Thursday, December 31, 2009

Resensi Novel Chicklit: Okke 'Sepatumerah' - Heart Block (Biarkan Cinta Menemukanmu)


Novel seru buat para writers wannabe



Judul: Heart Block - Biarkan cinta menemukanmu
Penulis: Okke 'Sepatumerah'
Penerbit: Gagas Media
Tema: Dunia penulisan, Kasih tak sampai, Pencarian jalan keluar
Tebal: xii + 316 halaman
Harga: Rp30.000 (Toko)
Rilis: Desember 2009 (Rencana 2010)

Kalau tidak salah, awal saya tertarik dengan karya Okke yang berembel-embel nama belakang unik 'Sepatumerah' ini adalah ketika Gagas Media sedang gencar-gencarnya mempromosikan semacam line novel baru, Kamar Cewek, dan Okke menulis novel dengan judul Kamar Cewek juga, beberapa tahun silam. Sayang, meskipun saya suka tetapi saya benar-benar lupa dari jidat-sampai-pantat novel tersebut. Namun, yang pasti, sejak saat itu saya selalu notice jika ada novel baru dengan nama Okke terpampang di covernya yang terpajang di rak ketika kebetulan saya berkunjung ke bookstore. Selain Kamar Cewek, saya ingat pernah membeli-baca novel lain tulisan Okke yaitu Indonesian Idle (cukup suka) dan Istoria da Paz (kurang suka).

Pun, sebenarnya saya tidak secara khusus membeli novel ini di event discount 30% all items Gramedia Grand Indonesia beberapa waktu lalu. Rencana awal saya ingin memborong beberapa buku yang sudah masuk dalam waiting list saya, termasuk buku non-fiksi Soe Hok Gie, tapi sungguh mengecewakan karena buku-buku tersebut tidak tersedia di event tersebut. Agar tidak terlalu kecewa, maka saya mencomot beberapa buku/novel yang saya anggap oke dan salah satunya adalah novel terbaru Okke yang entah salah cetak atau bagaimana di lembar deskripsi awalnya dituliskan "Cetakan pertama, 2010", apa maksudnya ya? Anyway, salah satu yang membuat saya tertarik memasukkan novel ini ke kantung belanja saya adalah garis besar cerita yang saya tangkap dari sinopsis di cover belakangnya. Yap, kali ini Okke sepertinya ingin membagikan salah satu keping perjalanan karirnya di dunia kepenulisan, yaitu bagaimana menemukan cara yang tepat bagi seorang penulis mengurai kemacetan ide ketika mengalami writer's block. Tema ini secara khusus mengingatkan saya pada komunitas kecil baru saya di facebook, yang isinya writers wannabe yang bermimpi bisa juga menulis dan menghasilkan suatu karya tulis yang diterbitkan (Join the group here). Jadi, secara tidak langsung pula saya merekomendasikan untuk membaca novel ini kepada teman-teman saya di komunitas tersebut dan juga para writers wannabe di manapun Anda berada sebagai tambahan wawasan untuk menjejak belantara industri kepenulisan yang nyatanya tidak melulu segampang yang kita kira.

Mungkin karena kadung terhipnotis dengan temanya, maka sejak halaman pertama saya sudah terhanyut dengan alur yang diciptakan Okke. Saya menikmati kalimat demi kalimatnya serupa membaca buku petuah tentang penulisan. Di beberapa bagian saya manggut-manggut, berharap dapat mengingatnya terus dikemudian hari, dan di bagian yang lain saya geleng-geleng karena baru menyadari satu buah fakta baru dunia penulisan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Informasi demi informasi ini dikemas dengan bumbu fiksi yang cukup segar oleh Okke sehingga tidak sampai jatuh kepada tubir kebosanan. Eits, tapi jangan ada yang salah tafsir. Okke tidak terkesan menggurui dalam novelnya ini, tidak sama sekali. Kelihatan sekali bahwa melalui tokohnya Okke berusaha sharing hal-hal non-teknis dari ilmu kepenulisan.

Summary tokoh: Senja (aku, penulis novel pemenang award, mengalami writer's block, liburan untuk mencari jalan keluar, bertemu seorang cowok yang menarik), Genta (pelukis, love interest Senja), Tasya (kakak beda ayah-beda ibu Senja, penyiar, manajer Senja yang super bawel) dan beberapa tokoh lain yang tidak begitu signifikan perannya: Jana, Abram, Ludwina, Demetrius.

