang ending, Dhimas dan Ruben menyadari bahwa mereka ternyata menjadi tokoh juga di dalam cerita yang mereka tulis bareng itu. Saya benar-benar dibuat nganga ketika mendapati bagian itu di buku. Di film pun saya menunggu eksekusi bagian itu, apakah akan bagus atau tidak, dan... hmm, kurang berasa, sih. Efeknya tidak semengejutkan ketika saya membaca bukunya. Mungkin karena saya sudah tahu kali, ya, jadinya enggak lagi membawa efek dramatis itu. Oh, dan tadi ada sebarisan cewek-cewek di kursi depan yang berteriak "ewwww" ketika Dhimas dan Ruben sedang berkata-kata manis atau bermesraan. Padahal, adegan itunya sih sedikit saja. Hahaha.

Pada akhirnya, saya, sih, suka-suka saja nonton film ini. Dan, tetap bersedia menonton ulang, baik di bioskop maupun di rumah (DVD). Tapi, sebaiknya setelah saya baca ulang bukunya saja, deh.  

3,5 dari 5 bintang buat film ini.

Selamat menonton dan membaca bukunya, tweemans.

3 comments:

  1. Saya udah rencana sih pengin nonton Supernova setelah Pendekar Tongkat Emas (yang asli keren banget), dan penasaran bagaimana efek film Supernova nanti, hehe. Padahal belum baca bukunya sih. Interesting article, kak, thank you!

    ReplyDelete
  2. Glee kan pernah tayang di Indonesia. Walaupun cuma satu season sih.. :D

    ReplyDelete
  3. Dimana saya bisa mendapatkan dvd original / link download untuk film supernova ini? Mohon infonya ya. Terimakasih

    ReplyDelete