Membaca novel ini saya jadi paham, bahwa menjadi apa yang kita maui dan memperoleh penghasilan daripadanya jelas membutuhkan pengorbanan. Belum tentu pula bahwa ketika merintisnya kita akan selalu dapat memilih untuk bertindak "seenak jidat gue". Dalam novel ini Okke menggambarkan bahwa penulis dalam perintisan karirnya tidak melulu hanya sekadar menulis, menulis, dan menulis. Penulis juga harus menghadiri serangkaian acara promosi novelnya yang dapat berupa launching party, roadshow, pelatihan penulisan di daerah-daerah, book signing, dan sebagainya. Dan, kegiatan-kegiatan itu bisa sangat menyita waktu hingga untuk menulis pun sudah tak ada waktu lagi. Rutinitas penulis seolah tak ubahnya seorang artis yang sedang naik daun. Hmm, sepertinya menyenangkan, namun juga melelahkan. Serta, kadang juga agak menyebalkan. Termasuk pula, seorang penulis harus menjadi tahan akan segala kritikan dan tak lantas cepat berpuas kalau dipuji. Novel ini juga mengajarkan untuk tidak menyerah begitu saja apalagi bersembunyi di balik topeng mood. Sebagai seorang yang profesional, tidak lagi pada tempatnya ketika memiliki kewajiban (terikat kontrak) kemudian mangkir dengan dalih mati ide, lagi bete, sedang bad mood, dan alasan lain yang sejatinya hanyalah sekadar justifikasi keinginan untuk mangkir tersebut.

Setelah nyaris tak ada salah editan di buku ketiga seri Glam Girls - Rashi and The Clique, Unbelievable by Winna Efendi, ternyata kesalahan pengeditan tak lolos di novel Okke ini. Beberapa kesalahan teknis penerbitan tersebut antara lain:
Halaman 26: nama Fadly tertulis Fadil
Halaman 77: kata wajahku tertulis waahku
Halaman 287: .....meninggalkan rumah yang pernah kutinggali bersama Tasya, seharusnya ...bersama Genta.
Saya juga agak terganggu dengan gaya pelarian tokoh Senja yang apabila hilang konsentrasi memilih pelampiasan dengan merokok. Dan tidak sekadar merokok, tapi sudah masuk kategori ketagihan a.k.a perokok berat. Itu hak masing-masing sih, tapi kalau sudah menjadi media publik yang dengan gampang dibaca siapa saja (akui saja, sistem labeling apapun di Indonesia ini belum berfungsi dengan baik, tayangan televisi untuk dewasa tetap bisa diakses anak-anak, rokok yang hanya dapat dibeli orang dewasa juga bisa dengan gampangnya diperoleh anak-anak) sehingga rasanya kurang bijak mencuplikan adegan itu dalam media publik apapun. Mengapa sebagai penulis tidak juga ikut serta menyokong program-program pemerintah (bahkan dunia) yang memang bagus. Program Go Green misalnya, atau dalam kasus novel ini adalah Program Anti Tembakau. Coba saja, tokohnya dicarikan pelampiasan yang lain, yang efeknya tidak sebrutal efek rokok ini. Satu lagi, pengambilan porsi yang kurang bijak adalah (awas, spoiler/bocoran) pada bagian dimana Senja akhirnya bersedia tinggal satu rumah dengan Genta. Bukan bermaksud menyombongkan diri sebagai pemilik moral terbaik setanah air, hanya saja harusnya perlu pemikiran berjuta-juta kali untuk membuat scene seperti ini. Bagian inilah yang paling tidak saya suka dari novel ini. Dengungan kata "kumpul kebo" yang melintas ketika sampai part ini sungguh menggelisahkan saya. Oiya, jujur, saya juga membaca-cepat-sesekali-melompat-lompat pada konteks romansa dalam novel ini. Adegan ber-rating R-nya saya lewati dan babak keromantisannya tidak saya baca dengan saksama. Maklum, romansa macam begitu sudah bukan barang baru, hampir sama saja dengan romansa novel-novel lainnya. Maksudnye, gua udah gak sabar pengin tau gimana Senja bisa keluar dari jebakan writer's block-nya, getoo lohh.....hhihihihi

Kritik lain, yang mungkin tidak hanya saya tujukan bagi novel ini saja, adalah soal penggambaran tokoh-tokohnya. Sepertinya sudah menjadi pakem bahwa para tokoh novel-novel urban mostly almost perfect, khususnya di segi penampilan dan penampakan. Baik yang cowok maupun yang cewek. Pokoknya, impian banget dah! Tetapi, ironinya, tak jarang para penulis itu juga secara sadis menghadirkan tokoh antagonis (jahat dalam artian pelaku kriminal atau sekadar sebagai tokoh pengacau suasana) dalam penampilan yang amburadul. Contoh dalam novel Okke ini:
Halaman 124: ...Ia berkepala botak, berperut agak tambun, mengenakan kemeja berbahan halus mengilap, warnanya mencolok mata...dan seterusnya.

Halaman 125:...Melihat pakaiannya, ia seperti hidup di era dan tempat yang salah. Dengan wajah minim kosmetik, tunik putih berenda, rok berbunga, tas hobo, .....dan seterusnya.
Ini menurut saya yang menjadikan novel urban sebagai bahan cemoohan orang-orang yang menyebut diri mereka pecinta sastra. Bagi saya yang awam pun, situasi begini membuat novel-novel urban menjadi kelihatan tidak berbobot. Dan, bahkan pada satu atau dua novel yang pernah saya baca, saya menyebutnya novel munafik karena pada bagian tertentu, si penulis, baik melalui narasi maupun dengan jalur tokoh-tokohnya "menghina" sinetron di televisi kita yang katanya nggak berkualitas sama sekali. Namun, ironinya, justru novel-novel tersebut mengadopsi gaya-gaya sinetron itu. Yang paling kentara, tentu saja, deskripsi para tokohnya itu. Ataukah, pangsa pasar novel-novel urban ini, yang notabene mostly adalah perempuan, suka dengan segala khayalan yang kadang tak masuk akal ini, yang "memaksa" para penulis untuk menciptakan tokoh-tokoh sempurna macam ini? Kalau banyak yang mengatakan iya, maka abaikan saja keluhan saya ini. Dan, buat para penulis, silakan untuk tetap menghadirkan tokoh-tokoh sempurna itu demi memuaskan imajinasi para pembaca Anda.


Heart Block menyajikan konflik yang sederhana, ya seputar writer's block itu. Maka, saya jadi bingung sendiri kalau sekiranya ditanya, "...so, maksud dari heart block apa donk?", seriously, I dunno. Meskipun (awas, spoiler/bocoran) kisah cinta yang menjadi bumbu romansa dalam novel ini dikatakan adalah first love-nya Senja, saya tetap tak bisa mengaitkannya dengan istilah heart block ini. Hahahaha, kali ini saya benar-benar blank soal konektivitas antara judul dan isinya, kecuali kata block-nya. Namun demikian, secara keseluruhan saya bersyukur bahwa saya membeli dan merampungkan baca novel ini. Saya benar-benar mendapatkan kesenangan sekaligus tambahan secuil pengetahuan
(yang amat-sangat bermanfaat) seputar dunia kepenulisan dari karya paling anyar Okke ini. Thanks, Okke!

Okay, then, enjoy reading... people!

Sinopsis (dari situs gagasmedia.net - agak berbeda dengan yang ada di cover novel fisiknya)
Senja Hadiningrat tadinya bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa. Ia hanyalah seorang wanita yang suka sekali menulis dan bermimpi ingin menjadi penulis. Bermimpi untuk menelurkan banyak karya yang disukai orang-orang dan hidup hanya dari royalti hasil penjualan karya-karyanya itu.

Itulah impiannya, setidaknya untuk setahun lalu. Saat ini, Senja bukan lagi orang biasa. Ia telah menjadi penulis ternama melalui ajang Festival Penulis Indonesia 2008 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Nasional. Karya perdananya yang berjudul Omnibus sukses mengantarkan Senja menjadi pemenangnya.

Tidak dipungkiri, menjadi pemenang ajang bergengsi membuka jalannya menuju cita-cita yang pernah diimpikannya. Seiring dengan itu, kesempatan pun datang bak keran air yang baru saja dibuka. Sayangnya, kesempatan itu malah membuatnya tertekan. Seolah menulis bukan lagi satu cita-cita yang begitu ia dambakan.

Semua itu karena Tasya. Secara sukarela, kakak tirinya itu mengajukan diri untuk menjadi managernya. Hampir semua kesempatan yang datang, diterima Tasya tanpa persetujuan Senja. Bahkan, hadirnya novel kedua Senja yang berjudul Head Over Heels sangat jauh kualitasnya dengan Omnibus.

Tidak jarang Senja menemukan review berupa kritikan pedas dari pembaca Head Over Heels dan ini membuat mentalnya sebagai penulis baru jadi merosot. Nampaknya tekanan yang diberikan oleh Tasya, padatnya jadwal, dan macam-macam promosi, membuat Senja kehilangan semangatnya dalam menulis. Yap, saat ini ia terserang writer’s block!

Hanya satu yang ia butuhkan: BERLIBUR!

Bali menjadi tujuan Senja untuk mengisi waktu berliburnya. Di sanalah ia bertemu Genta Mahendra, seorang pelukis. Bersama Genta, Senja merasakan sesuatu yang berbeda. Ada getar yang menyelimuti perasaannya. Bahkan, bersama Genta pula, Senja menikmati ciuman pertamanya.

Selama Senja berada di Ubud, ia mencoba menikmati pengalaman barunya. Menikmati sunset di tengah-tengah hamparan sawah sambil meneguk segelas kopi panas adalah salah satunya. Namun, mengapa ide tidak kunjung datang juga.

Di saat seperti inilah, Genta mampu membuka pikirannya terhadap masalah yang sedang Senja hadapi. Dan tanpa sadar, Senja menemukan bentuk cinta yang selama ini ia cari. Tetapi, bagaimana dengan Genta, mengingat ia tidak pernah menyinggung sedikit pun tentang cinta waktu bersama Senja?

Temukan jawabannya dalam novel terbaru Okke ‘Sepatumerah’ yang berjudul Heart Block. Novel terbitan GagasMedia ini bisa dibilang pengalaman yang pernah dialami oleh hampir semua penulis. Kebutuan menulis memang menjadi masalah tersendiri bagi penulis. Percaya atau tidak, di antara para penulis yang ada di dunia ini, tentu pernah melakukan apa yang Senja lakukan. Dirangkai dengan cerita cinta antara Senja dan Genta, novel ini lebih terasa mengasyikkan saat dibaca.

4 comments:

  1. Thanks buat reviewnya.

    Eh, dalam bayangan saya, si Bohemian girl yang seperti hidup di era yang salah itu justru keren kok, seniman banget. Serius.

    (kalo yang bapak2 botak emang enggak :D)

    ReplyDelete
  2. Quote 1: "Mengapa sebagai penulis tidak juga ikut serta menyokong program-program pemerintah (bahkan dunia) yang memang bagus. Program Go Green misalnya, atau dalam kasus novel ini adalah Program Anti Tembakau."

    Quote 2: "Kritik lain, yang mungkin tidak hanya saya tujukan bagi novel ini saja, adalah soal penggambaran tokoh-tokohnya. Sepertinya sudah menjadi pakem bahwa para tokoh novel-novel urban mostly almost perfect, khususnya di segi penampilan dan penampakan"

    Hihihi... kalau si Senja gak merokok, dukung anti-tembakau, nanti tambah perfect dong penggambaran karakternya ;)

    ReplyDelete
  3. Quote 1 : Saya juga agak terganggu dengan gaya pelarian tokoh Senja yang apabila hilang konsentrasi memilih pelampiasan dengan merokok. Dan tidak sekadar merokok, tapi sudah masuk kategori ketagihan a.k.a perokok berat.

    Quote 2 : Satu lagi, pengambilan porsi yang kurang bijak adalah (awas, spoiler/bocoran) pada bagian dimana Senja akhirnya bersedia tinggal satu rumah dengan Genta.

    saya sangat setuju dengan pendapat penulis!! namun tidak banyak orang yang berpikir demikian..

    setelah baca reviewnya menurut saya novel ini tidak mendidik. saya paling malas membaca novel seperti ini, novel-novel yang tidak bisa memberika pelajaran yang baik bagi pembacanya!!!

    seharusnya penerbit lebih selektif dalam memilih novel yang akan di terbitkan. jangan asal terbit saja!

    sebagai penerus bangsa seharusnya kita menjadi orang yang kritis dan berpikir positif.

    semoga ke depan, novel-novel karya anak bangsa lebih mendidik dan berbobot..

    ReplyDelete
  4. @Mbak Okke....hehehe, mungkin karena saya cowok kuper kali ya, mbak, jadinya yang begituan saya bilang aneh, hehehehe...

    @May.....saya pikir bisa kok, kekurangan seseorang tidak ditampilkan secara negatif dan dengan begitu tidak emmbuat tokoh tampil perfect, misal jadi insomnia, atau coffee addict. Saya pikir ketagihan kopi masih tergolong tidak negatif-negatif amat jika dibandingkan dengan merokok. What da ya think??

    @Dhiza...agak pedas, ya kritiknya...kayaknya yang bisa jawab mbak Okke-nya sendiri tuh, hehehehe...but, for me, memang setiap karya akan selalu menghadirkan pro dan kontra, dua sisi itulah yang bisa mengangkat citra suatu karya dan penciptanya. Kalau pun saya kontra, saya cukup menyebutkan ketidaksukaan saya, tapi tetap merinci pula daftar hal lain yang saya suka. Keseimbangan, itu yang ingin saya sampaikan.

    Thanks for coming, all...

    ReplyDelete